Absen dulu sini. Siapa nama panggilan kamu? Biar kita bisa saling kenal
Kamu asal kota mana nih?
Kamu baca ini jam berapa dan lagi ngapain?
Okey, selamat membaca 💓
---000---
Seperti biasa, hari ini pun Maratungga duduk di teras dengan peralatan melukisnya. Ia dengan lihai mengoleskan warna-wana cat ke atas kanvas hingga menghasilkan sebuah karya yang dapat dinikmati keindahannya. Mendadak pergerakan Maratungga terhenti ketika;
Tes
Darah berwarna merah kental menetes dari hidung Maratungga di atas palet cat air warna kuning miliknya. Maratungga meletakan kuas yang digenggamnya ke atas meja yang ada di sampingnya. Ia bangkit dari duduknya kemudian berjalan memasuki kamar mandi untuk membersihkan mimisannya.
"Bang Mara, Bang Mara nggak papa?"
"Sebentar Bang, Cakra ambilin tisu."
"Bang Mara di situ dulu, jangan kemana-mana."
"Aduh banyak banget darahnya. Bang Mara kepalanya juga pusing?"
Maratungga menyalakan air kran lalu membasuh hidungnya.
Sssssh!
Suara air kran yang mengalir mengisi kesunyian ditengah rasa sakit Maratungga. Wastafel yang semula putih kini memerah karena bercak darah dari mimisan Maratungga. Maratungga melihat penampilan dirinya di depan kaca kamar mandi. Wajah dan bibirnya sangat pucat, hidungnya terlihat merah. Dada Maratungga naik turun, ia mencoba menetralkan degup jantungnya yang menggila. Pasokan oksigen di sekitarnya seolah-olah habis.
"Cakra..."
Maratungga memegang wastafel dengan kuat. Kepalanya terasa sangat pusing hingga membuat dia seakan kehilangan keseimbangan. Mau ratusan kali ia memanggil nama Cakra, adiknya itu tetap tidak akan datang. Ia lupa bahwa ia sekarang hanya sendirian. Tidak ada lagi Bunda untuknya, tidak ada lagi Cakra untuknya, dan ayahnya juga pergi entah kemana.
Di dalam kamar mandi, seorang diri, air mata yang selama ini Maratungga tahan. Ia tumpahkan. Maratungga menangis.
"Hiks!"
Dada Maratungga terasa sangat nyeri. Kakinya terasa sangat lemas hingga membuatnya kehilangan keseimbangan dan jatuh di kamar mandi.
"Argh..."
Maratungga menutup wajahnya dengan telapak tangan, ia menangis dengan isak yang berusaha ia tahan. Bahunya berguncang.
Maratungga kecewa dengan hidupnya. Masih tidak cukupkah ia kehilangan Mamanya sejak lahir, kehilangan Bundanya, kehilangan kasih sayang ayah yang selama ini ia banggakan dan kehilangan Cakrawala? Mengapa penyakit ini kembali menyerangnya?
Maratungga hanya ingin tersenyum, mengapa rasanya susah sekali?
"Sakit... hiks!"
Tangisan Maratungga terdengar sangat menyakitkan.
---000---
Malbi sedang nongkrong bersama dengan teman-temannya di salah satu kafe yang ada di depan kompleks. Di kompleks ini banyak remaja seumurannya. Maratungga biasanya juga kerap nongkrong di sini, namun sepertinya mulai sekarang Maratungga sudah tidak bisa lagi kumpul-kumpul di sini. Rumah baru Maratungga letaknya lumayan jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesan Terakhir Cakra ; Coretan Maratungga
Teen FictionSebuah pesan dari Cakra kepada Maratungga yang dianggap pesan biasa ternyata itu adalah pesan terakhir sebelum hari kematiannya. Kepergian Cakra membuat Maratungga mengabadikan memory kisah hidupnya bersama sang adik dalam sebuah coretan di atas kan...