Rasa lelah mendera tubuh dan pikiranku, duduk sejenak di dalam bis kota--dari kantor ke rumah--itu kalau nasib lagi beruntung. Kalau lagi apes, berdiri berdesakan bercampur dengan penumpang lainnya.Rutinitas setiap hari, tanpa bisa dihindari. Lebih memilih naik bis dari pada sepeda motor. Menempuh jarak sekian kilometer, dalam kondisi lelah, aku tidak berani bertaruh nyawa.
Sekali-sekali mas Imron--suamiku-- menjemput, itu kalau dia sedang tidak bekerja. Hari ini Mas Imron, jadwalnya libur, tapi anak-anak tidak ada yang menjaga, Bi Iyah--asisten rumah tanggaku--suaminya sakit, sudah tiga hari libur.
Terpaksa Mas Imron menjaga anak-anak, saat ada kesempatan libur, kebiasaannya olah raga terpaksa dipending, sampai Bi Iyah bekerja lagi.
Kalau mas Imron dan aku sama-sama kerja, Bi Iyah tidak datang, anak-anak aku titipkan ibuku. Rumah kami bersebelahan dengan rumah Ibu, tapi sejak Ayahku meninggal, merasa berat menitipkan anak-anak pada Ibu.
Gurat kesedihan belum beranjak dari wajah Ibu, aku tidak mau menambah bebannya dengan menitipkan anak-anakku yang super aktif.
Geisya kelas 4 SD, Gelis kelas 2 SD dan Gauri masih berumur dua tahun. Entah menurun dari siapa, tingkah mereka sangat aktif. Hanya Geisya yang pendiam dan sudah bisa membantu pekerjaan rumah, itu pun kalau dia tidak ada pelajaran tambahan atau les menari kesukaannya.
"Ndak, pa-pa kamu titip anak-anak pada Ibu, kalau Bi Iyah belum bekerja, Ibu masih sanggup menjaga mereka." Itu yang selalu Ibu katakan, tapi aku tidak tega.
Sejak Ayah meninggal, bukan hanya wajahnya yang sering murung, fisiknya juga mudah terserang penyakit.
Ayah dan Ibu pasangan yang selalu harmonis dan tidak pernah berpisah, kemana Ayah pergi, ibu selalu mendampinginya. Ayah yang penyabar bertemu Ibu yang pendiam dan penuh kasih, benar-benar pasangan ideal.
Ayah dan ibuku bukan hanya idola bagiku, mereka cermin kehidupanku. Ayah begitu bijak dalam mendidik 3 putri dan 1 putranya. Sekalipun aku tidak pernah melihatnya marah, seburuk apapun kelakuan kami, terutama—Irfan--adik laki-lakiku.
Entah karena lingkungan atau memang Irfan yang nakal, sejak sekolah SMP sampai SMA, entah berapa kali pindah sekolah, mulai kasus berkelahi sampai merokok di dalam kelas. Namun ayahku tidak marah, selalu bijak menyikapinya.
"Kamu terlalu lembut padanya, lihat hasilnya!"
"Berikan hukuman setimpal, biar dia tidak mengulangi perbuatannya."
"Kalau dibiarkan, dia akan semakin parah. Kelakuannya sudah membuat nama baik keluarga besar kita tercoreng."
Banyak lagi masukan dari saudara Ayah dan Ibu, selalu dijawab senyum oleh ayahku.
"Semua ada masanya, tidak harus kekerasan di lawan dengan kekerasan. Orang tua itu rumah baginya, kalau orang tua keras, kemana Irfan akan pulang? Doakan saja dia cepat sadar!"
Selalu seperti itu jawaban Ayah. Jawaban yang terlontar selalu diiringi dengan senyum. Entah terbuat dari apa hatinya, bisa sabar menghadapi kelakuan kami.
Mungkin karena bosan atau sudah pada posisi titik jenuh, atau mungkin malu dengan kesabaran Ayah, memasuki bangku kuliah Irfan mulai berubah, kesabaran Ayah sepertinya berhasil mengubah sikapnya.
Satu persatu putra putri Ayah berhasil dalam didikan tangan dinginnya, tiga saudaraku bekerja di luar kota.
Aku merasa beruntung bisa bekerja tanpa harus keluar kota dan menikah dengan Mas Imron teman SMA-ku. Sebelum menikah, sejak kecil cita-citaku menikah dengan laki-laki seperti ayahku, bijak dan selalu sabar dalam bersikap.
Setiap saat aku berdoa, semoga ada laki-laki foto copy Ayah yang menjadi jodohku. Mas Imron memang tidak sama persis dengan Ayah, bahkan dalam hal kesabaran, mereka bagaikan bumi dengan langit, apalagi dalam mengasuh anak-anak.
Namun aku tetap memilihnya, alasan sudah mengenalnya dan berharap suatu saat ketika putra putri kami lahir, dia akan berubah. Masih banyak kelebihannya yang membuat aku memilihnya, tentu dengan persetujuan Ayah.
Geisya lahir setelah satu tahun pernikahan kami. Putri pertama kami, cucu pertama Ayah dan Ibuku, tentu saja menjadi putri yang selalu berlimpah kasih dan sayang.
Ayah ibuku begitu menyayanginya, aku berpikir, mungkin karena Geisya cucu pertama mereka.
Ketika Gelis anak keduaku lahir, Ayah dan Ibu tetap melimpahkan kasih dan sayangnya kepada Geisya tanpa mengurangi sayangnya pada Gelis atau pun cucu-cucu lainnya yang tinggal di luar kota. Ayah Ibuku tidak pernah membeda-bedakan mereka.
Bis kota masih melaju, kenangan masa lalu terus melintas dalam angan-angan, menemani perjalanan pulang dalam keletihan.
Ketika Gauri lahir, kesehatan Ayah mulai menurun. Seperti ada yang disembunyikan sebelumnya, tiba-tiba kondisinya menurun, satu persatu penyakit tua bermunculan.
Namun dari dulu sampai sekarang, sekalipun dari mulut ayahku keluar keluhan. Seberat apapun penderitaannya menahan sakit, senyum itu tidak pernah lepas, bahkan dari mulutnya masih sempat keluar kata-kata semangat untuk kesembuhannya.
Air mata haru akan perjuangannya tak terelakkan.
Doa senantiasa kami panjatkan untuk kesembuhannya, tapi Sang Pemilik Kehidupan berkehendak lain, mungkin Ayah sudah waktunya pulang, tapi kepergiannya tidak benar-benar meninggalkan kami, ada banyak nasehat kehidupan yang diwariskan.
Teriakan kondektur mengagetkanku, gegas aku turun. Berjalan beberapa meter saja, gerbang rumahku sudah terlihat.
Semangatku membuncah membayangkan kebahagiaan anak-anakku bertemu dengan mamanya, langkahku semakin cepat.
Tadi pagi aku berangkat lebih awal dari biasanya, Gauri masih terlelap dalam mimpinya, saat aku meninggalkannya.
Rasa lelah yang mendera mendadak pudar, seiring langkahku semakin dekat dengan pintu gerbang rumahku.
“Ampun, Yah. Ampun ....”
Langkahku terhenti, seperti suara Gelis. Kenapa dia? Bukan hanya suara Gelis minta ampun, nyaring terdengar suara pukulan.
Kembali aku mempercepat gerak kakiku, khawatir terjadi apa-apa dengan anakku. Semakin dekat gemuruh di dada semakin berpacu. Kubuka dengan kasar pintu pagar, sumber suara di belakang rumah.
Mataku terbelalak, tangan Mas Imron yang memegang sandal memukul berulang-ulang kearah pantat Gelis. Gelis meringkuk, kedua tangannya menutupi kepala memberikan perlindungan sekedarnya. Berusaha menghindar tapi pukulan sandal malah mengenai punggungnya. Mulutnya yang memohon ampun bercampur suara tangis ketakutan dan kesakitan.
”Hentikan, Mas! Ada apa ini?” gegas aku menahan tangan Mas Imron yang bersiap memukul kembali.
Wajah Mas Imron merah padam menahan amarah. “Anakmu! Aku melihatnya, dia meroko*k di belakang rumah.”
Luruh tubuh ini, kudekap erat tubuh Gelis, gemetar dia menahan rasa takut. Air mataku berpacu dengan air matanya.
Gelis memang salah, tapi bukan seperti ini menyelesaikannya.
Tersendat-sendat di sela-sela tangisnya dia menjelaskan.
Gelis meroko*k sekedar ingin tahu rasanya, melihat sang Ayah begitu menikmati setiap hisapan dan hembusan asapnya.
Anakku bercermin dari Ayahnya, cermin yang salah.
Tamat
KAMU SEDANG MEMBACA
CERPEN KEHIDUPAN
Historia Cortaterinspirasi kisah nyata, semoga bisa menginspirasi menjadi pribadi yang lebih baik