Aku Benci Ayah

859 4 0
                                    

‘Akhirnya meninggal juga, aku kira ayah akan hidup selamanya,’ bisikku dalam hati.

Jasadnya terbujur kaku, berselimut kain kafan, wajahnya belum tertutup sepenuhnya. Air mataku tak juga berhenti mengalir. Bukan air mata kehilangan tapi air mata kebencian. Melihat wajahnya yang pucat tak berdarah, sedikit pun tidak muncul rasa kasihan, amarah di dadaku telah mengubahnya.

Bayangan ayah berkali-kali menyakiti ibu tak henti lewat silih berganti seperti tayangan film yang di putar berulang kali, lagi dan lagi.

Setelah menikah, aku tahu ada de*sah nikmat yang tercipta ketika suami istri ada dalam kamar yang tertutup. Namun aku sama sekali tak pernah mendengarnya dari ayah dan ibu. Ketika terbangun tengah malam lebih sering kudengar rintih ibu yang kesakitan, kadang suaranya lirih meminta ampun. Entah apa yang dilakukan ayah padanya.

Tidak ada yang bisa kulakukan, hanya rasa sesak di dada,  mendorong air mata berlomba meluncur tanpa jeda. Tangan terkepal tanpa sasaran, gemeletak gigi beradu, emosiku memuncak, sia-sia.

Bukan hanya lukisan kekejaman ayah yang kulihat, suara dengan nada tinggi penuh amarah, terekam jelas di telingaku menyusup ke dalam hati. Menjadi pelajaran bagiku bahwa ayah bukan laki-laki yang baik.

Ayah bukan orang bod*oh, ayah pintar bahkan sangat pintar. Lingkungan mengakuinya. Bukan hanya berprestasi di tempat kerja, tapi menjadi panutan bahkan disegani. Tapi ayah bod*oh dalam memperlakukan wanitanya.

Ayah lupa, aku tidak hanya belajar di sekolah, belajar tidak selalu membaca buku. Aku juga bisa belajar dari rumah. Melihat bagaimana cara ayah memperlakukan ibu, tak cukup tangan yang bergerak, kadang kaki ikut menendang, sumpah serapah terlempar dari mulutnya, semua terekam dalam pikiranku, menjadi pelajaran tambahan bagiku, kedepan entah apa yang akan terjadi.

Ayah tidak pernah berpikir bagaimana kalau aku mengadopsi perbuatannya. Atau bagaimana kalau aku mendapatkan suami yang buruk seperti ayah.

Aku tidak tahu, seberapa besar kesalahan ibu, sehingga ayah berhak melakukannya seperti itu. Seolah-olah ayah tidak memiliki kata maaf, untuk setiap kesalahan yang dilakukan ibu. Begitu tinggi pendidikan ayah, tapi mengucap kata maaf tidak bisa.

Kukira ayah juga bersikap seperti itu pada orang lain, nyatanya tidak. Sikapnya selalu manis terutama kepada wanita-wanita di luar rumah, bahkan itu dilakukan di depan ibu, entah bagaimana perasaan ibu saat itu. Aku tahu, ayah  mungkin tidak tertarik kepada mereka, hanya sekedar gurauan. Kenapa kepada orang lain ayah bisa bersikap manis, tapi kepada wanita yang telah melahirkan garis keturunan untuknya, ayah begitu membencinya.

Sekali pun aku tidak pernah melihat senyum untuk ibu, bahkan ketika pengabdiannya begitu tulus kepadamu.

“Biasa saja, jangan berlebihan.“ Begitu datar nada bicaranya pada ibu, padahal dia hanya ingin mencium pipi ayah, setelah menunduk hormat mencium tangan sebelum berangkat bekerja.

Anak perempuan itu, cinta pertamanya jatuh pada sang ayah, lalu bagaimana aku bisa melabuhkan cinta pertamaku kepada seorang ayah yang tidak memiliki rasa cinta.

Semakin dewasa, aku semakin paham dan aku tambah muak dengan sikapnya. Apa yang aku tonton dalam drama Korea berbanding terbalik dengan apa yang aku tonton dalam drama kehidupan ayah dan ibu.

Setahuku ayah dan ibu tidak dijodohkan, aku pernah mendengar ibu bercerita, bagaimana ayah mengerjar-ngejar ibu hanya untuk menyampaikan surat cinta. Padahal ibu sudah ada yang melamar.

Bimbang melihat perjuangan dan perhatian ayah, cinta sangat besar terlukis di wajahnya, ibu memutuskan menikah dengan ayah, meninggalkan laki-laki yang lebih dulu melamarnya. Cinta ayah di masa muda layaknya drama romantis ternyata tidak lama. Setelah menikah, ayah berubah mengukir drama tragis, entah kenapa.

CERPEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang