"Kamu nulis apa?" Tiba-tiba suamiku sudah berdiri di belakangku.
Kaget dengan kedatangannya yang tanpa suara, hampir saja HP di tanganku jatuh.
"Sejak kapan berdiri di belakangku?" tanyaku dengan nada ketus. Paling tidak suka kalau dia sudah mulai jahil, walaupun kadang akhir kejahilannya membuat kami tertawa bersama.
"Sejak kamu nulis di HP. Nulis apa, sih? Menghasilkan nggak?"
"Hanya cerita pendek," jawabku kemudian melanjutkan menulis di HP.
Suamiku sudah hapal dengan kebiasaanku. Saat mode bosan atau jenuh, menulis jadi pelarianku selain membaca buku.
Saat seperti itu, baik suami atau Aulya--putriku-- tidak berani mengganggu.
Namun aku juga tahu diri, tidak selalu menulis dan menulis, pekerjaan rumah tangga aku kerjakan semua sendiri, termasuk cuci setrika.
Menyetrika juga caraku mengembalikan rasa bosan, orang lain bilang aneh, tapi itu nyaman bagiku.
"Kalau semua orang kayak kamu, laundry tutup semua, Dik." Sering kakak ipar menyindirku seperti itu, aku abaikan.
Mungkin dia risih melihat semuanya aku kerjakan sendiri setelah pulang dari kantor.
Aku tipe orang yang tidak bisa diam dan mudah jenuh. Dalam satu hari bisa mengerjakan berbagai pekerjaan, bagiku bekerja itu seni menikmati hidup, masalah hasil tidak mau terpatok pada satu titik tertentu.
Mungkin sukses bagi mereka saat berada pada posisi klimaks
Namun bagiku, sukses itu saat aku bahagia, bahagia itu jika hidupku: damai, tenang dan bisa menikmati apapun keadaan yang ada di depanku.
"Hobi itu jangan hanya membuatmu senang, tapi bagaimana caranya jadikan hobi itu menghasilkan uang!" Aku mulai mencium bau ceramah, suamiku bukan hanya suka bercerita tapi dia juga gemar menasehati orang.
Merasa terganggu, aku beranjak dari tempat duduk, refleks tangannya menarik tanganku dan membuatku terduduk dipangkuannya.
"Menemani suami, pahalanya banyak, lho," ujarnya menggoda sambil menaik turunkan alisnya.
"Jangan jadikan pekerjaanmu sebagai hobi, sehingga membuat kamu bekerja semaumu bukan semampumu. Namun jadikanlah hobimu sebagai pekerjaan, hati senang uang pun datang." Saat berbicara seperti itu, senyumnya mengembang.
Dia mulai lagi. Aku hapal betul tabiatnya, jika sudah seperti ini biasanya dia sedang jenuh. Entah dengan pekerjaan di kantor atau pekerjaan sampingannya.
"Seperti yang lain, dong. Dari menulis bisa menerbitkan buku, dapat uang. Atau paling tidak tulisanmu di muat pada aplikasi yang berbayar. Lumayan 'kan uangnya untuk beli buku lagi."
Kata-kata itu sudah sangat sering di ulang-ulang di depanku. Aku anggap itu sebagai penyemangat agar aku tetap menulis. Namun jika pengulangan ucapannya terlalu sering, lama-lama emosi juga hati ini.
"Katanya ada kelas menulis, kenapa ndak ikut? Ikut saja! Nanti aku ganti uangnya."
Kalau seperti ini, aku malah patah semangat untuk menulis. Dia lupa tujuanku seperti saat ini karena apa.
"Mas lupa, ya? Kenapa aku menulis?"
"Ya, karena kamu senang, kan?" jawabnya dengan santai, seolah-olah apa yang dia ucapkan tidak melukai perasaanku.
Baiklah, laki-laki memang tidak peka. Aku akan kembali menjelaskannya.
"Mas lupa, kalau aku menulis bukan hanya karena hobi, tapi karena ada hati yang kadang merasa diabaikan dan jiwa yang meronta butuh diperhatikan, dengan menulis semua terobati sekaligus."
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN KEHIDUPAN
Cerita Pendekterinspirasi kisah nyata, semoga bisa menginspirasi menjadi pribadi yang lebih baik