Sudah Biasa

57 0 0
                                    

“Roni tidak bisa aku kendalikan lagi. Bantu aku mendidiknya! Maaf, aku gagal menjadi Ibu sekaligus Ayah baginya.”

Pesan WA dari Mirsa—mantan istriku—membuat sesak di dada. Aku embuskan napas kasar, berusaha melepaskan beban.

Seharusnya Mirsa tidak perlu minta maaf atas kegagalannya mendidik Roni. Ini murni salahku.

Empat tahun merangkai mahligai rumah tangga, belajar saling memahami, sama-sama menekan rasa ego, selalu menjalin komunikasi agar tidak menimbulkan salah paham, tapi kami tetap gagal.

“Bambang bukan pri*a impianmu. Pikirkan kembali untuk menikah dengannya!” Kata-kata yang pernah diucapkan Ayah Mirsa ketika mengetahui putrinya menjalin hubungan denganku dan dengan berani datang ke rumah untuk melamarnya.

“Aku yakin Mas Bambang bisa berubah, Yah.” Keyakinan Mirsa begitu besar padaku. Aku harus bisa membahagiakannya.

“Kenapa kamu begitu yakin padaku, Dek?” terus terang aku penasaran dengan keputusannya.

“Mas Bambang seperti ini, aku yakin ada sebabnya dan dia pasti akan berubah.”

Mendengar alasan Mirsa, aku tidak akan menyia-nyiakan kepercayannya.  Namun, ternyata itu hanya sebatas angan-anganku. Seberapa keras berusaha tidak mengkhianatinya, kenyataannya aku telah menghancurkan hatinya.

Sejak Mirsa membaca pesan-pesan WA Wina--mantan pacarku, hubunganku dengan Mirsa mulai panas. Masalah demi masalah datang tanpa permisi dan tanpa solusi, terbaikan begitu saja.

Aku bukannya tidak peduli, tapi masih mencari waktu yang tepat, bagaimana caranya menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Namun tidak semua masalah bisa terselesaikan hanya dengan menunggu. Ada beberapa hal yang membutuhkan kecepatan waktu untuk dicarikan solusinya. Masalahku dengan Mirsa seperti roti kelebihan pengembang, aku diamkan dia semakin berkembang.

Mirsa bahkan menilaiku tidak bertanggung jawab. Hal yang dulu tidak pernah terlontar dari mulutnya, walaupun dia tahu aku memang bukan sebaik yang dia pikirkan .

Aku menikahi Mirsa setelah putus dengan Wina. Kami berpisah karena dia dijodohkan orang tuanya, dengan laki-laki yang masih ada hubungan saudara jauh dengannya. Hidup dan pekerjaannya juga sudah mapan, tidak ada celah untuk memisahkan mereka. Sementara aku hanya bermodalkan cinta berhubungan dengan Wina.

Hubungan kami terjalin kembali, sejak Wina memancingku dengan pesan-pesan WA-nya. Aku mulai mengendus, rumah tangga mereka sedang tidak baik-baik saja. Kadang aku nakal menggodanya, “ternyata kekayaan dan semua yang dimiliki suamimu, tidak mampu memenangkan hatimu”.

“Mungkin karena hatiku sudah jatuh padamu,” Balasan pesan Wina membangkitkan kembali debar yang selama ini masih tersimpan jauh di dalam hati.

Berbalas pesan kemudian berlanjut bertemu di kafe, tidak hanya memilih tempat yang bisa membangkitkan kenangan, kami pun memilih menu makanan dan musik favorit waktu pacaran dulu.

Aku dan Wina sama-sama belum melupakan lukisan kenangan yang sempat terputus karena terganjal restu. Ternyata mengulangi masa lalu rasanya tidak hanya mampu membangkitkan semangat hidup, tapi juga gai*rah cinta yang sempat layu sebelum berkembang.

Sebenarnya Mirsa masih menyisakan maaf dan mau menerimaku kembali demi Roni. Namun sejak dia tahu Wina telah berpisah dengan suaminya dan kembali menggodaku, Mirsa sepertinya pasrah dan memilih mundur.

Jujur saja, hatiku pun lebih condong kepada Wina. Wina wanita pertama yang benar-benar mampu meluluhkan hatiku, dari sekian wanita yang pernah aku kencani termasuk Mirsa.

Saat menikah dengan Mirsa, aku memang sedikit berubah, apalagi sejak kehadiran Roni, putra kecil kami. Aku sedikit takut dengan karma. Takut kebiasaan burukku diikuti Roni.

Namun pesona Wina meluluhkan prinsipku, memilih berpisah dengan Mirsa demi Wina. Saat berpisah, entah di mana rasa sayangku pada putra kecilku, Roni. Aku mengabaikannya.

Kembali aku dibutakan cinta masa lalu yang belum usai. Nasib si *al menghampiriku. Ketika aku melepaskan semuanya dan siap menikahi Wina, hubungan kami kembali terganjal restu orang tua Wina. Seperti mengulang masa lalu.

"Win, kamu seorang janda, bebas menentukan sikap. Tidak harus mendapatkan restu orang tua." Saranku pada Wina untuk meyakinkan dia dalam mengambil keputusan.

"Maaf, aku ... aku tidak masalah berpisah dengan mantan suamiku, tapi dengan putraku itu tidak mungkin,"  jawab Wina dengan isak tangis yang tertahan.

"Bagaimana dengan aku, Win? Kamu bisa kembali dengan keluargamu, tapi aku tidak!" 

Saat itu aku baru tahu ternyata Wina masih talak satu dengan suaminya, sedangkan aku sudah mentalak Mirsa tiga kali.

Sejak hubunganku kembali kandas dengan Wina, dan juga telah kehilangan Mirsa dan Roni, aku seperti mengulang masa lalu. Namun, saat ini lebih parah dari sebelumnya. Tidak hanya berganti-ganti kekasih, tapi berganti-ganti teman tidur pun aku sudah biasa melakukannya.

Aku enggan untuk memulai merangkai kisah cinta lagi, pun tidak ada niat untuk merangkai mahligai rumah tangga. Sampai akhirnya di tengah petualanganku, hatiku kembali terpaut pada seorang wanita yang membuat hatiku kembali luluh.

Wanita ini tidak secantik Wina dan tidak sepintar Mirsa. Namun, aku menemukan kenyamanan pada Diana--nama wanita tersebut.

Enggan terjebak cinta tanpa arah dan terulang kembali masa lalu yang kelam, aku melamarnya.

Aku ceritakan lembaran kehidupanku tanpa ada yang tertinggal, tidak mau ada masalah di kemudian hari.

"Itu masa lalu, Mas. Kita buka lembaran baru." Itu jawaban Diana, membuat hati ini benar-benar lapang, untuk membangun biduk rumah tangga kembali. Kurang baik apa Sang Pemilik Kehidupan pada diri ini. Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan.

Tiga orang putra dari pernikahanku dengan Diana menambah harmonis hubungan kami.

Namun, entahlah, terbiasa dulu berganti-ganti pasangan dan sering menghabiskan malam dengan wanita pen*jaja di luar sana, kadang saat dinas keluar kota kebiasaan lama muncul kembali.

Pernah berbuat salah dan masih diberikan kesempatan untuk berubah tidak membuatku jera. pada akhirnya kembali mengulangi apa yang seharusnya tidak aku lakukan, seolah di depan sana masih ada berkali-kali kesempatan untuk memperbaikinya.

Tidak ada maksud menyakiti hati Diana, tapi ini hanya sekedar reuni hiburan yang sudah biasa aku lakukan waktu dulu.

Diana, tidak akan tahu. Ini murni mencari kesenangan semata tanpa ada rasa, aku bisa membedakannya. Ini benar-benar sekali pakai lalu buang. Tidak mungkin aku menyakiti hati istriku yang sudah menerima aku apa adanya.

Aku menyesap minuman yang disiapkan pramusaji tempat karaoke sambil menunggu wanita yang aku pesan secara online.

Terlalu lama menunggu wanita pesananku, aku malah usil dengan kehadiran pengunjung lainnya, kuamati mereka satu persatu. 

Melihat beberapa pasangan yang melewati mejaku, senyum tersungging di sudut bibirku, entah senyum apa. Dunia maksi*t memang terlalu menggoda untuk ditinggalkan.

Tidak jauh dari tempatku sepasang laki-laki dan perempuan asyik memadu kasih, sepertinya mereka sudah memerlukan kamar untuk melanjutkan apa yang mereka lakukan. Di bawah lampu temaran, aku masih bisa melihat wajah wanitanya yang posisinya kebetulan berhadapan denganku, sudah tidak muda lagi. Pasangan laki-lakinya dia membelakangiku, sepertinya masih muda.

Seperti dugaanku, mereka beranjak meninggalkan tempat minum, sepertinya akan memesan kamar. Berjalan saling memeluk erat, mereka melewati mejaku.

Deg ...

“Roni ...!” Sontak aku berdiri melihat pasangan didepanku ternyata seorang tant* bersama anakku, Roni.

Seperti halnya aku, Roni juga kaget melihatku.

“Kenapa?” dengan cepat Roni menguasai keadaan.

“Sudah biasa, santai saja,” jawabnya sambil berlalu.

Seketika persendianku terasa lemas. Perilaku buruk yang aku sembunyikan dari Roni, bagaimana bisa dia menjadikannya teladan dan meniru semuanya. Padahal dia tidak pernah melihatku secara langsung saat aku melakukannya.

Tamat

CERPEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang