| CHAPTER 11 | NGINEP

8.8K 2K 181
                                    

Absen dulu sini

Siapa nama kalian?

Kelas berapa?

Baca ini jam berapa dan lagi ngapain?

Selamat membaca 💓

---000---

Maratungga duduk di bibir kasur, di depannya saat ini ada sebuah kotak berukuran tidak terlalu besar berisi tumpukan surat-surat yang ternyata selama ini Cakrawala tulis sebelum hari kematiannya tiba.

Tulisan Cakrawala dalam surat-surat itu terlihat unik. Ia menulis menggunakan pena berdasarkan suasana hatinya. Ketika Cakrawala sedang rapuh dan bersedih, ia menulis surat berisi pesan-pesan itu menggunakan pena tipis. Ketika Cakrawala suasana hatinya marah dan kesal, ia menulis menggunakan pena bertinta tebal. Dan ketika Cakrawala suasana hatinya sedang baik serta ceria, ia menulis surat itu menggunakan pena warna-warni.

Selama Cakrawala hidup, ia selalu memendam semua rasanya sendiri tanpa menceritakannya pada orang lain. Kalaupun bercerita, ia hanya menceritakan bahagianya saja, tidak dengan luka-lukanya.

Namun sepandai apapun Cakrawala menyembunyikan perasaannya, ia juga manusia biasa yang juga membutuhkan tempat untuk bercerita. Dan Cakrawala menuangkan semua perasaan lewat surat-surat tersebut. Bagi Cakrawala, tidak apa tidak ada yang bisa menjadi tempatnya untuk bercerita dan berkeluh kesah, setidaknya dengan menulis surat-surat ini membuat perasaannya sedikit lega.

Maratungga mengambil salah satu surat tersebut kemudian membukanya. Surat itu ditulis menggunakan pena tipis, tanda bahwa ketika Cakrawala menulis ini ia sedang dalam keadaan rapuh.

Cakrawala butuh pelukan, namun tidak ada yang datang melebarkan tangan untuk memeluknya, mempuk-puk punggung sambil mengucap kalimat menenangkan seperti; "Cakra kamu nggak sendiri, kamu masih punya aku."

Cakrawala menulis surat-surat ini sambil menangis dalam heningnya kamar dan kesendirian tengah malam.


Hai, Bang Mara apa kabar?
Haha Cakra nanyain kabar Bang Mara udah kayak kita beda alam aja. Padahal kan kita satu rumah.

Hari ini rasanya capeeek banget.

Cakra pengen istirahat, istirahat yang lama. Cakra nggak pengen ada hari esok karena kalau Cakra pikir-pikir,  hari-hari Cakra nggak ada yang bahagia.

Nggak ada yang bisa mahamin Cakra. Nggak ada!

Cakra pengen lepas dari semua rasa sakit ini, dan Cakra pikir satu-satunya cara terbaik untuk lepas dari rasa sakit adalah mati.

Maratungga mengambil napas panjang. Dadanya terasa amat sesak, saat ini ia merasakan hal yang sama seperti apa yang Cakrawala rasakan pada waktu itu. Namun sebenarnya ia tidak ingin mati, tapi ia juga tidak ingin hidup seperti ini.

Maratungga tidak tahu apa yang ia inginkan dan apa yang harus ia lakukan. Ia seperti tubuh tanpa jiwa, seperti selembar daun yang jatuh di atas laut dan pasrah mau dibawa ombak kemana saja.

Ia membuka satu surat lain yang ditulis oleh Cakrawala.

Lama Cakra diam di kamar, berperang dengan pikiran, perasaan dan diri sendiri. Sampai akhirnya Cakra menemukan jawaban atas pertanyaan itu.

Pesan Terakhir Cakra ; Coretan MaratunggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang