Act 4-3 [Sgabuzzino]

33 3 2
                                    

Baru kira-kira sedetik yang lalu, Vino menutup pintu keluar rumah itu. Sekarang yang tertinggal di dalam kegelapan bangunan itu hanyalah Corne dan sosok yang mendobrak pintu dapur, mendekat ke tempat gadis itu berdiri. Corne memang menyuruh Vino untuk keluar dan memanggil polisi, entah dengan cara apa.

Corne merasa khawatir pada Vino, namun ia menyadari ia harusnya lebih khawatir pada dirinya sendiri. Ia beberapa kali pernah terlibat dengan bahaya, dan setenang apapun ia, tetaplah ada rasa takut barang cuma secercah. Meski begitu ia tetap berdiri tegap dan menunggu bahaya itu tiba, karena memang itu yang harus ia lakukan.

Tadi itu, waktu Vino memukulku... Corne mengelus dadanya perlahan, Tiba-tiba ada banjir ingatan dan gambaran di kepalaku... Apa maksudnya? Sekarang, aku tahu segalanya. Tentang siapa itu Pomodoro, kenapa ia mengincar Vino, dan tentu saja, betapa berbahayanya ia... Corne menelan ludah.

Tubuh Corne berkedut ketika terdengar lagi bunyi pintu didobrak. Ia menduga, itu adalah pintu keluar dapur yang harusnya terbuat dari kayu  jati yang kokoh. Pintu itu tentu saja tidak bisa didobrak oleh manusia biasa, setidaknya tidak sendirian. Kenyataan ini membuat Corne semakin yakin, gambaran ingatan Vino ketika sosok bahaya yang mendekat ini melompati gedung demi gedung adalah nyata.

Corne yang sudah mengetahui akar masalah hubungan Vino dan sosok itu, menghela nafas panjang, Bukankah ini sesuatu yang bisa diperbincangkan baik-baik? Apa perlu sampai sejauh ini? Apa manusia zaman sekarang cara pikirnya sudah kembali ke era primitif?

Dug, terdengar suara dari pintu di depan Corne, membuat gadis itu siap siaga. Dua bunyi yang sama kemudian, pintu itu remuk dan bertebaran di lantai. Siluet gelap berjalan memasuki ruangan. Ketika ia melewati jendela, sosoknya terlihat lebih jelas. Ia adalah seorang lelaki berkemeja yang dua kancing teratasnya tidak dipasang, dengan kepala yang rambutnya nyaris tidak ada. Bayangan kacamata yang ia pakai menutupi matanya.

"Hm? Sepertinya dia tidak di sini..." Lelaki itu berkata dengan nada tidak tertarik, "Tapi dia masih dekat. Kau... Apa kau juga teman Tuan Putri? Aku menarik diri sebelum ini karena aku tidak ingin orang luar terlibat, tapi sekarang aku sudah kehabisan kesabaran. Katakan di mana Tuan Putri atau kau akan kehilangan tangan dan kakimu," Kali ini, ucapannya terdengar ramah, namun kata-katanya begitu dingin dan tak bernyawa.

Corne menelan ludah. Ia tahu dengan jelas lelaki di depannya ini adalah bahaya besar.  Bencana alam. Bahaya yang bisa membuatnya kehilangan nyawa. Mau dirangkai dengan kata-kata seperti apapun, pada akhirnya artinya tetap sama—Corne berada di ujung tanduk. Kalau rencananya tidak berhasil, maka tubuhnya yang di depan mata lelaki ini kurang lebih serapuh telur akan hancur berantakan.

"Hei tuan, apa kau tidak berpikir untuk berbicara baik-baik dengan Vino? Maksudku, kalian dulu adalah rekan, bukan? Teman baik, bukan? Apa sudah tidak ada perasaan sayang tersisa di dalam hatimu itu? Demi kenangan lama, ayolah," Corne mencoba berbicara dengan laki-laki itu, meski tujuan sebenarnya adalah mengulur waktu.

Corne tidak bisa melihat wajah lelaki itu dengan jelas, namun ia tahu lelaki itu memasang seringai yang aneh, seakan mengasihani, "Aku tidak tahu apa yang sedang kau bicarakan, Nona. Apa perlu kuulangi peringatanku tadi?"

Untuk kedua kalinya Corne menelan ludah, Lelaki ini sudah tidak bisa diajak bicara, Pikirnya. Apapun yang Corne katakan, hanya akan masuk ke telinga kiri dan keluar dari telinga kanan. Apa api dendam begitu membara dalam hatinya sehingga kata-kata tidak bisa menyentuh perasaannya sama sekali? Apa ia masih punya perasaan? Apa, seperti pikiran Vino, lelaki ini sudah tidak menyisakan pecahan dirinya yang dulu dalam hatinya dan telah berubah menjadi monster sepenuhnya?

By Her Highness' WillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang