Rasa syukur yang Tergadai

58 1 0
                                    


Mulai dari mentari menyembul memamerkan senyumnya sampai sinarnya tepat di atas kepala, omelan Emak tidak berhenti.

Entah karena hobinya memang ngomel-ngomel, ceramah tidak ada ujung pangkalnya atau Emak lagi menumpahkan kekesalannya padaku.

Apa pun yang aku lakukan, semua serba salah di depan Emak. Jika sudah seperti ini, caranya memanggil namaku mulai berubah.

"Ndul, cepet angkat jemurannya! Bengong, aja. Mau makan apa kalau ndak mau kerja. Hidup itu harus bekerja, ndak kerja ndak makan. Nyari uang buat makan sehari aja susah, malah kamu hilangkan uangnya." Omelan dari mulutnya semakin panjang, sepertinya acara Emak ngomel bisa sampai Magrib.

Kebiasaan jelek Emak, kalau lagi marah selalu manggil aku Gundul, padahal di kepalaku mulai tumbuh rambut-rambut tipis walaupun itu tidak banyak.

Kalau Emak lagi senang, dia selalu memanggil namaku dengan tambahan Mas di depannya.

"Mas Paijo, tolong belikan Emak telur, ya!"

Berbeda lagi kalau Emak belum makan, cukup memanggil  namaku, "Jo, jangan main keluar rumah! Sebentar lagi Magrib."

Gara-gara Emak, aku memiliki banyak panggilan, mulai Jo, Pai, Ndul, Gundul yang lebih parah, Pak De Gimin, kakaknya Emak, dia selalu memanggilku, Cah Gundul Jopaijo, sangat lengkap dan terlalu berlebihan.

Mau bagaimana lagi, Emak yang melahirkan aku, Emak juga yang memberikan aneka panggilan jelek untukku, orang lain hanya angka ikut.

"Mak, aku mau ganti nama," pintaku suatu hari.

"Mau ganti nama siapa? Orang desa, ndak punya apa-apa, kok gaya minta ganti nama."

"Kata guru ngajiku, nama itu berarti doa dan harapan, Mak. Mak manggil aku gundul, ya gundul terus aku."

"Mau ganti nama Peang?"

Mendengar ucapannya aku semakin sedih, kutinggalkan, Emak yang masih sibuk di dapur, katanya dapat pesanan kerupuk.

Emak memang jualan kerupuk, tidak jarang mendapatkan pesanan kerupuk dari ibu-ibu yang akan melaksanakan hajatan.

Kenapa pikiran Emak tidak jauh dari keburukan yang aku miliki, kepalaku memang gundul dan sedikit peang, wajahku tirus, mata sipit, badanku kurus dan pendek. Satu lagi ada yang ketinggalan, warna kulitku gelap.

Sebenarnya aku tidak terlalu memikirkan tentang badan, wajah dan segala kekurangannya. Namun sejak Emak semakin sering marah dan memanggilku dengan sebutan yang aneh-aneh, aku merasa sedih.

Kalau orang lain yang memanggil bukan namaku aku tidak peduli, tapi ini Emak. Orang yang harusnya menyayangiku.

Temanku namanya Sugeng, dia sering ngupil, teman-teman manggilnya Sugeng Upil karena ada tiga orang yang bernama Sugeng di kampungku, jadi untuk membedakannya kami tambahkan nama di belakang Sugeng, mulai dari Sugeng Upil tukang ngupil, Sugeng belek, matanya sering belekan, terakhir Sugeng Gendeng.

Sugeng yang terakhir, sering duduk di pinggir kali, ngomong dan senyum sendiri.

Namun semua orang tua mereka, satu pun tidak ada yang senang anaknya mendapat julukan aneh-aneh.

Emaknya Sugeng Upil, pernah berlari mengejar kami, gara-gara panggilan tersebut. Emaknya Sugeng belek dan Sugeng Gendeng juga sama.

Mereka memang berbeda dengan Emakku.

"Ndul, jangan main dulu! Bantu Emak bungkus krupuk!" teriak Emak dengan kekuatan super powernya.

Bagaimana sih, katanya disuruh menyusuri uang lima puluh ribu yang hilang. Sekarang tidak boleh kemana-mana, bagaimana cara menyusurinya kalau diam di rumah. Kalau uang itu jatuh, keburu diambil orang, entahlah.

CERPEN KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang