Maratungga melangkah pelan memasuki tempat pemakaman umum. Tangan kanannya membawa sebuket bunga dengan dominasi warna kuning. Langkahnya berhenti tepat disebuah makam dengan nisan bertuliskan; Cakrawala Agnibrata.
Maratungga tersenyum sendu, ia berjongkok di samping makam tersebut.
"Hai... Bang Mara datang, Cak," ucap Maratungga lirih. Ia meletakkan bunga dominasi warna kuning tersebut di atas makam sang adik.
"Bunganya warna kuning, warna kesukaan Cakra." Maratungga menaburkan kelopak bunga yang juga ia bawa, ke atas makam tersebut.
"Selamat ulang tahun Cakra. Selamat ulang tahun adik kesayangannya Bang Mara." Suara Maratungga terdengar parau, ia menahan tangis. Matanya berkaca-kaca menatap nisan di hadapannya.
"Selamat ulang tahun yang ke delapan belas tahun, Cak."
Pulang sekolah Cakrawala berlari menghampiri Maratungga yang sedang duduk di teras rumah dengan sebuah kanvas di hadapannya. Senyuman terpatri di wajah mungil Cakrawala.
"Bang Mara! Bang Maraaaa...." Ia menepuk kedua bahu Maratungga.
"Apaan, sih?!" Sentak Maratungga. Ia menepis kedua tangan Cakrawala yang menyentuh bahunya.
Meskipun diperlakukan tidak ramah oleh sang abang, Cakrawala tidak ambil hati. Senyumannya masih tidak memudar.
"Bang Mara hari ini hari apa?" tanya Cakrawala. Kedua netranya menatap Maratungga dengan binar. Ia sangat berharap sang abang akan mengingatnya.
"Senin," jawab Maratungga datar.
"Ih, bukan itu, Bang! Ini tuh˗"
"Pergi nggak lo?" Maratungga menatap tajam Cakrawala. "Ganti seragam dulu sana," usirnya.
Cakrawala hanya punya satu seragam sekolah, ia tidak memiliki seragam cadangan. Jika ia tidak segera mengganti seragam sekolah, seragamnya nanti bisa rusak, kotor dan cepat lusuh. Masih ada waktu dua tahun lagi sebelum ia lulus dari SMA. Kalau seragam Cakrawala sudah rusak, siapa yang akan mengeluarkan biaya? Tentu saja Maratungga.
Dipikir cari uang gampang! Maratungga tidak ingin membuang-buang uangnya lebih banyak untuk Cakrawala. Enak saja!
Satu seragam sekolah untuk tiga tahun, titik. Maratungga tidak akan mau membelikan Cakrawala seragam baru lagi kalau seragam itu rusak. Ayahnya tidak mungkin sudi mengeluarkan uang untuk Cakrawala. Maratungga sudah membelikan untuk Cakrawala dan sudah menjadi tanggung jawab Cakrawala juga ia harus menjaga seragam itu baik-baik.
Cakrawala masih tidak beranjak dari posisinya.
"Ngapain masih berdiri di sini? Lo nggak denger gue tadi bilang apa, hah?"
"Bang Mara beneran nggak inget hari ini hari apa?" Cakrawala menatap Maratungga penuh harap.
Brak!
Maratungga meletakan kuas melukisanya di atas meja teras dengan kasar hingga menimbulkan bunyi debrakan. Ia lantas memandang Cakrawala tajam.
"Masuk, ganti seragam!"
"Bang Mara hari ini hari ulang tahun Cakra," ucap Cakrawala pada akhirnya.
"Ya terus? Gue peduli?"Maratungga menatap Cakrawala tanpa ekspresi.
"Bang..."
Maratungga tidak merespon. Cakrawala pun menghembuskan napas panjang. Bohong kalau ucapan Maratungga tersebut tidak membuatnya terluka. Cakrawala pun melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan Maratungga yang kembali asik dengan coretan cat airnya di atas kanvas.
Cakrawala sudah begitu excited ketika pulang ke rumah, berharap bahwa abangnya itu akan mengingat hari ulangtahunnya, mengucapkan selamat ulang tahun untuknya, membawakannya kue ulangtahun dengan lilin menyala diatasnya seraya tersenyum kemudian akan bilang;
"Ayo Cak, tiup lilinnya." Lalu menyerahkan kado untuknya.
Namun nyatanya, Maratungga tidak melakukan apapun untuk Cakrawala. Maratungga melupakan ulangtahun Cakrawala. Seharusnya Cakrawala tidak berekspektasi terlalu tinggi. Ia lupa bahwa Maratungga bukanlah sosok yang dapat bersikap manis. Maratungga orangnya keras. Ia tidak menyukai hal-hal melankolis seperti itu. Tidak ada yang peduli dengan Cakrawala, termasuk sang ayah.
Cakrawala tersenyum getir. Di dalam kamarnya, masih dengan seragam sekolah lengkap melekat ditubuhnya, ia menuliskan sebuah surat.
"Selamat ulang tahun untuk diriku sendiri." Tulis Cakrawala dibagian paling atas.
Maratungga beranjak berdiri. "Bang Mara pulang dulu, ya." Pamitnya meskipun ia tahu tidak akan ada yang meresponnya.
Maratungga melangkah pergi dari peristirahatan terakhir sang adik. Ia pulang ke rumah dengan menaiki taksi. Sebenarnnya ia lebih suka naik motor, namun kondisi tubuhnya saat ini yang masih lemah tidak memungkinkannya untuk berkendara. Ia masih tinggal di rumah lamanya karena ia belum selesai membereskan barang-barangnya. Kemungkinan sore nanti ia baru bisa pindah rumah.
Maratungga memasuki kamarnya, membuka lemari bajunya untuk memasukan baju-bajunya ke dalam koper. Di dalam lemari miliknya, tepatnya dispace paling atas ia dapat melihat delapan kotak dengan berbagai ukuran masih tersimpan rapat di sana. Melihat kotak-kotak hadiah itu membuat dadanya merasa sesak.
Kotak-kotak hadiah itu adalah kado pemberian Cakrawala setiap ulang tahunnya. Sudah delapan tahun Cakrawala selalu rutin memberinya kado. Padahal Maratungga selalu melupakan ulangtahun Cakrawala, namun adiknya itu tidak pernah telat mengucapkan selamat ulangtahun serta memberikan kado untuknya. Hal yang Cakrawala lakukan pada Maratungga membuat Maratungga merasa bahwa dirinya sangat berharga.
Kado dari Cakrawala tidak ada yang mahal, semuanya hal-hal sederhana dan harganya murah. Ada sepasang sepatu, tas, jam tangan, baju, topi. Cakrawala bahkan membelikan kado untuk sang abangnya langsung ke pasar lalu melakukan tawar menawar kepada penjualnya. Tak urung Cakrawala mendapatkan tatapan sini dari ibu-ibu penjual itu lantaran ia menawar barang yang akan dia beli terlalu murah. Mau bagaimana lagi, uangnya pas-pasan untuk membelikan Maratungga kado.
Namun Maratungga tidak pernah mau memakai kado yang Cakrawala berikan untuknya. Padahal Cakrawala sangat ingin melihat Maratungga memakai pemberiannya. Ia pasti akan sangat senang.
Maratungga yang tidak ingin mengenakan hadiah dari Cakrawala membuat Cakrawala tak jarang berpikir;
"Kado dari Cakra harganya murah, Bang Mara pasti malu kalau pakai barang pemberian Cakra."
Cakrawala mampu membuat Maratungga merasa bahwa dirinya sangat berharga meski diri Maratungga tidak sempurna. Namun Maratungga lupa untuk melalukan hal serupa yang Cakrawala lakukan padanya. Egonya terlalu tinggi. Ia ingin dihargai dan dianggap berharga namun ia lupa untuk menghargai orang lain. Sampai kemudian, egonya menghancurkan semuanya.
Maratungga tidak pernah mengerti bagaimana Cakrawala akan merasa begitu bahagia meski hanya dengan ucapan selamat ulang tahun darinya. Dan sekarang saat ia ingin mewujudkan hal tersebut dengan rumah yang dibelinya secara kredit sebagai kado, Tuhan justru telah terlebih dahulu menjemput Cakrawala tanpa memberi Maratungga kesempatan untuk sekedar mengucapkan;
"Selamat ulang tahun, Cakra..."
---000---
Sampai bertemu di chapter berikutnya.
Kalian mau ngucapin apa ke Bang Mara?
Ayo ucapkan ucapan selamat ulang tahun untuk si periang yang kini sudah berpulang, untuk Cakrawala Agnibrata.
Semangat menabung, bulan April cerita ini akan terbit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Terakhir Cakra ; Coretan Maratungga
Teen FictionSebuah pesan dari Cakra kepada Maratungga yang dianggap pesan biasa ternyata itu adalah pesan terakhir sebelum hari kematiannya. Kepergian Cakra membuat Maratungga mengabadikan memory kisah hidupnya bersama sang adik dalam sebuah coretan di atas kan...