“Gara-gara layangan putus saja, dunia dan sekitarnya kok heboh banget. Lha aku saja yang pernah mengalaminya tetap santai, yang peduli padaku ya ndak ada. Paling ya rasanya sakit, nangis, marah. Dah ndak kaget.”
Tiga orang perempuan yang duduk di depan kami, seolah tidak peduli dengan siapa saja mereka duduk dalam satu mobil. Dari percakapannya kutahu yang duduk di belakang sopir namanya Cintya, yang tengah-tengah Jesica yang sebelah kiri Kiara.
Mulut Kiara sesekali bersenandung mengikuti irama lagu yang diputar sopir sekaligus pemandu perjalanan wisata kami. Suaranya merdu dan melenakan, sikapnya juga lebih lembut dibandingkan Cintya dan Jesica kadang mereka saling bercanda, tapi sungguh kata-katanya sangat tidak sopan, dengan leluasa membuka aib masing-masing.
Kami seperti mengikuti paket wisata dan mendapatkan bonus menonton komedi bebas tanpa ‘cut’, bukan senang tapi malah enek, berkali-kali aku menarik napas dan mengeluarkannya dengan kasar. Tangan Mas Fajar--suamiku--meraih tanganku, mengelus kemudian menggenggam, seolah memberikan ketenangan. Perlahan mengajakku bercakap-cakap agar konsentrasiku pecah, tidak fokus pada omongan dan sikap mereka.
Kali ini Mas Fajar mengambil paket wisata ke Gunung Bromo. Ingin menikmati tanpa lelah menjadi sopir, Mas Fajar menyarankan ikut paket wisata.
Pukul delapan malam kami dijemput di depan rumah, kembali kerumah besok pada jam yang sama, perjalanan kami diperkirakan 24 jam, mulai dari menjemput kami, di tempat wisata dan kembali pulang.
“Mumpung ada diskon, Dek.” Alasan Mas fajar, agar aku tidak melayangkan protes. Bukan apa-apa, bepergian dengan orang yang belum kita kenal kumerasa kurang nyaman. Namun untuk menolaknya, tidak tega, kutahu Mas Fajar sudah lama ingin ke Bromo lewat paket wisata, apalagi sedang ada diskon.
Entah kenapa aku yang perempuan tidak begitu tertarik dengan diskon, bagiku kalau ada kita ambil kalau tidak ada, bukan rejeki. Berbeda dengan Mas Fajar, jiwa emak-emak yang bersembunyi dalam badan kekarnya seolah meronta.
Sesaat situasi tenang, ternyata mereka tidur. Aku mulai bisa menikmati perjalanan. Namun itu tidak lama, dering HP mengagetkan mereka, termasuk kami yang duduk dibelakang. Dering nada musik dangdut dengan volume maksimal. Semakin lama aku mengamati, kumerasa mereka semakin unik, luar biasa.
Gerakan perempuan yang bernama Cintya di luar dugaan, sebelum menggeser layar HP, gegas, tangan kanannya melepas masker dan jilbab yang digunakannya, rambutnya yang sepanjang bahu, di beri warna kuning kecoklatan mulai memudar, di acak-acak seolah baru bangun tidur, mengambil posisi sedikit rebah pada jok mobil.
“Ada apa, Nak? Sudah malam, kenapa belum tidur.” Suaranya, berubah serak seperti orang bangun tidur.
“Mama, di mana?“ suara anak laki-laki terdengar dari HP-nya
“Sudah malam, ya tidur, Dek. Kok kamu belum tidur?“
“Nenek masih nonton TV, aku ndak bisa tidur.“ Suaranya terdengar melemah. “Ma, kok gelap, kenapa? Mama kan ndak suka tidur gelap-gelapan.“
“Mati lampu, Nak. Udah ah, gimana Mama tidur, kalau kamu video call terus. Mama matikan ya!“ Sang anak belum menjawab, lambang telepon berwarna merah di geser sang Mama, suara anak menghilang.
“Hm ... anakku ada-ada saja, pakai ngecek mamanya sudah tidur atau belum.“
“Ya, bagus, kan! Anakmu perhatian.“ Kiara menjawab sambil mengubah posisi duduknya lebih tegak, suara HP Cintya membangunkan mereka bertiga.
“Ya, perhatian, tapi kalau setiap menghubungiku selalu video call, lama-lama anakku tahu, gimana aku sebenarnya,“ ucap Cintya sambil kembali menggunakan jilbabnya. “Pernah lo, dini hari, pulang dari kafe, anakku tiba-tiba video call. Aku baru sampai di depan rumah, buru-buru kubuka pintu pagar, ganti baju pakai daster, matikan lampu, atur selimut, baru terima panggilan. Dia nanya, ‘kenapa Mama belum tidur?’ Mata kugosok-gosok seolah-olah baru bangun tidur. Lha kamu ngebel, Mama terbangun.“

KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN KEHIDUPAN
Short Storyterinspirasi kisah nyata, semoga bisa menginspirasi menjadi pribadi yang lebih baik