Chapter 2

3.4K 386 19
                                    

Keawasan menyebabkan traumatik sementara manakala netra memejamkan mata barangkali sedetik saja.

Selama bulan masih menampakkan diri di sisa malam hingga terbenam dengan menunjukkan mentari di kemudian hari, rasa takutku melebihi rasa kantuk dan letih akan kelanjutan perbuatan kejinya yang membuat akal ku turut memunculkan tanda tanya yang tak wajar, perihal hasrat manusiawi yang muncul untuk ukuran budak teratas si raja iblis.

Aktifitas seksual yang diluar nalar kini benar-benar membuatku takut. Dimana seorang iblis yang telah menyimpang dari ketetapan penelitian, kini menerapkan keanehannya padaku hanya berdasarkan ingatan masa lalu yang tidak ada kaitannya denganku sama sekali.

Pelampiasan yang tak mendasar untuk iblis yang notabenenya merupakan mahluk yang hanya memiliki hasrat untuk membumiratakan umat manusia dengan ketamakan akan hasrat lapar yang tak berujung.

Hampir terdengar tidak masuk akal, terlebih jikalau aku membagikan cerita ini ke siapapun yang ada di markas, ku yakin tidak ada satupun insan yang mempercayai perkataan ku. Menata pikiran untuk berpikir secara rasional pun agaknya membuat akal ku menumpul. Memikirkan bagaimana seharusnya sisi kemanusiaan yang dikenal dengan emosi pribadi itu hilang pada iblis, kini masih menetap dan melekat erat, seolah meminta dimaklumi perihal kesatuan hal yang tidak seharusnya ada

Semua hal yang terjadi merupakan kejanggalan yang akan menjadi penelitian besar-besaran, aku yakin

Douma, iblis rembulan peringkat dua atas, benar-benar melakukannya hingga aku tak lagi sanggup untuk bersuara. Tenggorokanku terasa sangat kering akibat berteriak memohon pengampunan yang sebetulnya adalah usaha yang sia-sia, sebab pria berusia ratusan tahun itu tetap menulikan telinga dan tetap memaksakan kehendak padaku dengan menumpahkan seluruh hasratnya kedalam tubuhku tanpa ampun.

Ketika menggerakkan anggota tubuh, rasa linu dan nyeri merabak keseluruh tubuhku tanpa terkecuali kemaluanku. Dan rasa linu itu semakin menjadi ketika aku mencoba untuk duduk. Bahkan air mataku turut meluruh hanya dengan mengambil satu tarikan napas guna menenangkan pikiran saat merasakan cairan yang mengalir cukup banyak dari kemaluan ketika aku menahan pernapasan dengan menekan otot perut.

Geletar tubuhku semakin menjadi ketika merasakan udara sejuk yang mulai menyapu kulitku yang tak tertutup oleh garmen. Douma meninggalkanku seorang diri di ruangan besar yang berisikan banyak ornamen bunga, tanpa meninggalkan satu helai pakaian pun.

Jika saja pedang nichirin milikku masih ada digenggaman tanganku saat ini. Maka aku akan bersumpah untuk memenggal kepala Douma detik ini juga apapun konsekuensi yang akan ku dapatkan.

“Apakah anda baik-baik saja, nona?”

Adalah pertanyaan terbodoh yang pernah kudengar disaat penampilan ku melebihi definisi dari kata 'kacau'.

“A-ah! Maafkan ketidaksopanan saya! E-eto, saya membawakan anda kimono baru. Dan juga nampan berisikan sarapan—”

Aku menghela napas berat sembari menahan ringisan dan air mata yang hendak meluruh kembali, “Terimakasih, bisakah kau meninggalkanku sendiri?” ketika menoleh. Wanita paruh baya itu menggeleng lemah lembut. Dia berjalan mendekatiku, lalu bersimpuh dihadapanku. Keningku mengernyit.

“Pendiri Agung memerintahkan saya untuk memberikan seluruh kebutuhan anda kepada saya. Oleh karena itu, saya merasa terhormat!” ujarnya penuh syukur.

Sekarang, aku tak memahami apa maksud dari perkataannya itu?

“I-ini pertama kalinya Pendiri Agung tidak membawa gadis muda ke surga. Saya pribadi merasa terkejut ketika mendapatkan tugas ini dari beliau.” wanita itu berceloteh selagi membantuku dalam mengenakan kimono disaat tubuhku belum dibersihkan sama sekali. Dia mengikatkan simpul obi sebagai tindakan akhir. Lalu menyisir rambutku yang sangat berantakan, “Saya tahu, mungkin ini berat bagi anda. Tetapi, percayalah bahwa Pendiri Agung sangat peduli terhadap kaum hawa seperti kita.”

Dia menyanggul rambutku sedemikian rupa, dan memberikan simpulan akhir berupa hiasan, “Apakah anda tidak sadar? Luka mengangah diperut anda telah sembuh seperti sedia kala. Tangan Pendiri Agung memiliki kemampuan untuk menyembuhkan, mukjizat dari Dewa atas kebajikannya selama ini.”

Tanganku refleks mengusap perutku, dan benar saja aku tidak merasakan nyeri akibat luka disana, mungkin wanita ini benar. Tapi tubuhku masih terasa nyeri dalam konteks yang lain.

“Apa kau paham arti dari ucapanmu itu? Mengapa kau yakin sekali bahwa orang itu adalah Dewa yang layak kalian sembah? Tidakkah kau menyadari bahwa dia adalah seorang—” ucapanku terhenti ketika melihat senyuman penuh kehangatan dari wanita paruh baya dihadapanku. Kedua tangannya yang menangkup didepan dada membuat hatiku terasa nyeri.

Douma memanipulasi orang sebaik ini? Betapa jahatnya bedebah itu.

“Saya tahu, Pendiri Agung memiliki kekuatan yang sangat hebat. Dia selalu melindungi kami—para pelayannya. Meskipun kasta kami rendah, beliau tidak memandang kami sebelah mata. Karena itulah saya berjanji untuk mengabdikan diri seumur hidup padanya.”

Kedua mataku melebar, “Meskipun ragamu dimakan olehnya?” Wanita itu mengangguk, “Selama hal itu berguna, maka saya tidak keberatan.” dia berujar dengan sangat yakin.

Aku tak bisa berkata apapun setelahnya. Terlalu terkejut ketika mengetahui fakta bahwa setiap orang yang melayani Douma bisa sepasrah ini dengan kematian yang akan datang kapan saja.

“Nama saya Karui, anda bisa memanggil saya apabila menginginkan sesuatu,” Karui menghela napas, “Kalau begitu, saya pamit undur diri.” 

Menatap kepergian Karui dalam hening, aku mendesah lelah. Makanan yang kelihatan menggungah selera di nampan pun terasa menjijikan, atau hanya refleks ku untuk menjaga diri ketika mengetahui makanan ini dimasak di tempat yang tidak memungkinkan.

Tiba-tiba aku mendengar suara petikan biwa yang sangat nyaring, suara itu muncul dari singgasana Douma. Tubuhku langsung siaga ditempat. Netraku memicing kala mendapati siluet Iblis itu kini telah berada di belakangku.

Apapun itu, yang jelas bunyi petikan biwa itu dapat kusimpulkan semacam teknik darah iblis tingkat tinggi. Seandainya saja aku dapat kabur—pasti aku akan memberikan informasi penting ini pada Oyakata-Sama.

“Ya ampun, mereka itu benar-benar tidak ramah.” kepala dengan surai pirang itu menoleh kebelakang—tepat dimana aku berada. Bibir pria itu membentuk seringaian.

“Sudah kuduga, kau sangat cantik jika didandani seperti seorang permaisuri.” sekuat tenaga aku menahan umpatan yang hendak keluar dari mulutku. Tatapan kurang ajar Douma melihatku seakan-akan hendak menelanjangiku. Begitu intens dan—sial.

Dia berjalan menghampiriku, pipinya bersemu layaknya babi yang kepanasan, “Kau wanita tertangguh yang pernah kuketahui, sangat hebat.” kini Douma berdiri tepat dihadapanku, mungkin berjarak kurang dari semeter. Aku menatap datar wajahnya yang memuakkan itu dengan tatapan jengah, “Tidak 'kah semalam itu menyakitkan?”

Aku berdecih, “Diamlah, dasar sampah.” desisku.

Bukannya marah, Douma malah tertawa, “Kalian memiliki paras yang sama, namun karakter kalian sungguh berbeda,” dia mengusap dagu pelan, “Bisakah kita mengulangi adegan yang telah berlalu? Kau tampak sangat cantik mengenakan kimono hijau.“

Ah, aku benar-benar membencinya, dan membenci diriku sendiri yang tidak dapat menarik diri dari teknik kotor Douma yang mengikat pergerakan ku entah bagaimana caranya itu.

[]

𝐌𝐲 𝐃𝐞𝐬𝐭𝐢𝐧𝐲✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang