Layaknya pelangi yang muncul setelah hujan. Begitu juga bahagia, tercipta setelah musibah datang, hidup menjadi lebih berwarna dan terasa lebih memiliki makna.
"Kejal aku kak, kejal aku!" Suara cadel Abizar cucu keduaku, berteriak memanggil adik sepupunya. Darel yang merasa di panggil namanya, bukannya mengejar, tapi terduduk di atas rumput halaman rumah.
Melihat Darel tidak mengejar, Abizar berlari ke arah Darel. "Dedek gak papa?"
"Capek ... Pulang!"
Begitulah pemandangan yang tersaji di sore hari di depan mataku, hiburan terindah yang tidak bisa kudapatkan selain di rumahku sendiri.
Sengaja aku membeli tanah yang luas di pinggir kota. Impianku suatu saat dua putraku--Rama dan Arya--menikah, kupetak tanah tersebut menjadi tiga, satu untuk rumahku sendiri, satu untuk Rama putra pertamaku bersama keluarganya dan satu untuk Arya putra keduaku bersama keluarganya juga.
Aku tidak mau berpisah dengan putra-putraku walaupun hanya berbeda kota. Mereka matahariku, tanpanya aku redup sebelum waktunya. Tanpa mereka juga, mungkin raga ini sudah menyatu dengan tanah.
"Memang terlalu Pak Aziz. Ngakunya tugas keluar kota, malah ketahuan nginep di hotel sama selingkuhannya."
"Pas begitu, apa ndak ingat sama anak istri yang menunggu di rumah dengan was-was."
"Padahal istrinya pegawai negeri, cantik dan ramah, gitu kok masih kurang."
"Lho, selingkuh itu bukan mencari yang sempurna, Bu, atau mencari yang lebih baik dari yang ada di rumah. Bisa saja yang diajak malah lebih jelek. Selingkuh itu ‘kan mencari yang mau. Mau mencari sensasi lain maksudnya."
"Ya ... karena suasana juga, Bu. Akan sulit menghindar kalau terjebak dalam suasana. Suasana hati yang tidak bersyukur atau suasana lingkungan, sering berdua dengan lawan jenis yang bukan mahram."
"Ya, begitulah. Mental suami atau pelakor sama saja. Sama-sama berjiwa maling."
Setitik air mata meluncur bebas tanpa kendali. Mendengar omongan ibu-ibu sambil menunggu arisan di kantor suamiku. Aku hanya terdiam meredam rasa amarah di dada. Beruntung masih masa pandemi, kemana-mana menggunakan masker. Setengah wajah tertutup masker, duduk di pojok ruangan sambil menunggu arisan kantor dimulai, tanpa sengaja mendengar gunjingan tentang Mas Aziz--suamiku.
Tak ada yang menyadari kehadiranku, gunjingan mereka makin panas, antara penasaran ingin mendengarkan, tapi dada terasa terbakar, air mata yang sesekali menetes terhalang masker yang kugunakan
Ingin bergegas meninggalkan ruangan, takut malah menimbulkan kecurigaan ibu-ibu yang lain. Ini bukan yang pertama, sering aku mendengar Mas Aziz memiliki hubungan dengan pegawai baru yang masih magang. Aku bahkan pernah melihat Mas Aziz membonceng pegawai magang yang dibicarakan orang-orang.
Kalau aku mau membuntuti setiap gerak gerik Mas Aziz mungkin sudah cukup bukti-bukti yang kukumpulkan untuk kemudian menggungatnya di pengadilan agama. Namun, aku masih menahannya, bukan apa-apa. Saat ini kuabaikan perasaan dan kebahagiaanku demi dua putraku.
Bukan hanya putraku sebagai pertimbangan, aku juga ingin menjaga perasaan ibuku yang tinggal di kampung. Ibu yang sudah tua, sering sakit-sakitan, tensi tinggi, tentunya tidak mungkin bisa menerima kenyataan jika aku berpisah dengan Mas Aziz. Semoga keputusanku ini bisa memperpanjang usia ibu.
Keluarga besar Mas Aziz orang terpandang, mereka semua memperlakukanku layaknya mutiara yang tidak boleh tergores, sangat menghargaiku. Itu juga salah satu alasan aku masih bertahan di posisi ini.
"Mas, sampai kapan kamu akan seperti ini? Aku diam bukan berarti menyetujui apa yang Mas lakukan padaku." Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Mungkin dorongan hati yang mulai sesak melihat tingkah lakunya yang semakin berulah.
“Tenang saja! Itu tidak seperti yang kamu bayangkan,” ucap mas Aziz sambil berlalu.
Saat hati ini, berusaha bertahan demi buah hati, atas perlakuannya selama ini. Dengan mudah dia berkata-kata seolah tidak terjadi apa-apa. Ingin aku mengejarnya dan meminta penjelasan.
Kutarik napas dan kuembuskan perlahan, aku tahu ini tidak mudah. Namun, mengejarnya, meminta penjelasan atas perbuatannya, bukan solusi. Pasti akan terjadi pertengkaran berakhir pada kata cerai. Aku tidak mau. Keluarga ini walaupun rapuh harus kupertahankan.
Tutup mata dan tutup telinga, itu yang terbaik saat ini. Rama dan Arya, harus diselamatkan. Masa depannya ada di tanganku. Semua tergantung kesabaranku, bisa bertahan atau tidak.
Segencar apapun kata orang di luar sana tentang suamiku, jangan sampai Rama dan Arya tahu. Aku khawatir ini akan menjadi contoh buruk bagi mereka, mempengaruhi masa depannya. Aku tidak mau perilaku buruk suamiku menurun pada putraku.
Aku menutupi keburukan Mas Aziz dengan sangat rapat, tapi hati mereka tidak bisa kututupi. Entah kenapa Rama dan Arya kurang begitu suka dengan Mas Aziz. Walaupun aku sering menceritakan sedikit kebaikan yang masih di miliki suamiku, tapi mereka tidak memiliki rasa simpatik pada ayahnya. Sering aku menegur, mengingatkan mereka, bagaimanapun juga seorang anak tetap berbakti dan hormat kepada orang tuanya.
Diam, itulah jawaban mereka. Tidak menunjukkan kebenciannya. Tapi mereka enggan berkomunikasi, bahkan bertemu pun enggan. Ketika Mas Aziz pulang ke rumah, anak-anak lebih senang ada di dalam kamarnya.
Namun dengan diriku, mereka sangat peduli, sedikit pun aku tidak boleh menderita. Saat Mbok Nah—tetangga yang sering membantu pekerjaan rumah—tidak bisa bekerja, maka semua urusan rumah tangga dikerjakan Rama dan Arya.
Aku melongo, melihat anak-anakku begitu cakap mengerjakannya. Entah kapan mereka mempelajarinya, aku bahkan tidak menyadarinya. Atau mungkin mereka belajar dari Mbok Nah, saat aku bekerja.
Ketika mereka ke luar rumah, entah untuk keperluan sekolah atau sekadar bertemu dengan teman-temannya, ada saja makanan yang dibelikan untukku. Menetes air mata haru, membasahi pipi, Allah benar-benar tidak tidur. Di saat suamiku keluar jalur, keluarga besar dan anak-anakku menjadi penopang hatiku agar tetap kokoh bertahan di tengah badai.
Perjuanganku perlahan mulai terlihat hasilnya, Rama dan Arya benar-benar bisa diajak bekerja sama. Kuarahkan mereka bukan hanya dalam hal pendidikan, tapi juga dalam mencari pekerjaan.
Entah mungkin sudah berada pada titik jenuh atau memang Mas Aziz sudah insyaf atau mungkin malu dengan anak-anaknya, aku tidak paham. Yang kutahu, Mas Aziz mulai berubah, lebih sering di rumah. Mudah-mudahan ini akan bertahan lama. Bukan apa-apa, aku pernah mendengar, sekali orang melakukannya, dia akan ketagihan, mendua seperti candu.
Mungkin ini hadiah untukku, mampu bertahan di tengah badai. Mungkin juga benar kata-kata, ‘akan indah pada waktunya.’ Setelah ujian dan masalah silih berganti menyambangi hidupku, kini pelangi itu mulai hadir.
Seiring insafnya Mas Aziz, Rama dan Arya mendapatkan kemudahan melamar pekerjaan. Bahkan, gaji pertama mereka sepenuhnya diserahkan padaku. Air mata haru ini hadir kembali melengkapi kebahagiaan kami.
Ketika sudah waktunya Rama menikah, tidak lama menunggu, putri mungil Rama lahir, menjadi cucu pertama kami. Tangis dan tawanya selalu memenuhi rumah kami. Disusul kemudian pernikahan Arya. Tiba waktunya mewujudkan cita-citaku yang tertunda, membangun rumah untuk Rama dan Arya. Di sebelah rumahku, rumah utama.
Hujan badai mungkin telah lewat, pelangi muncul dengan semburat cahayanya. Satu hal yang tak bisa aku lupakan, tidak ada yang sia-sia. Tidak rugi berkorban untuk sesuatu yang lebih. Nikmat Tuhan yang mana yang kami dustakan.
Tamat

KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN KEHIDUPAN
Historia Cortaterinspirasi kisah nyata, semoga bisa menginspirasi menjadi pribadi yang lebih baik