chapter 8

1.6K 252 11
                                    

Dalam kalbu yang kusam dan hampir tak tersentuh. Agaknya aku sedikit mengutuk sang pencipta sebab memberikan ku setitik rasa merindu tatkala dirinya telah meninggalkan segala macam rona warna pada hidupku. Meskipun lebih di dominasi kan kusamnya kelabu, terkadang aku sampai melupakan bagaimana indahnya pelangi timbul setelah perbuatan kelabu nya kepadaku. Dan jujur saja, sedikit menakutkan sebab adrenalin yang muncul bukanlah dari manusia pada umumnya.

.

Rasanya seperti dunia hitam yang tidak berujung, dimana aku menapaki dataran yang terasa dingin dan kelam ini—namun tak ku temukan setitik pun cahaya kehidupan.

Seperti halnya rasa penyesalan yang sangat besar, sampai sulit untuk dilukiskan. Menggerogoti warna dari manifestasi kehidupan.

Alih-alih ruang hampa tanpa audio, pendengaran ku justru menangkap suara samar. Bariton penuh jenaka yang tidak perlu ku tebak sekalipun pasti akan tertuju pada sosok Douma.

Akal ku begitu sadar saat ini, bagaimana indra peraba yang kumiliki merasakan tekstur dan juga suhu rendah yang luar biasa dinginnya hingga ke tulang. Juga tentang rasa sakit yang ku terima di lenganku.

Sangat menyakitkan. Kendatipun demikian, mulutku tidak bisa mengutarakan sepatah katapun mengenai rasa sakit yang ku terima. Persis seperti hanya menerima dan membisu dalam derita. Bahkan aku mampu merasakan bagaimana pipiku membeku oleh air mata yang terus saja meluruh, namun ketika tangan ku menyentuhnya, yang kurasakan hanyalah tekstur halus dari permukaan pipi kering saja. Tidak ada tanda-tanda dari apa yang ku rasakan.

Ini kali pertama aku merasakan seruak rasa menjengkelkan semacam ini. Di kendalikan sepenuhnya oleh seorang iblis. Douma seperti menyingkirkan jiwaku dari raga hanya untuk mengambil alih kendali tubuhku. Sebagaimana ucapannya tempo waktu lalu yang mengatakan bahwasannya aku ini adalah boneka miliknya.

Rasa sakit yang ku terima sangatlah nyata, raga ku menerima seluruh serangan di luar sana, sementara jiwaku hampir menggila merasakan bagaimana rasanya mati secara perlahan karena serangan bertubi-tubi datang menghantam ku. Seharusnya aku tidak boleh menaruh rasa percaya yang teramat pada sosok iblis. Bagaimanapun juga, mereka adalah sosok manusia yang telah membuang sisi kemanusiaannya demi kenikmatan duniawi sehingga menentang takdir sang Pencipta.

Sampai saat ini, dimana aku masih berada di sisinya merupakan wujud kepercayaan ku meski enggan ku akui, tanpa memikirkan ego ku sebagai manusia, aku bergantung kehidupan kepada Douma yang notabenenya adalah iblis keparat.

"Ah, aku mengenali wajah itu. Lihatlah, sama seperti Kotoha 'kan? Figura wajah manis yang menjadi pajangan pot di ruanganku"

Langkah kaki ku terhenti. Aku termangu tatkala suara Douma yang sangat jelas itu menggema di ruangan ini. Umumnya, hanya ujung kalimat sajalah yang mengalami perpanjangan gema, namun saat ini, justru nama yang disebutkan yang menggema. Seperti dengan sengaja di lontarkan kembali—atau Douma sedang bernostalgia?

Getaran pada pijak kan membuatku kehilangan keseimbangan dan terjatuh begitu saja—jatuh kedalam ruangan yang tidak memiliki dasar. Hati ku mencelos menyaksikan bagaimana helai rambutku menjuntai melawan gravitasi yang ada. Tanganku bergerak meraih udara lalu mengepal erat dengan percuma.

Tidak ada gunanya.

"Alasan mengapa kau masih memajang tengkorak itu hanya satu, kau hidup didalam penyesalan, iya 'kan?"

Deg!

"Omong kosong macam apa itu? Hidupku hanyalah untuk bersenang-senang. Manusia kerdil seperti mu tahu apa? Jangan macam-macam denganku."

A-ah, aku tidak tahu dialog percakapan macam apa ini. Tapi entah kenapa setiap kalimat yang di lontarkan Shinobu memacu degup jantung yang sama sekali tidak pernah ku dengar keberadaannya. Rasanya sakit sekali mendengar degupan keras yang membuat telingaku pengang.

"Iblis tidak pernah menyandera manusia dengan pemahaman apapun. Kau melakukannya hanya demi kepuasan pribadi mu. Nafsu yang kalian miliki hanyalah sebatas rasa lapar yang tiada batas, bukan nafsu birahi!"

"Hey!"

Pengelihatan ku tiba-tiba di invasi oleh cahaya putih yang teramat benderang. Begitu menusuk mata hingga memejamkan mata pun aku masih mampu merasakannya berapa terangnya sinar yang merambat, memaksa kelopak mataku untuk terbuka secara spontanitas.

"Meski kau cantik dan bermulut indah, bukan berarti kau bisa menggunakan mulutmu untuk berkata layas tanpa etika, terlebih pada sosok Es Agung sepertiku. Dimana rasa hormat mu?!"

Tubuhku menggigil hebat, hembusan angin dingin seolah mendorong ku kuat sekali. Mungkin, diluar sana tubuhku tak ayal menjadi samsak emosional Douma yang murka akibat provokator dari Shinobu. Aku sendiri pun tidak tahu menahu apa motif dari sang pilar serangga yang berkata demikian.

Hingga saat dimana aku merasakan tubuhku yang terlalu ringan dan menerima tekanan udara yang begitu hebat. Punggungku membentur permukaan sekat es yang memiliki permukaan kasar dan sedikit runcing dengan sangat keras. Rasa perih yang timbul dapat ku simpulkan sebagai luka segar yang dihasilkan oleh benturan.

"Akh!"

Tiba-tiba saja pengelihatan ku menampilkan pemandangan Douma yang jatuh berlutut dengan keadaan perut terkoyak, menumpahkan organ dalam beserta darah yang membentuk danau kecil di pijakan kakinya.

Perutku terasa mual menyaksikan pemandangan semacam itu, tanpa sadar mulutku memuntahkan darah dalam jumlah yang cukup banyak. Sebelah tanganku bergerak menangkup darah tersebut agar tidak mengotori Yukata yang ku kenakan.

"Kau ingin menyelamatkannya 'kan? Sayangnya, kau tidak bisa mengambil alternatif untuk membuatku sekarat terlebih dahulu. Baik jiwa maupun ragaku telah menyatu erat dengan (Y/n)-chan, lihatlah. Kau melukaiku, maka si manis akan luka juga."

Shinobu memandang khawatir keadaanku, genggaman pedangnya kentara sekali bergetar dengan penuh keraguan dalam setiap langkah yang akan di ambil oleh sosoknya.

"Kau hanya mengontrol Sumako-san melalui aliran darahnya yang mengandung darahmu. Semua ucapanmu tidak lebih dari bualan semata. Sebab aku—" Shinobu meremat haorinya erat-erat, "——akulah yang memutuskan apakah dia pantas kembali menjadi manusia atau tidak. Sekarang, Sumako-san, apakah kau ingin menjadi manusia kembali?"

Mungkin raut wajahku menunjukkan harapan yang teramat besar terhadap Shinobu, sebab aku mengangguk tanpa sadar dengan mata yang memanas. Reaksi yang membuat Shinobu tersenyum sembari menghampiriku—dan meninggalkan sosok Douma yang terdiam dengan raut wajah dingin.

"Kau, tidak boleh mengambil keputusan sepihak tanpa persetujuan ku, sayang." 

[]

𝐌𝐲 𝐃𝐞𝐬𝐭𝐢𝐧𝐲✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang