"Ya Tuhan..." Telapak tangan Corne mendarat di wajahnya.
Niat baik yang mengigit pantatnya sendiri, itulah yang dirasakan oleh Corne ketika akhirnya ia diperbolehkan keluar dari pos satpam itu. Selama satu jam, ia ditanyai macam-macam, mulai dari apa yang sebenarnya terjadi, sampai ke pertanyaan yang menurut Corne tidak ada hubungannya seperti alamat rumah dan usia Corne. Jengkel bukan main, Corne kembali menutupi kepalanya dengan tudungnya.
"Anu..."
Saat mendengar suara lirih di belakangnya, barulah Corne sadar tentang alasannya melakukan semua ini—gadis berpakaian gaun gothic dengan koper besar di tangannya yang tidak diketahui identitasnya. Corne ingat, ketika gadis itu ditanyai, ia menjawab dengan cepat dan singkat. Ia tidak banyak basa-basi, menjelaskan bahwa ia baru tiba di kota ini. Namun sekumpulan preman mendekatinya dan... yadda yadda yadda. Pertanyaan yang satpam tanyakan setelah itu hampir sama dengan yang ditanyakan ke Corne, namun karena Corne sudah dipenuhi rasa jengkel, ia tidak mendengar jawaban gadis itu.
"Kau tidak perlu melakukan apa-apa untuk membalasku, aku hanya melakukan apa yang harus aku lakukan," Corne menanggapi tanpa menatap wajah gadis itu, "Aku pergi dulu, selamat tinggal."
Corne mencoba berjalan menjauh, namun gadis itu meraih rompinya, menghentikannya. Corne menghela nafas, kemudian tanpa berbalik, bertanya, "Apa? Sudah kubilang, aku tidak perlu apa-apa. Hal yang paling kuinginkan saat ini adalah pulang, dan aku akan sangat berterima kasih kalau kau mau melepaskan tanganmu."
"Berbaliklah. Lihat aku."
Mendengar perintah gadis itu, hati Corne gemetar. Ada nada yang aneh diperkataan itu, sebuah nada yang menekan dan memaksa siapapun yang mendengarnya menuruti perintah penutur. Tidak bisa mengendalikan tubuhnya, Corne pun berbalik. Saat itulah, ia melihat wajah gadis itu—kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Wajah gadis itu memang manis, namun ada ciri-ciri yang tidak biasa dimiliki oleh anak gadis seumurnya. Ketegasan garis mukanya mengeluarkan aura karismatik. Mata hijaunya yang lebar seakan selalu memandang ke depan, ke masa depan. Bibirnya merah muda, memberikan kesan ia bisa mengeluarkan suara apapun juga dan orang-orang akan melihat ke arahnya. Sosok gadis itu bagi Corne bagaikan seorang putri—tidak, lebih tepat kalau dibilang seorang ratu.
"A-ada apa?" Karena agak kewalahan dengan penampilan gadis itu, Corne gagap.
"Huhuhu," gadis itu tertawa kecil, "Aku memang ingin berterima kasih, namun ada hal lain yang ingin kukatakan padamu. Aku menginginkanmu, Cornetto Leale!" Kata gadis itu sambil menunjuk Corne dengan telunjuk kanannya.
"Hah?" Corne terpaku di tempat mendengar perkataan gadis itu. Dari mana ia tahu namaku... Oh ya, pos satpam, Corne menggaruk-garuk kepalanya, kemudian memutuskan untuk membuka mulut, "Apa maksudmu?"
"Aku ingin kau jadi pengikutku, Cornetto Leale. Kau sepertinya terlalu berharga untuk dilewatkan, kau bisa jadi pengikut yang taat dan hebat. Kau cuma belum terasah saja," Gadis itu sepertinya tidak terlalu memperhatikan pertanyaan Corne, dan terus mengoceh tentang hal yang tidak Corne mengerti.
Corne yang merasa makin jengkel, melepaskan tangan gadis itu dari rompinya, "Aku tidak tahu apa yang ada di kepala kecilmu itu, dan aku tidak tertarik untuk mengetahuinya. Aku pergi, semoga kita tidak bertemu lagi," Iapun kali ini berjalan tanpa dihentikan oleh gadis itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/37049146-288-k701628.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
By Her Highness' Will
FantasyBy Her Highness’ Will -A chi bene crede, Dio provvede- Genre: Slice of Life, Fantasy “Jadilah pengikutku, dan kau akan baik-baik saja.” Bagaimana kalau permintaanmu langsung bisa di dengar oleh Sang Takdir itu sendiri? Di dunia ini, ada segelintir...