Bagian 4

4.5K 672 41
                                    

Pening, itulah yang Ara rasakan ketika pertama kali membuka mata. Ia pejamkan matanya kembali seraya berusaha menghirup napas dalam, Ara berusaha mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Matanya terbelalak ketika menyadari satu hal yang terakhir mampu ia ingat. Dirinya terjatuh dari motor saat hendak pulang dan semua berubah gelap.

"Awh," rintih Ara kala dirinya mencoba untuk bangun namun merasakan pundak, ah tidak, bahkan seluruh badannya terasa sakit sekarang.

Ara menyandarkan badannya pada kepala ranjang seraya mengamati seluruh isi ruangan tempatnya berada sekarang. Siapa yang menolongnya?

"Ini?" Ara semakin dibuat bingung ketika menyadari ia kini berada di tempat yang cukup familier. 

"Kamu sudah sadar?" Suara lembut menyapa pendengaran Ara tatkala gadis itu terlarut dalam sebuah kenangan yang tiba-tiba hadir tanpa bisa dicegah.

"Ta ... Tante?" kaget Ara melihat wanita paruh baya yang masih memegang nampan berjalan serta tersenyum melihat reaksi Ara.

"Gimana, Ra? Ada yang sakit?" tanya si wanita seraya mendudukkan diri di samping Ara setelah meletakkan nampan berisi makanan ke atas nakas.

Entah kenapa mendengar suara yang bahkan masih saja lembut padanya membuat hati Ara semakin merintih. Kini lagi-lagi bukan hanya badannya yang sakit, tapi hatinya justru lebih sakit menerima perlakuan nyonya rumah ini. Ketika sang anak begitu saja mencampakkan dirinya, kenapa justru wanita yang dulu pernah ia panggil mama Hesti ini masih saja memperlakukannya dengan baik.

"Tante yang nolong Ara? Terima kasih, saya enggak apa-apa, Tan. Maaf sudah merepotkan," ringis Ara ketika ia merasa canggung dengan wanita yang dulu sering pula ia ajak berbagi cerita.

"Mama tadi niatnya mau pulang sehabis pesen katering buat arisan di kafe punya anak temen Mama, pas mau keluar parkiran ternyata di depan mobil Mama ada kamu jatuh terus pingsan karena kaget, maafin Mama ya udah buat Ara kaget tadi," jelas wanita itu.

Ara hanya tersenyum canggung kemudian mengedarkan pandangannya mencari penunjuk waktu, matanya membola kala didapatinya waktu yang hampir menunjukkan tengah malam. Ia harus cepat pulang, itulah yang ada dalam pikirannya sekarang hingga melupakan keadaannya sendiri.

"Saya mau pulang, Tante. Ibu pasti khawatir mencari saya," panik Ara menyibak selimut terburu, Ibunya pasti sudah sangat khawatir sekarang.

"Tenang, Ara. Saya sudah memberitahu ibumu jika kamu bersama saya," jelas Tante Hesti ikut berdiri di belakang Ara yang sedikit tertatih mencari di mana tasnya berada.

"Ta ... tapi saya harus pulang, Tante. Terima kasih banyak sekali lagi atas pertolongan Tante. Saya permisi," pamit Ara begitu menemukan tas yang tergeletak di atas sofa.

Gadis itu bergegas keluar dengan tak menghiraukan rasa sakit di badannya, tujuannya hanya ingin segera keluar dari rumah ini dan segala kenangannya. Jika dulu dengan senang hati dia akan mencegah Ara, kini wanita itu hanya bisa pasrah dengan keinginan Ara meski terselip pula rasa khawatir dalam hatinya. Apa pun yang terjadi, ia tetap menyayangi Ara sama seperti sebelum terjadi apa-apa.

***

Menahan tangis, Ara bergegas menjauh dari pekarangan. Matanya terus bergerak mencari sesuatu. Bagaimana ia bisa sampai rumah? Ia tak tahu di mana motornya sekarang berada. Ara putuskan berjalan menuju halte depan komplek perumahan meski ia tahu tak ada lagi kendaraan umum yang melintas saat hampir tengah malam seperti ini. 

Duduk di kursi halte, Ara hirup napasnya dalam serta mengembuskannya perlahan untuk menetralkan semua perasaannya saat ini. Kenapa ia harus bertemu kembali dengan salah satu orang yang ada di masa lalunya?

"Mbak Ara?"

Suara seorang pria yang memanggilnya, membuat Ara yang sebelumnya menunduk perlahan mengangkat pandangannya. Dahinya berkerut saat menyadari keberadaan salah seorang penghuni lain rumah itu yang kini berdiri di hadapannya.

"Bima?" Pria itu tersenyum melihat Ara masih mengenalinya.

"Ayo aku antar Mbak pulang. Mama nyuruh aku buat pastiin Mbak selamat sampai rumah, yah meski tanpa Mama minta juga pasti aku bakal anter Mbak." Bima menjawab wajah penuh tanya Ara disertai cengiran khas pemuda itu.

"Tapi," Ara nampak ragu. Pasalnya, dia hanya beberapa kali berinteraksi dengan Bima selama dirinya menjalin hubungan dengan Ares dulu. Kala itu Ares selalu menunjukkan gelagat cemburu ketika Ara berinteraksi dengan Bima, mungkin karena usia Bima tak begitu jauh dari Ares, keduanya hanya memiliki selisih umur empat tahun. Bima memilih memanggil Ara dengan sebutan mbak walau Ara lebih muda darinya sebagai wujud rasa hormatnya pada kekasih Ares yang ia kira akan menjadi kakak iparnya.

"Ayo, Mbak!" Menangkap keraguan di suara Ara, Bima menarik pelan lengan Ara agar segera masuk mobilnya.

"Awh, stt ... sakit," rintih Ara meringis kala merasakan nyeri mendera pundaknya meski Bima hanya memegang dan menarik lembut lengan kanannya.

Mendengar rintihan Ara, Bima reflek melepaskan tangannya. Raut khawatir nampak jelas di wajah laki-laki itu.

"Mbak ada yang luka? Kita ke rumah sakit aja dulu ya, Mbak?" Bima sedikit membungkuk mensejajarkan tingginya dengan Ara.

"Tidak usah. Tolong antarkan aku pulang saja, Bim." Ara hanya pasrah saat Bima menuntunnya masuk dalam mobil.

Selama perjalanan hanya keheningan yang menyelimuti dua orang beda usia itu. Ara pejamkan matanya untuk menghalau sakit di badan juga berharap jika ini terakhir kalinya ia bersinggungan dengan masa lalu.

***

Ratna yang semula duduk gelisah di ruang tamu, tergopoh keluar saat mendengar suara mesin mobil yang memasuki halaman rumahnya. Wanita itu bergegas menghampiri sang putri yang baru saja keluar dari kursi penumpang depan. Sejak mama Ares mengabarinya soal keberadaan Ara, hatinya tak sedikitpun merasa tenang sebelum melihat langsung keadaan anaknya.

"Kamu kenapa, Ra?" Ratna menangkup wajah Ara yang jelas terlihat pucat meski hanya disinari lampu jalan yang remang.

"Enggak apa-apa kok, Bu. Tadi Ara cuma jatuh aja, kebetulan Tante Hesti yang nolongin Ara. Ara baik-baik aja kok, cuma masih kaget aja." Ara meringis mendapati raut khawatir yang kentara jelas di raut ibunya.

"Ehm," deheman dari Bima mengalihkan perhatian keduanya.

"Tante ... Mbak Ara, sudah malam. Bima pulang dulu ya. Semoga Mbak Ara cepet sehat." Bima menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, ia cukup canggung dengan keadaan seperti ini.

"Makasih ya, Nak Bima. Sampaikan juga terima kasih Ibu sama Bu Hesti karena udah nolongin Ara tadi. Hati-hati di jalan ya." Ratna beralih tersenyum tulus pada Bima, mendekat pada anak itu serta menepuk pelan pundaknya.

Bukan Ratna ingin mengusir Bima tanpa mempersilahkan anak itu masuk, tapi Ratna tahu jika Bima juga merupakan bagian masa lalu yang mungkin bisa membuat anaknya kembali merasakan kesedihan.

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang