"Menemuiku... Untuk urusan apa?"
Vino yang tidak bisa menahan rasa takut yang perlahan menyebar ke seluruh sel dalam tubuhnya, terus mencoba membangun jarak dari lelaki berambut tipis yang berada di depannya. Sementara lelaki yang dulunya adalah tangan kanan Vino itu masih memasang senyum yang sama—senyum yang sama sekali tidak ramah.
"Waah, kita tidak berjumpa beberapa minggu saja kau sudah jadi begini dinginnya padaku... Apa kau menemukan penggantiku, Tuan Putri? Orang yang bisa lebih diandalkan... Daripada diriku?" Jeda sejenak di akhir itu entah kenapa teredengar sangat sumbang di telinga Vino.
"Bukan begitu... Hanya..."
Pada akhirnya, Vino tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun lagi. Ia hanya terus mencoba mundur tanpa sepengetahuan lelaki bernama Pomodoro itu. Memang, karena lampu yang meneranginya sebenarnya Vino tahu Pomodoro menyadari diri Vino mencoba kabur. Namun Vino berpikir, daripada tidak berusaha sama sekali, setidaknya ia ingin berusaha.
"Yang ingin kusampaikan cuma... Aku ingin kau mengatakannya, Tuan Putri. Perpisahan. Kita berpisah begitu saja, tanpa ada pembicaraan yang baik. Bukankah kita berdua orang dewasa? Atau untukmu, setidaknya kau sudah bukan anak-anak bukan? Kau harusnya tahu ketika orang bertemu, mereka menyampaikan salam. Kemudian ketika orang berpisah, mereka akan menyampaikan salam perpisahan. Semua orang tahu itu bukan?"
"...Segera ke intinya saja," Ucap Vino dingin.
"Ah, maaf kalau aku kedengaran membosankan," Pomodoro menggaruk kepalanya, gaya yang kelihatan begitu polos. Namun tidak di mata Vino yang bisa melihat kepalsuan di balik gesture itu, "Intinya, aku ingin kita melakukan perpisahan yang sesuai norma. Bagaimana, Tuan Putri?"
Akhirnya, Pomodoro melangkah maju, yang diikuti dengan langkah mundur Vino.
"Kau... Berubah. Aku tidak bisa menjelaskan apa namun kau benar-benar berubah. Hampir tidak ada sisa... Tidak ada sisa dari dirimu yang dulu. Yang bisa kulihat di matamu hanyalah sumur gelap yang tak berdasar," Vino menelan ludah, "Apa yang sebenarnya terjadi, Pomodoro?"
Pomodoro berhenti bergerak, kemudian memasang senyum lebar, "Menurutmu apa, Tuan Putri?"
Saat itu juga, seluruh bulu kuduk Vino berdiri. Ia bisa merasakan hawa yang menekan di sekitarnya. Saat ini, Pomodoro sudah siap menerjangnya. Detik ini juga, sedetik berikutnya, atau sedetik setelah itu—Ia akan menangkap Vino, dan ia takkan berhenti sebelum ia bisa melakukannya.
Vino yang merasakan bahaya itu, langsung berbalik dan mulai berlari. Di bundaran itu ia berbelok ke jalan yang mengarah ke barat. Vino tidak tahu kemana ia berlari, namun langkahnya tidak ada keraguan. Insting manusiawinya yang paling dasar—keinginan untuk bertahan hidup—sedang bekerja dengan sekuat tenaga. Melewati gang sempit yang remang-remang, Vino terus berlari.
"Eh...?"
Anehnya, gadis itu tidak mendengar langkah kaki di belakangnya. Tidak ada yang mengejarnya—atau setidaknya, dari darat. Dari atas, terdengar suara sepatu beradu dengan genting dan tembok, suaranya tepat berada di atas Vino. Menyadari itu, Vino mendongak. Ia bisa melihat bayangan melintas zig-zag dengan cepat..
![](https://img.wattpad.com/cover/37049146-288-k701628.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
By Her Highness' Will
FantasíaBy Her Highness’ Will -A chi bene crede, Dio provvede- Genre: Slice of Life, Fantasy “Jadilah pengikutku, dan kau akan baik-baik saja.” Bagaimana kalau permintaanmu langsung bisa di dengar oleh Sang Takdir itu sendiri? Di dunia ini, ada segelintir...