Muara Masalah

49 1 0
                                        

“Hidup itu bagai muara masalah. Semakin menghindar muara itu semakin penuh. Jika kamu belajar menghadapinya, pelan-pelan dirimu akan beradaptasi, di sanalah kamu mulai belajar dan akan mendapatkan hikmah dari masalah tersebut.“

Begitulah Kakek, selalu menebarkan kata-kata bijak untukku, entah aku mendengar atau tidak, paham atau tidak, kakek akan mengulang dan mengulanginya kembali. Prinsipnya ibarat menumpang pesawat, walaupun setiap hari kita naik pesawat, awak dan penumpang yang sama, maka pramugari akan mengulang dan mengulang kembali apa yang menjadi aturannya.

Seperti memberikan pemahaman kepada anak kecil, sekali dua kali tidak dilakukan maka dengan berkali-kali mengingatkannya akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang baik akan melahirkan karakter yang baik.

Tak jarang aku mendengarkan nasehat Kakek sambil berurai air mata, merasa bersalah tapi nasi sudah menjadi bubur, aku hanya bisa meratap tanpa bisa memperbaiki keadaan.

“Apa Kakek tidak marah dengan apa yang sudah kulakukan, bukankah ini sangat memalukan dan mencoreng nama baik keluarga besar? Bagaimana Kakek masih bisa berkata-kata bijak denganku? “ Seperti biasa, aku bertanya dan mengulang pertanyaan yang sama, sementara mataku sudah mulai mengembun.

“Kalau marah bisa menyelesaikan masalah, maka Kakek akan marah besar dan menolak ayahmu menitipkanmu di rumah ini. Kemarahan bukan solusi tapi kunci masalah.“ Tangan besar kakek merengkuh bahuku, dibelainya rambutku dengan lembut, seolah memberikan kekuatan.

“Maaf .... “ hanya itu kata–kata yang terucap sebagai jawaban atas kebaikan kakek.

Enam bulan yang lalu, Ayah menitipkanku di rumah Kakek di desa, jauh dari tempat tinggalku dengan Ayah dan Mama. Itu semua juga atas permintaanku, ini solusi yang tepat untuk saat ini. Bagaimanapun juga, aku putri kesayangan satu-satunya telah menghadirkan masalah besar.

“Maafkan kami, Nak. Ini semua terjadi karena kelalaian Ayah dan Mama. Andai kami lebih sering di rumah, mungkin akan lain ceritanya.“ Permintaan maaf mereka semakin membuatku merasa bersalah.

Aku memang kurang kasih sayang, tak jarang ketika membutuhkan mereka, rumah dalam keadaan sepi, hanya ada Bik Nah pembantu kami yang menemani. Tapi aku tidak menyalahkan mereka, tuntutan pekerjaan membuat mereka mengurangi waktunya untukku. Itu mereka lakukan, semua demi kebutuhanku.

Hidup memang tidak selalu demi uang, tapi tanpa disadari, hidup tak akan berjalan jika tidak ada uang. Tanpa kehadiran mereka saat aku membutuhkannya, membuatku melabuhkan masalahku pada laki-laki yang mengaku akan bertanggung jawab untuk kebahagiaanku, ternyata hanya gombalan belaka.

Satu tahun berteman di media sosial, selanjutnya pertemuan demi pertemuan kami lakukan,  entah di taman kota, di mal hingga berlanjut pertemuan di rumahku saat Ayah dan Mama keluar kota.

Perbedaan usia sepuluh tahun lebih tua dariku, nampak dewasa dan bertanggung jawab. Begitu pintar dia menebarkan bujuk rayunya, tanpa sadar aku terjebak dalam silat lidahnya. Gerak tubuhnya yang selalu cekatan, setiap aku membutuhkannya membuatku terbuai dalam jebakannya.

Ketika tersadar aku sudah masuk perangkapnya, jerit tangisku tak mampu menyelesaikan masalah. Saat masalah terbesar muncul—ada mahluk kecil dalam perutku--laki-laki yang selalu memenuhi hidupku dengan seribu janji menghilang tanpa jejak.

Kalut dengan masalah yang tak pernah kuhadapi, tanpa ada teman untuk berbagi, nekat ingin mengugurkannya, kuanggap itu solusi terbaik saat ini. Beruntung Mama tahu.

Duduk bersimpuh Mama memohon kepadaku, “Nak, jangan menambah dosa di atas perbuatan dosamu. Kamu hamil di luar nikah itu sudah dosa besar, bagaimana mungkin kamu akan menggugurkannya. Maafkan Mama, terlalu sering abai padamu. Kita sama-sama bersalah, Mama berjanji akan mendampingimu, apapun yang terjadi, tapi tolong, jaga anak dalam kandunganmu.“

Satu masalah muncul membuka masalah yang lainnya, berkumpul seperti muara tanpa solusi. Orang bilang akan indah pada waktunya, tidak berlaku bagiku. semakin kugapai keindahan itu seolah semakin menjauh.

“Aku akan mencari laki-laki itu,  dia harus bertanggung jawab. Aku tidak mau anak ini lahir tanpa ayah.“ Kuungkapkan apa yang menjadi keinginanku pada Ayah dan Mama.

“Laki-laki seperti apa yang akan kamu tuntut dan kamu inginkan menjadi ayah dari anakmu? Jelas-jelas dia telah berani menodaimu kemudian meninggalkanmu. Mungkin kamu belum bisa berpikir jernih. Ketahuilah, Nak. Apa  yang telah dilakukannya padamu, itu bukti bahwa dia bukan laki-laki yang baik. Jangan terperosok pada lubang yang sama,“ tegas ayah menentang keinginanku.

“Tapi ..., anak ini butuh ayahnya.“ Lirih aku berkata dengan kepala tertunduk. Aku takut menatap wajah Ayah dan Mama.

“Ada cara lain untuk mencarikan anak ini Ayah. Tidak harus laki-laki yang menyebabkan dia ada dalam kandunganmu menjadi ayahnya. Kita doakan, semoga ada laki-laki yang bisa menjadi Ayah baginya dan mengerti akan tanggung jawab, jangan sampai, anakmu meniru apa yang tidak pantas di lakukan, seperti yang menimpa dirimu saat ini.“

“Apa itu mungkin? “ Aku mulai terisak mendengar pendapat ayah.

“Berdoalah dan mulai saat ini bertobat dan belajar memantaskan diri!“

Sejak ayah menentangku mencari laki-laki itu, aku lebih banyak diam dalam kamar, kuliah terpaksa sementara kuhentikan. Terputus angan-angan tentang masa depanku. Bea siswa yang sudah di tangan, hilang terbawa masalah. Entah kedepan apa yang akan terjadi. Namun rasa gelisah selalu menyerangku, perasaanku tidak tenang, malu kalau ada yang tahu aku hamil tanpa pernikahan.

Kuikuti saran Ayah, untuk belajar memantaskan diri. Kumaafkan diriku sendiri yang berselimut dosa, kumohon ampunan atas kesalahanku selama ini. Perlahan hati ini mulai menemukan ketenangan.

“Yah, ijinkan aku tinggal di rumah Kakek di desa, sampai anak ini lahir.“ Aku memohon penuh harap pada Ayah.

“Sebutkan satu alasan! Kenapa Ayah harus menyetujuinya? “

“Aku ingin ini menjadi pelajaran bagiku. Akan kunikmati akibat dari perbuatanku, takdir hidupku. Suatu saat aku akan kembali pada Ayah dan Mama dengan harapan yang berbeda.“

“Bagaimana kalau di tempat kakek kamu tidak mendapat tempat di hati masyarakat. Apakah kamu sanggup hanya berdiam diri di rumah saja? “

“Setidaknya aku tidak bertemu dengan teman-temanku. Melihat mereka penuh tawa, berangkat kuliah aku makin terjatuh.“

Sejak Ayah setuju dengan keputusanku, Ayah dan Mama mengantarku ke rumah Kakek. Keputusanku memilih tinggal dengan Kakek tidak salah, beliau yang selalu bijaksana menyikapi masalahku, membuatku banyak belajar dari kesalahan yang kulakukan. Aku mulai belajar berdamai dengan masalah demi masalah yang kuhadapi selama ini.

Suara tangis bayi laki-lakiku memecah ruang bersalin. Air mata haru sekaligus bahagia membasahi pipiku. Kuberi nama Tegar Perjuangan. Apapun yang terjadi akan selalu kusayangi bayi ini. Prosesnya Tegar adalah masa laluku, kusimpan rapat-rapat, hanya sekali-sekali akan kukenang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.  Masa depan Tegar adalah penyemangatku.

Tamat

CERPEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang