27

2.4K 236 86
                                    

Mata kelam yang kini menatap sebuah ruangan mewah yang dihiasi box bayi di dalamnya, serta banyaknya paper bag yang tertata rapi di dalam ruangan tersebut, membuat seorang pria yang berdiri tegak di tubuh kekarnya yang beranjak senja itu tersenyum masam dengan kepala yang menunduk.

Bibirnya yang tersenyum getir, seolah menertawakan nasibnya.

Lee Jeno, pria yang hampir memasuki umur senja itu, tersenyum getir. Saat mata kelamnya menatap kamar sang istri yang di lengkapi dengan box bayi di sana.

Mata kelam yang kini terarah menatap foto pernikahannya di sana, membuat mata kelam itu menitihkan air mata di sela senyum getirnya.

"Sweetie,"

"Sudah dua puluh satu tahun saja, ya?" Gumamnya, bibirnya terus menyunggingkan senyum, namun bukan senyum getir seperti tadi, kini Jeno menampilkan senyum manisnya saat menatap foto pernikahannya dengan Ava.

"Hiu, putra kita sekarang sudah dewasa, kan?"

Jeno kembali tersenyum seraya menunduk, "Tentu, putra Dadda pasti sudah dewasa." Lanjutnya, menjawab pertanyaannya sendiri.

"Saya harap, Hiu lebih mirip kamu ketimbang saya, Ava." Lanjutnya lagi-lagi.

Kini, mata kelam itu mulai beralih menatap box bayi di depan sana.

"Dadda sayang Hiu,"

"Maaf nak, maafkan Dadda. Dadda hanya sempat menggendong dan mencium kamu satu kali." Gumam Jeno, mata kelamnya kini meneteskan air matanya.

"Kamu sekarang pasti benci Dadda kan, nak?" Lanjut Jeno, pria itu tersenyum getir di sela tundukkan kepalanya.

"Jangankan kamu, nak. Mama saja benci Dadda."

Senyum getir kembali Jeno tunjukkan sembari mengangkat kepalanya, "Bagaimana, sekarang Dadda sudah gagal, kan?"

"Gagal menjadi seorang suami dan Ayah secara bersamaan."

Air mata Jeno kini kembali terjatuh, saat pria itu menatap bingkai foto pernikahannya dan box bayi tersebut bergantian, "Dadda memang jahat, tapi jahatnya Dadda agar keluarga kita utuh, nak. Agar kamu, Dadda, dan Mama terus bersama, walau kadang tindakan yang menurut Dadda baik, selalu di pandang kejam oleh Mama."

"Namun demi apapun, bukan seperti itu maksud Dadda, nak." Lanjut Jeno lagi.



Di belakangnya sana, seseorang datang dan berdiam diri di sana.

"Tuan, mobil tuan sudah siap."

"Paman Choi." Panggil Jeno, tanpa berbalik. Dan masih menatap foto pernikahannya bersama Ava dan box bayi di depan sana.

"Bagaimana, paman sudah mendapatkan kalung berlian yang saya minta?" Tanya Jeno.

Paman Choi, pria berumur yang berdiri di belakang sana hanya menundukkan kepalanya, terdiam menatap Jeno yang begitu menyedihkan di dua puluh satu tahun ini.


"Paman?"

"Sudah, tuan." Jawab paman Choi, sekretaris pribadi serta orang terpercaya pria itu.

Jeno tersenyum manis, menatap wajah cantik Ava lewat foto pernikahan tersebut.

"Paman,"

"Ava sangat suka kalau di beri hadiah." Kata Jeno, seolah begitu bangga menceritakan istrinya itu.

"Istri saya itu pasti akan tersenyum begitu lebar, kalau saya datang membawa paper bag."

"Saya masih ingat saat itu." Senyum manis, kembali Jeno tunjukkan menatap bingkai di hadapannya.

Chocolate Milk [NC 21+] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang