FAJAR

36 3 0
                                    

"Jar, cepet mandi, Le. Kamu harus menyusul ibumu ke kota," teriak Nenek sambil memasukkan pakaian ke dalam tas sekolah, satu-satunya tas yang kumiliki.

"Lagi sebentar Pak Dhe Wanto menjemputmu. Hari ini dia mengambil kiriman barang ke kota. Di tempat ibumu jangan nakal, harus manut!"

Aku terdiam. Hanya melihat kesibukan Nenek: mulutnya yang tiada henti memberikan nasehat, tangannya sibuk menyiapkan pakaian. Tangan keriputnya sedikit gemetar, memasukkan satu persatu baju dan celana terbagus yang kumiliki.

"Nek, aku di sini saja, ya? Kasihan Nenek kalau tinggal sendiri," terisak aku memohon pada Nenek.

Kasihan kalau Nenek tinggal sendiri, aku juga tidak begitu suka tinggal di kota: berisik, anak kota nakal-nakal, di sana tidak ada sungai yang memanjakan tubuhku untuk bebas bermain. Bagaimana dengan teman-temanku di desa? Aku tidak mau kehilangan mereka.

"Jar, Nenek sudah tua, ndak sanggup lagi merawatmu ...."

"Aku sudah besar, Nek. Aku yang akan merawat Nenek." Cepat kupotong pembicaraan Nenek. Bagaimanapun juga aku tidak mau berpisah dengan Nenek, teman-teman dan sungai di desa.

Dari lahir sampai sekarang kelas empat SD, aku tinggal sama Nenek, bagaimana bisa harus meninggalkan semuanya.

"Ingat pesan Nenek, jadi anak manut, jangan nakal! Ikuti omongan Nenek, ini yang terbaik." Sedikit tersengal-sengal Nenek berucap, dia memang mengidap asma, semakin tua sering kambuh. Beruntung ada Bu Pian--bidan desa--yang selalu siap datang ke rumah, setiap penyakit Nenek kambuh.

Entah kenapa Nenek bersikeras mengirimku ke kota, tinggal bersama Ibu. Aku bahkan tidak begitu kenal dengan ibuku. Dia pulang hanya saat lebaran saja, itu pun tidak lama. Banyak pekerjaan, sibuk dan entah alasan apalagi yang di ucapkannya, aku sudah lupa. Kalau tidak pulang dia hanya mengirimkan uang, entah berapa Nenek yang paham.

Ketika mobil truk Pak Dhe Wanto datang, aku tidak sempat berpikir dan menolak lagi. Hanya tangis tertahan yang mengiringi perpisahan kami. Setelah naik ke atas truk, duduk di antara pak sopir dan Pak Dhe Wanto, belum sempat aku melambaikan tangan perpisahan, Nenek sudah tidak terlihat lagi.

Memeluk tas penuh dengan pakaian, tangisku semakin tidak terbendung.

"Sudah, Jar! Kasihan nenekmu kalau kamu sedih seperti ini, nanti lama-lama kamu juga kerasan tinggal di kota sama ibumu." Hibur Pak Dhe Wanto sambil mengelus-elus punggungku.
*

Tidak seperti yang gambaran dalam pikiranku. Rumah yang di tempati Ibu di kota ternyata rumah sempit. Hanya 1 kamar tidur dan ruang tamu. Letak dapur dan kamar mandi ada di luar rumah, itupun digunakan bersama-sama penghuni kontrakan lainnya.

Ibu jarang memasak, katanya tidak praktis. Membeli makanan matang lebih hemat. Entah apa maksudnya. Berbeda dengan Nenek, harus memasak! Lebih hemat dan pasti bersih dan menyehatkan.

"Besok Ibu daftarkan kamu sekolah, Jar. Jangan nakal dan jangan pernah buat masalah, resikonya Ibu kembalikan kamu ke desa dan tinggal saja bersama Nenek."

Tidak banyak yang aku sampaikan kepada Ibu. Selain bingung mau bilang apa, aku merasa ada jarak dengannya. Bertemu hanya setahun sekali dalam waktu singkat, seperti orang asing.

Aku juga tidak mengerti apa pekerjaan Ibu, apalagi pekerjaan penghuni kontrakan lainnya yang hampir semua penghuninya perempuan sebaya dengan ibuku.

Yang aku lihat, Ibu sering menerima tamu laki-laki dengan berbagai penampilan saat malam mulai datang.

"Ndak usah banyak tanya, apa pekerjaan Ibu dan siapa mereka yang datang bertamu ke rumah. Kamu cukup diam, tugasmu hanya sekolah, bermain dan jadi anak baik," tegas Ibu penuh penekanan. Bagaimanapun juga, dia ibuku yang bertanggung jawab padaku saat ini, aku tidak mungkin membuatnya kecewa dan mengirimku kembali ke rumah Nenek.

CERPEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang