Bagian 24

1.3K 222 16
                                    

Terima kasih untuk yang masih menunggu. Sehat selalu. ♥️
Super slow update, namun tetap  berusaha untuk dilanjutkan sampai akhir.

...

"Pak, Bapak ngapain ngajak saya ketemu keluarga Bapak lagi?" tanya Ara seraya melambatkan langkah, berharap genggaman tangan Wira segera terlepas dari tangannya sejak beberapa saat lalu memasuki tempat yang tidak Ara duga.

Ara pikir Wira akan langsung mengantarnya pulang, ternyata pria itu masih ingin menyiksanya dengan kembali mempertemukan dirinya dengan orang tua pria itu.

Namun, bukan Wira namanya jika tidak berbuat seenaknya sendiri. Alih-alih melepaskan genggaman tangannya, Wira justru sedikit memaksa Ara mendekat dengan menarik perlahan tangan gadis yang sejak tadi ada dalam genggamannya.

"Kamu tidak perlu berbuat banyak, cukup anggukkan kepala jika mereka bertanya, dan jangan terlalu banyak bersuara kalau tidak mau kena masalah," titah Wira sebelum keduanya sampai pada sudut yang Wira tuju.

Ara hanya merapal doa dalam hati agar waktu berjalan dengan cepat hingga ia bisa segera terbebas dari pria aneh di sampingnya ini. Seenaknya saja memberi perintah, bagaimana dia akan bersuara jika pertemuan pertamanya dengan orang tua Wira tempo hari tidak bisa dibilang sesuatu yang baik.

"Kami sudah memesan makanan, kalian mau pesan makanan dulu?" tanya bu Mirna sesaat setelah keduanya duduk di hadapan mereka, sementara sang ayah masih berfokus pada tab yang sedari tadi menyita perhatiannya.

"Kami cuma sebentar." Wira lebih dulu menarik kursi untuk Ara duduki, kemudian mendudukkan dirinya sendiri tepat di sebelah gadis itu.

"Kami akan menikah." Sebuah pernyataan singkat bahkan tak pernah ia duga, mampu membuat punggung Ara menegang.

Apa-apaan orang ini? Menikah? Sejak kapan mereka membahas soal ini? Bahkan mereka sama sekali tidak memiliki hubungan meski hanya sekedar teman. Batin Ara merutuk, jika bukan karena perjanjian yang tanpa ia pikirkan kemungkinan terjadi situasi seperti ini sebelum mereka tiba di tempat ini, ia pastikan pria di sebelahnya ini tidak akan pernah ia lepaskan dari amukan.

"Kapan kalian akan menikah?" Pak Danu bertanya tanpa sedikitpun mengalihkan fokusnya.

Hening sejenak, hingga akhirnya Wira menggenggam tangan Ara yang sejak tadi terkepal erat tanpa tahu jika gadis itu menahan emosinya sedari tadi.

"Secepatnya."

Sebuah jawaban singkat, namun ternyata lebih mengerikan di indera pendengar Ara. Gadis itu beralih membalas genggaman Wira, lebih tepatnya mencengkeram tangan Wira agar pria  arogan itu menghentikan kegilaannya.

"Wira!" Bu Mirna sedikit menekan ketika menyebut nama sang putera, ia tahu jika dilanjutkan akan membuat kedua pria beda usia ini akan kembali memanas.

"Silahkan. Tapi pastikan jika itu bukan karena rasa bersalah." Pak Danu meletakkan tab seraya melepas kacamatanya, menatap Wira dalam.

Cengekeraman Ara mengendur kala mendengar ucapan ayah sang bos. Rasa bersalah? Apa mungkin pria paruh baya ini sudah tahu tabiat sang anak padanya sejak mereka bertemu? Tapi, kenapa rasanya ucapan pria itu selalu berulang ketika ada Ara berada  di tengah mereka? Ara yakin jika Wira tidak akan merasa bersalah atas perlakuan padanya selama ini, terlalu remeh untuk pria itu. Sebenarnya rasa bersalah untuk apa?

"Kamu, jangan terlalu senang jika anak saya ingin menikah dengan kamu. Kamu tidak sepantas itu." Bu Mirna menatap Ara tajam, menumpahkan kekesalannya, namun tanpa sadar membuat rasa penasaran Ara semakin besar.

Apa yang telah terjadi? Bahkan ia baru sekali bertemu dengan mereka, namun terasa seperti mereka tahu segalanya tentang Ara.

***

"Bagaimana?" Wira menegakkan badannya untuk menyimak pembicaraan lawan bicaranya via telepon.

"Lanjutkan." Sebuah seringai muncul ketika suara di seberang telah selesai memberikan informasi.

Entah informasi apa serta dengan siapa pria itu berbicara. Setelah mengantarkan Ara tanpa memberikan jawaban ketika gadis itu menuntut penjelasan, Wira bergegas kembali ke kantornya. Ada hal lebih penting yang menunggunya sedari tadi dari pada menjelaskan pada gadis itu.

***

"Kenapa, Ra?" Tepukan di pundak Ara membuat gadis itu tersadar jika sedari tadi ia tanpa sadar tengah melamun saat berada di meja makan.

"Eh, enggak ada apa-apa kok Bu."

"Yakin? Daritadi ibu perhatiin kamu cuma ngacak-acak nasi aja. Ada ya g ganggu pikiran kamu? Enggak terjadi apa-apa waktu kamu jenguk Laras tadi kan?" Bu Ratna bertanya penuh selidik, was-was jika perasaan anaknya kembali dilukai oleh keluarga kakak mendiang sang suami.

"Enggak kok Bu. Lagian tadi ketemu mbak Laras cuma sebentar."

Mbak Laras sih enggak seberapa, tapi setelah dari sana itu yang bikin Ara pusing, Bu. Batin Ara melanjutkan.

"Makan dulu kalo gitu. Apa mau Ibu buatin yang lain?" tawar Bu Ratna.

"Ini aja Bu." Ara bergegas menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulut. Ibunya sudah lelah bekerja, ia tak ingin membuat satu-satunya orang yang ia miliki semakin khawatir padanya.

"Eh iya, tadi ada paket buat kamu. Ibu taruh di meja kamar." Bu Ratna beranjak setelah memastikan Ara selesai makan.

"Paket? Perasaan aku enggak beli atau pesen apa-apa." gumam Ara namun masih dapat didengar sang ibu.

"Kayaknya bukan dari online shop. Ibu lupa tadi siapa yang kirim, kamu cek sendiri aja." sahut bu Ratna sembari mencuci piring.

Ara beranjak ke kamar, menarik kursi untuk ia duduki seraya menatap lekat pada amplop besar yang tergeletak di atas meja kamarnya. Amplop?

Perlahan ia amati, mencari nama si pengirim namun yang ia temukan  hanyalah tertera nama dan alamat dirinya saja. Haruskah ia buka? Pikirannya bercabang antara rasa penasaran juga rasa khawatir mengenai apa yang ada di dalam sana.

Setelah berpikir lama, Ara putuskan untuk membuka, mungkin isinya sesuatu yang penting.

Jantungnya serasa berhenti berdetak, rona wajahnya seketika memucat. Apa ini? Siapa yang mengirimnya? Kenapa setelah sekian lama kembali lagi? Tangannya terkulai, membuat lembaran yang ia keluarkan jatuh  berserak di lantai.

Ayah.
Bulir bening perlahan mengalir, suaranya tercekat. Lirih. Siapa yang tega melakukan ini padanya?

...

Gadis CadanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang