Bagian 3

4.6K 629 45
                                    

Lelah, itulah yang Ara rasakan sore ini, padahal di hari-hari biasa dirinya paling bersemangat untuk menyelesaikan pekerjaan hingga kafe tutup. Sejak kejadian kemarin, ia tak sedikitpun bisa memejamkan mata, tubuhnya sudah ingin beristirahat namun suasana kafe yang cukup ramai hari ini juga seperti tak mengijinkannya untuk rehat meski sejenak.

Permasalahan yang ia kira telah selesai, ternyata menyisakan kemelut lain dalam keluarga besarnya. Ingin rasanya menjauh atau menghilangkan dirinya saja, namun ia tak ingin sepengecut itu. Bukan dia yang bersalah, tapi keadaan yang membuatnya bersalah, namun Ara tak sedikitpun bisa bicara.

"Pram!"

Suara penuh tekanan yang terdengar bersamaan dengan bunyi lonceng kafe, membuat Ara yang baru saja selesai merapikan serta mengelap salah satu meja ujung menengok ke arah pintu masuk kafe.

Sesaat kemudian Pramono yang merupakan atasan Ara terlihat tergopoh menjawab panggilan dari sang pemilik kafe. Ara sempat melihat keduanya terlibat pembicaraan serius sebelum kemudian seorang pelanggan memanggilnya untuk memesan sesuatu membuat Ara kembali disibukkan dengan pekerjaannya.

***

"Kamu pikir semudah itu aku bisa melupakan Laras, Res," gumam Wira nampak mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras, wajahnya berubah memerah menahan emosi.

"Sial!" desis Wira seraya melempar asbak kaca yang berada di dekatnya sebagai pelampiasan amarahnya tanpa peduli bagaima kacau ruangannya sekarang.

"Argh!"

Mendengar suara orang lain dalam ruangan khususnya membuat Wira yang masih diliputi amarah seketika berpaling ke arah pintu yang telah terbuka. Netranya melihat seorang gadis yang kini tengah menunduk seraya mendesis kesakitan namun tangannya terlihat masih berusaha keras menjaga nampan agar tidak terhempas ke lantai. Dari seragam yang dikenakan, pria itu tahu dia adalah karyawan kafenya, mungkin pegawai baru yang direkrut dua bulan lalu. Wira tak begitu peduli.

Beberapa saat kemudian Wira tersadar jika asbak yang ia lemparkan ke sembarang arah tadi kemungkinan besar tanpa sengaja mengenai orang tersebut, hal itu nampak dari pecahan asbak yang hancur di dekat kaki pelayan yang tak ia ketahui namanya.

"Sedang apa kamu di sana? Kenapa tidak mengetuk pintu?" Wira bersidekap dan memandang gadis itu penuh selidik.

"Ma ... maaf, Pak. Saya sudah mengetuk pintu sebelumnya, tapi tidak ada jawaban dari Bapak. Pak Pram tadi menyuruh saya langsung masuk saja, beliau meminta saya mengantarkan minuman serta makan malam yang Bapak minta." Ara memberanikan diri melangkah mendekat ke meja Wira dengan menahan rasa sakit yang semakin terasa di pundaknya.

Wira memperhatikan gerakan pelayan yang ia ketahui bernama Mutiara dari name tag yang digunakan. Ia sedikit merasa iba melihat Ara yang terdengar sesekali mendesis saat meletakkan nampan serta memindahkan isinya ke atas meja, namun anehnya tak ada sedikitpun niat Wira untuk menolong apalagi meminta maaf atas apa yang telah terjadi pada gadis itu. Semua itu ketidaksengajaan bukan, begitulah yang Wira pikirkan.

"Silakan, Pak." Ara membungkuk sebagai isyarat meminta ijin meninggalkan Wira. Alih-alih segera keluar, sampai di depan pintu gadis berseragam putih hitam tersebut malah berjongkok untuk membersihkan pecahan asbak yang berserakan di sana. Setelah selesai dan memastikan tak ada serpihan yang tertinggal, Ara berdiri dan keluar tanpa berbalik mengatakan sepatah kata pun pada Wira.

Wira yang sejak tadi mengamati apa yang dilakukan Ara, mengernyit heran karena bisa saja Ara memanggilkan petugas kebersihan tanpa perlu repot membersihkan sendiri kekacauan yang Wira buat tadi. Tersadar telah memikirkan hal yang tak penting, Wira mengendikkan bahunya serta mulai menyantap makan malamnya.

***

"Loh? Kamu kenapa, Ra?" Pramono yang sedang berkeliling mengernyit ketika Ara datang langsung membuang pecahan kaca di tong khusus kemudian duduk bersandar memegang pundaknya seraya meringis kesakitan.

"Enggak kenapa-kenapa, Pak. Cuma tadi pas masuk, nggak sengaja kena lemparan asbak dari Pak Bos." 

"Pak Wira maksud kamu?" Pramono nampak membola mendengar penuturan Ara, dan hanya mendapati anggukan kepala Ara sebagai jawaban keterkejutannya.

Semenjak datang, Wira memang terlihat dalam keadaan emosi. Pram kira setelah memanggil dirinya dan menumpahkan kekesalannya tadi, emosi  pemilik kafe tersebut telah mereda.

"Fira! tolong kamu lihat keadaan Ara dan bantu Ara obatin pundaknya."  Pram memanggil seorang karyawan perempuan yang juga dekat dengan Ara untuk membantu gadis itu, kemudian beranjak meninggalkan keduanya.

"Ya Ampun, Ra. Ini kok sampe lebam besar banget. Aku ambilin es sebentar ya buat kompres supaya mendingan." Fira nampak panik ketika sampai di ruang ganti ia melihat luka lebam yang gelap dan besar di pundak Ara setelah mereka berada dalam ruang ganti pegawai wanita.

"Tolong jangan kasih tau Pak Pram soal luka ini ya, Fir. Bilang aja cuma luka kecil, kasih salep nanti sembuh." Fira mengangguk ragu kemudian keluar, memberi tahu Pram mengenai keadaan Ara dan mengambil es untuk kompres serta kotak obat yang berada di dapur.

Setelah lukanya diobati, keinginan Ara untuk melanjutkan pekerjaannya dicegah oleh Pram, bahkan pria itu sempat menawarkan untuk ke rumah sakit terlebih dahulu guna memastikan seberapa parah luka yang Ara alami namun ditolak oleh Ara, hingga pada akhirnya Pram mengijinkan Ara untuk pulang lebih awal agar cidera di pundaknya tidak semakin parah dan segera sembuh.

Ara melangkahkan kakinya keluar kafe menuju deretan parkir khusus karyawan yang berada di samping bangunan, tempat motor matiknya berada. Tiba di depan motor, ia segera mengenakan helm meski sedikit kesulitan karena rasa nyeri yang mendera sebelah tangannya setiap digerakkan. Bersiap mengendarai motornya, baru saja tangannya memegang stang motor, sebuah ringisan muncul ketika nyeri semakin terasa di pundak kanannya. Bagaimana ini, mau tak mau ia memaksakan diri agar bisa segera sampai rumah. 

Tak jauh ia keluar dari tempat parkir karyawan, Ara semakin tak mampu menahan rasa sakit di pundaknya. Keseimbangannya hampir goyah ketika nyeri yang semakin menyiksa, untung saja kakinya sigap menahan sebelum dia terjatuh.

Tiiiinnn!!!

Bersamaan dengan Ara yang berhenti mendadak, suara klakson mobil yang hendak keluar dari parkir konsumen tiba-tiba terdengar tepat di belakangnya, ia yang tak lagi kuat menahan sakit serta syok karena hampir terjatuh seketika kehilangan keseimbangan serta kesadaran.

Pemilik mobil yang melihat kejadian itu segera memberikan pertolongan,  namun rasa panik yang ia alami berubah menjadi rasa terkejut ketika melihat siapa gadis yang tengah ia tolong. Seseorang yang pernah hadir dalam hidupnya, bahkan sangat ia kenali.

"Ara," panggilnya pada gadis yang kini nampak pucat serta menutup rapat matanya.

Sadar akan kondisi Ara, ia bergegas meminta bantuan pada orang yang juga melihat kejadian tersebut agar membantu membawa Ara masuk mobilnya dan segera mungkin mendapat pertolongan serta meminta sekuriti untuk mengamankan sepeda motor milik Ara.

"Kamu kenapa bisa gini, Ra?" cemas, ia lekas melajukan kendaraanya.

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang