"Maaf, Pak." Kesekian kali Ara mengucapkan maaf pada pria yang tengah duduk menatap tajam padanya.
Kemunculan Wira yang tiba-tiba berdiri di belakang Ara tadi, membuat gadis yang tengah membawa nampan berisi secangkir cokelat panas dan beberapa menu lain refleks kaget hingga hilang keseimbangan ketika membalikkan badan hendak mengantar pesanan.
Pesanan berantakan, bahkan cokelat panas yang ia bawa malah tumpah mengenai sang atasan. Sesaat Ara tidak tahu harus berbuat apa, sedari tadi gadis itupun tengah menahan sakit kepala yang mendera sejak pagi, beruntung dirinya tidak terjatuh. Akan tetapi, pria itu berlalu tanpa begitu saja setelah menyuruhnya menghadap.
"Silahkan pulang." Wira menghela napas, menyerah memilih mengalihkan perhatian pada layar laptop di depannya.
Sedari tadi Ara menunggunya selesai berganti pakaian dan mengobati bekas tumpahan minuman panas tanpa sedikitpun bersuara, namun Wira berusaha mengabaikan keberadaan gadis itu agar tidak meluapkan kekesalannya. Siapa sangka justru beberapa kali kata maaf yang terucap sekalinya gadis itu membuka suara.
"Maksud Bapak?" Ara memberanikan diri bertanya.
"Kalau sakit, istirahat. Saya tidak mau orang lain celaka hanya karena pegawai sakit tapi memaksakan diri tetap bekerja," jelas Wira tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.
Sebenarnya dirinya tidak terluka serius, bekas tumpahan coklat panas tadi memang masih terasa sedikit perih setelah ia oleskan salep saat berganti pakaian tadi. Akan tetapi, wajah pucat gadis di depannya sedikit mengganggu pikiran Wira.
Gadis keras kepala ini selalu memaksakan diri, masih saja sama seperti awal mereka bertemu dulu.
"Maaf, Pak."
Wira sekali lagi mengabaikan permintaan maaf Ara. Gadis itu tidak akan berhenti menyalahkan diri, apalagi jika Wira kembali mengeluarkan suara.
Gerakan tangan Wira sebagai isyarat memintanya keluar, membuat Ara kian tertunduk lesu. Menyerah, memaksa badannya menjauh dari ruangan sang bos, setidaknya dia sudah berusaha meminta maaf pada pria itu, beruntung dirinya tidak diberhentikan dari pekerjaan.
***
"Kirimkan bukti itu padanya. Dia harus tahu yang sebenarnya." Wira menutup telpon tanpa menunggu.
Menyandarkan punggungnya, pria itu menyugar rambutnya asal. Tanpa seorang pun tahu, dirinya kembali meminta seseorang kepercayaan menyelidiki kejadian masa lalu yang terus mengganggunya. Pertemuan dengan Ara, kilasan memori serta perasaan yang ia rasakan selama ini pasti bukan sebuah kebetulan, hingga ia menemukan fakta lain dari yang selama ini ia terima. Setelah mempertimbangkan semua, ia putuskan jika dirinya sendirilah yang nanti akan memberitahu Ara soal kebenaran yang ia temukan.
Wira tahu, mungkin setelah ini akan sulit baginya namun ia juga tidak bisa terkurung dalam rasa bersalah yang selalu mengusik harinya.
***
Sementara itu, setelah keluar dari ruangan Wira, Ara berjalan gontai menuju loker untuk berkemas pulang. Benar yang pria itu katakan, ia tak akan bisa bekerja dengan benar jika terus memaksakan diri. Hampir sepanjang malam dirinya terjaga karena memikirkan isi paket yang ia terima. Ara butuh istirahat meski tidak yakin apakah ia bisa melakukannya.
Harusnya ia langsung pulang ke rumah, namun pikiran serta hatinya membuat Ara membelokkan motornya ke suatu tempat. Memarkirkan kendaraan roda dua miliknya, kemudian berjalan menuju gerbang yang kembali mendobrak memori silam terkelam.
Saat langkahnya terhenti, sebuah senyum pedih muncul dari bibir gadis itu kala mendapati sebuah nisan terukir nama yang sangat ia rindukan dalam hidup selama ini.
"Yah, Ara ke sini."
Sunyi.
"Yah, Ara bisa enggak peluk ayah lagi, sebentar aja? Ara takut, Yah. Ara kira, Ara bakal bisa kuat meski Ayah enggak sama kita lagi. Ternyata Ara enggak bisa sekuat itu." Kepalanya menyandar pada batu nisan seolah dirinya sedang bersandar memeluk sang ayah.
Semua hal yang selama ini tersimpan dalam hati mengalir dari bibir gadis itu, meski sunyi yang menjadi jawaban, Ara hanya butuh kekuatan setelah meluapkan perasaan, merasa lebih baik setelahnya meski tak sepenuhnya baik-baik saja.
Berkas perjanjian damai dengan nominal sejumlah uang yang nilainya cukup besar di masa lampau, entah siapa pengirimnya, menjadi sebuah pukulan yang membuat luka lamanya seakan berdarah kembali. Sakit. Bahkan rasanya lebih sakit ketika sebuah bukti datang padanya tanpa ia berusaha mencari tahu apapun mengenai hal buruk yang membuatnya harus kehilangan sang ayah.
Saat selesai mengunjungi makam sang ayah, Ara bergegas pulang sebelum petang datang tanpa menyadari sedari tadi seseorang melihatnya dari kejauhan.
"Tunggu sebentar lagi," gumam pria itu dari balik helm full face yang sempat ia lepaskan ketika mengamati pergerakan Ara dari kejauhan.
Awalnya ia ingin mengabaikan gadis itu, entah kenapa rasa khawatir tiba-tiba mendobrak perasaannya hingga Wira nekat mengikuti Ara sampai ke tempat ini. Beruntungnya gadis itu belum jauh dari area parkir hingga dirinya masih sempat untuk menyusul. Wira bersyukur karena beruntung, hari ini dirinya yang biasa menggunakan mobil lebih memilih berkendara dengan motor.
***
Plak!
Baru saja kakinya menginjak ke ruang tamu, sebuah tamparan menyambut kedatangan Ara.
"Mbak Ajeng!" Ibu Ara berteriak.
"Kenapa?" tanya Bu Ajeng Angkuh pada Bu Ratna. Ia kemudian menatap Ara sinis sambil bersedekap. "Keterlaluan kamu! Berani menghancurkan rumah tangga Laras!"
Aneh, bukannya menangis atau melawan. Ara justru tertawa, membuat sang ibu dan Bu Ajeng bingung dengan respon gadis itu.
"Menghancurkan?" Ara bertanya disertai kekehan kecil. Tangan kanannya pengusap pelan pipi kanan yang ditampar kencang oleh sang bibi. Sakit memang, namun tidak sebanding saat Ara mengingat apa yang telah dilakukan sang bibi di belakang keluarganya selama ini.
"Ra," lirih sang ibu memanggil seraya mencoba mendekat pada anak gadisnya, namun Ara memberi isyarat dengan tangan agar sang ibu tetap berada di tempatnya.
"Kenapa selalu menyalahkan orang lain? Bukankah kalian sendiri yang melakukan?" Ara menatap lekat sang bibi, namun bulir bening serta sesak dada tidak lagi bisa terbendung.
"Kalian semua sama saja! Hanya ingin menang sendiri. Kalian hanya bisa memanfaatkan kelemahan orang lain. Munafik!" Sorot mata tajam tidak biasa Ara membuat sang bibi mematung tidak menyangka jika keponakan yang biasanya hanya diam menerima perlakuannya akan mengatakan hal di luar dugaannya.
"Kalaupun rumah tangga mbak Laras hancur, itu bukan salahku. Salah mbak Laras sendiri yang nggak bisa mengendalikan prasangkanya. Harusnya dia bersyukur bisa menikah dengan orang yang cinta sama dia. Bukan malah cemburu dengan hal yang bahkan aku saja tidak pernah melakukan. Cukup aku selama ini diam, tapi bukannya kalian memperbaiki malah semakin menjadi tuduhan kalian." Ara berlalu menuju kamarnya setelah mengatakan apa yang selama ini dia pendam.
Sesaat setelah melewati sang bibi, langkahnya terhenti, "Silahkan keluar dari rumah kami. Kehadiran anda tidak pernah diharapkan lagi di sini."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Cadangan
RomanceMutiara Anandya yang hampir bertunangan dengan Ares harus menelan kekecewaan serta patah hatinya ketika sang kekasih memilih membatalkan pertunangan tepat pada hari pertunangan mereka. Tak cukup sampai di sana, sebulan kemudian Ares kembali datang...