Mengukur Baju

47 1 0
                                    


“Yu, kamu sudah dengar? Dinda semalam di gerebek di hotel HW. Yang gerebek suaminya sendiri. Parahnya lagi, Dinda seling*kuh sama teman suaminya. Wah ... teman makan teman.” Penuh semangat Sekar menceritakan kejadian semalam.

Sekar yang sudah kepala empat tapi belum menikah, entah kenapa senang sekali mengurus urusan dalam negeri orang lain. Apa faktor Sekar pernah patah hati, dikhianati pacar saat undangan nikah sudah tersebar atau memang sifat Sekar yang suka julid.

Kujawab dengan senyum sambil melanjutkan bekerja, tanpa melihat wajahnya. Selama ini Sekar memang sudah curiga dengan tingkah Dinda. Tiada hari tanpa membicarakannya. Ketika dia digerebek, hampir semua penghuni kantor sudah tahu dan tidak kaget mendengarnya.

Dinda, walaupun sudah pernah melahirkan seorang putra—kini berusia lima tahun—tapi badannya tetap proporsional, laki-laki normal pasti setuju kalau Dinda bukan hanya cantik dan anggun tapi dia juga pintar dalam bergaul. Ketika berbicara, kata-katanya seolah menyedot perhatian semua orang untuk berpaling padanya.

Aku yang satu kampung dengan Dinda, tahu betul siapa dia. Sejak SMP, saat anak-anak lain sekolah sambil bermain, dia sekolah sambil bekerja menjadi penyanyi keliling dalam berbagai acara, mulai dari pernikahan sampai ulang tahun.

Dinda bukan hanya terkenal cantik, dia juga pekerja keras, banyak laki-laki yang melamarnya, tapi semua di tolaknya dengan alasan, tidak akan menikah sebelum memiliki perkerjaan yang mapan. Cantik, bodi bagus, pintar, pekerja keras dan memiliki prinsip. Paket lengkap ada pada Dinda.

Walaupun dia penyanyi keliling, tidak pernah sekalipun terdengar dia menjadi wanita gampangan. Gampang diajak laki-laki. Sampai akhirnya dia menerima lamaran Mas Agung, laki-laki terpandang anak juragan sapi di kampung kami. Begitu mereka menikah, otomatis usaha ayahnya langsung di kelola Mas Agung.

Di bawah kendali Mas Agung, usaha mereka semakin berkembang, bukan hanya jual beli sapi tapi juga mulai merambah potong sapi dan sapi perah. Walaupun sudah sukses tapi Dinda tidak mau berhenti bekerja. Baginya bekerja sama dengan menyalurkan hobi, Dinda benar-benar totalitas.

Pernikahan mereka juga sangat harmonis, disusul kemudian lahir putra pertama, membuat lengkap kebahagiaan mereka. Seiring perkembangan usaha mereka, Mas Agung sering keluar kota, dalam jangka waktu yang lama Dinda juga sering mengambil jatah lembur. Sejak itu mulai terdengar aroma tidak sedap dalam hubungan mereka.

“Eh, sudah dengar kabar Dinda terbaru belum?” Tiba-tiba Pak Sasmito teman satu ruangan Sekar ikut bergabung langsung duduk di kursi kosong di depan mejaku.

Ini ada lagi, sejak kapan Pak Sasmito yang sudah menduda dua tahun--istrinya meninggal karena sakit—peduli dengan perselingku*han.

Aku jadi curiga, kenapa Pak Sasmito dan Sekar datang ke mejaku. Kurasa tidak mungkin mereka janjian hanya untuk membahas kasusnya Dinda. Mereka berbicara bahkan tanpa memberiku kesempatan untuk menjawab.

Ah, aku merasa semua jadi aneh, karena Dinda.

“Yu, hati-hati kalau punya suami, jangan terlalu di lepas, sekali-sekali perlu di kontrol, kalau ndak mau kasus Dinda menimpamu.” Mulut Sekar kembali  berceloteh.

“Betul, Din. Laki-laki itu seperti memegang sabun mandi batangan yang basah, terlalu kencang kamu pegang, sabunnya lepas, kamu pegang sekedarnya saja, sabunnya jatuh juga. Begitu juga laki-laki, kamu berikan kepercayaan lebih dia ingkar, kamu kekang dia berontak.”  Pak sasmito menambahi sambil mengambil beberapa biji kacang, cemilan di atas mejaku.

Bagaimana caranya mengusir mereka secara halus, ya? Ini jam kerja, mereka pagi-pagi sudah buka arisan di mejaku. Arisan gibah, maksudnya.

“Kok, Pak Sas, tahu?. Pak Sas begitu juga, ya? Tiba-tiba Sekar nyeletuk.

“Eh, enak saja. ingat ya! Aku duda ditinggal mati, bukan duda karena bercerai.”

Tiba-tiba Sekar melengos meninggalkan mejaku, sementara Pak Sasmito masih melanjutkan makan cemilan, matanya mengikuti gerak tubuh Sekar yang berjalan melenggak lenggok, seolah sengaja tebar pesona.

“Yu, suamimu ada dimana sekarang.” Kaget aku tiba-tiba Pak sasmito bertanya.

“Maksudnya, Pak?” kenapa dia jadi bahas suamiku?

“Kamu ndak tahu, ‘kan? Kamu istrinya kok ndak tahu suamimu dimana. Sekali-sekali kontrol suamimu. Terlalu percaya, ujung-ujungnya seling*kuh. “Ya ... paling tidak tanya sudah makan atau belum, lagi ngapain, seperti waktu pacaranlah. Jangan karena sudah menikah, komunikasi putus atau hanya seputar rumah tangga dan ranj*ang saja.”

Kali ini kujawab dengan senyum. Enggan aku membahas hal yang tidak pantas aku bahas dengan laki-laki dewasa yang tidak ada hubungan denganku. Bukankah curhat seperti ini, awal munculnya bibit perseling*kuhan.

Kenapa pagi ini semua membahas seperti itu, mudah-mudahan bukan karena Dinda. Aku merasa kasihan dengannya, aku tidak mau menghakimi Dinda hanya karena tahu permasalahannya dari permukaan saja.

“Maaf, Pak. Saya kebelakang sebentar.” Kutinggalkan Pak Sasmito, yang masih sibuk menikmati cemilan di atas mejaku. Kurasa itu satu-satunya cara mengusirnya secara halus. Mudah-mudahan aku kembali dia sudah pergi.

Sengaja aku lama di kamar kecil, dari luar kuintip mejaku, dia masih di sana  memainkan HP-nya. Terpaksa aku mampir ke kantin, sambil menunggu Pak  Sasmito kembali ke ruangannya.
*

Sore hari, menunggu azan Magrib, paling enak duduk santai di taman belakang rumah, sambil menikmati pisang goreng dan segelas teh hangat, tentunya di temani suami tercinta. Anak-anak belum pulang dari les, akhir-akhir ini pekerjaan rumah mereka makin banyak.

“Mas, Ingat sama Dinda, Ndak? Temanku di kampung.”

“Kenapa?” Mas Isham menjawab pertanyaanku dengan bertanya kembali.

Kuceritakan semua kejadian tentang Dinda, juga tentang omongan Pak Sasmito dan Sekar.

“Terus, maksud kamu apa?” Mas Isham menatapku dalam. Seperti ingin memahami isi hatiku.

“Aku takut, Mas ... aneh-aneh saat dinas keluar kota. Aku ....” Tangan Mas Isham reflek memegang bahuku, sontak aku menghentikan ucapanku.

“Terima kasih atas kepercayaanmu selama ini. Mas tidak akan menyia-nyiakan kepercayaan yang kamu berikan,” ucap Mas Isham sambil menyesap wedang jahe yang kusajikan. “Aku tahu, ketakutanmu akibat omongan atau perbuatan orang lain, itu wajar. Makanya perempuan sering dibilang baper, ya itu. Apa-apa langsung dimasukkan hati, dipikirkan tiap hari, tanpa jeda.”

“Kamu pernah menjahit baju?” Tiba-tiba Mas Isham mengajukan pertanyaan yang tidak ada hubungannya dengan pembicaraan kami.

“Maksudnya, Mas? Apa hubungannya dengan pertanyaanku?”

“Kalau kita menjahit baju, yang di ukur tentu badan kita, bukan? Bukan badan orang lain. Apa jadinya kalau kita yang menggunakan bajunya, tapi yang di ukur badan orang lain?”

“Ya, permak sana-sini, Mas. Walaupun ukuran badan kita sama, tetap ndak nyaman kalau pakai ukuran orang lain.”

“Nah pintar istriku.” Tangan Mas Isham, menjawil daguku. Membuatku tersipu. Ah, seperti pengantin baru saja, begitulah suamiku, tidak terlalu romantis, tapi sekali berbuat, membuatku tersipu.

“Baik buruknya sesuatu mengukurnya pada perasaan kita sendiri. Bukan perasaan orang lain. Kita tidak tahu bagaimana perasaan Dinda, sehingga berbuat seperti itu. Belum tentu kamu akan melakukan hal yang sama, apabila ada di posisi Dinda. Begitu juga aku, sering keluar kota, belum tentu aku melakukan apa yang dilakukan teman seling*kuhannya Dinda,” ucap Mas Isham sambil mengelus lembut rambutku, kemudian tiba-tiba menci*umnya. “Harum, Sa. Baunya masih seperti dulu, harum dan lembut.”

“Ish ... mulai deh.” Aku memasang wajah cemberut. Sontak memancing tawa Mas Isham.

“Tenangkan hatimu, ya!  Tetap percaya padaku, jangan pernah berubah. Apa yang terjadi pada orang lain, jangan masukkan dalam rumah tangga kita, apalagi sampai mengganggu keharmonisannya.”

Mas Isham mengembangkan kedua tangannya kemudian merengkuh tubuhku, membawa kedalam pelukannya, kubenamkan wajahku ke dadanya, kubisikkan kata, “maaf, kupercaya padamu, Mas!”

Tamat

CERPEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang