| CHAPTER 3 | SEJARAH SEPEDA KUNING

13.7K 3.2K 702
                                    

Absen dulu sini.
Kalian askot mana?

Kelas berapa?

Waktu baca ini jam berapa dan lagi ngapain?

Okey! Jangan lupa vote dan komennya ya.

Selamat membaca!

---000---

Di depan rumah Maratungga yang ia tinggali bersama dengan ayahnya dan Cakrawala, sudah ada kendaraan pick-up berwarna hitam. Di belakang pick-up tersebut terisi oleh barang-barang yang akan turut dibawa Maratungga pindah ke rumah baru.

Keputusan Maratungga untuk pindah rumah sudah bulat. Ia tidak ingin lama-lama tinggal di rumah ini, terlalu banyak kenangan buruk untuknya yang tanpa dia sadari membuatnya trauma. Terutama jika tentang Cakrawala.

Maratungga bersiap untuk mengunci rumah. Ia sama sekali tidak peduli tentang ayahnya, baginya saat ini ayahnya sudah mati. Ayahnya tidak pulang, Maratungga tidak ingin mencari. Biarkan saja ayahnya pergi, ia tidak peduli.

Ceklek

Rumah tersebut terkunci. Seorang bapak-bapak dengan tubuh gempal menghampiri Maratungga, ia adalah sopir mobil pickup yang ia sewa untuk mengantarkannya pindahan.

"Sepeda yang disana itu juga punya kamu?" tanya bapak tersebut. Jari telunjuknya menunjuk sebuah sepeda usang berwarna kuning yang teronggok di samping rumah.

Maratungga memandang sepeda kuning tersebut, kemudian mengangguk. "Sepeda adik saya," ucapnya.

"Oh punya adik kamu, sepedanya diangkut juga tidak?" tanyanya kembali.

"Bawa, itu sepeda kesayangannya adik saya," tutur Maratungga.

Kening bapak tersebut berkerut bingung. Sepeda kuning itu terlihat sangat usang, besi-besinya sudah tua, rawan keropos. Model sepedanya juga sudah sangat ketinggalan jaman. Apakah masih ada anak remaja jaman sekarang yang mau mengendarai sepeda seperti ini? Remaja sekarang pasti akan lebih memilih naik motor model keluaran terbaru atau motor ninja dibandingkan naik sepeda kuning usang seperti itu.

Tanpa banyak bertanya lagi, si bapak segera membawa lalu menaikan sepeda kuning usang itu ke atas mobil pickup.

"Mara!" Teriak Malbi.

Maratungga menoleh ketika sebuah suara menginterupsi pendengarannya.

"Lo beneran mau pindah?" Malbi melangkah mendekati Maratungga yang masih berdiri di tempatnya.

Maratungga diam, tidak ingin menjawab. Apa Malbi buta? Tidakkah ia melihat barang-barang milik Maratungga yang ada di atas pickup? Semua itu sudah cukup jelas untuk menjawab pertanyaan Malbi.

Maratungga dengan kebisuannya membuat Malbi mengembuskan napas panjang.

"Gue anter," tawar Malbi.

Sejak beberapa hari lalu Maratungga mengurus semuanya sendiri, padahal tubuhnya sedang tidak sehat.

"Nggak˗" Ucapan Maratungga berhenti ketika Malbi menarik tangannya dan membuatnya masuk ke dalam mobil sedan putih.

"Pertanyaan gue tadi cuma basa-basi," tutur Malbi. "Gue mau anter lo pindahan rumah. Gue nggak butuh jawaban lo karena ini bukan tawaran tapi keharusan."

Maratugga mengembuskan napas, matanya yang sayu hanya berkedip lemah. Ia sedang tidak ingin berdebat dengan Malbi.

"Pak, bapak jalan duluan ya. Mara sama saya," ucap Malbi pada sopir pickup.

Pesan Terakhir Cakra ; Coretan MaratunggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang