WTL #4

1K 66 12
                                    

· W O U N D I N G   T O   L O V I N G ·

Jilan mengernyit kecil begitu mendengar suara beberapa orang yang tengah mengobrol di dalam rumahnya. Kaki kecilnya dilangkahkan untuk masuk ke dalam rumah, menerka-nerka siapa yang ada di dalamnya.

Jangan bilang—

"Aleeee?!!!" Jilan berseru senang. Dugaannya benar. Lelaki bule yang 4 tahun lalu pindah kini duduk di sofa bersama kedua orang tuanya. Jilan dengan segera menghampiri lelaki yang kini berdiri, menyambut kepulangan Jilan.

Lelaki itu berjalan menghampiri Jilan, melebarkan kedua tangannya untuk mengajak Jilan masuk ke dalam pelukannya.

"Wait, no! We're not child anymore." tolak Jilan, mendorong kecil dada Aleo membuat lelaki itu tertaww, begitupun Mama Jilan dan kedua orang tua Aleo.

"You said you aren't child anymore, but still, you're not growing." ejek Aleo, membuat Jilan memukul lelaki bule itu, lelaki yang tampak jauh lebih tinggi darinya.

"Jangan ngajak ribut!" kesalnya, lalu melanjutkan percakapan di luar rumah setelah Jilan mengganti bajunya.

"Lo liburan? Atau pindah kesini?" tanya Jilan, menatap Aleo yang dulu sepantar dirinya, namun kini tumbuh tinggi menyusul Jilan.

"Liburan, bulan depan balik."

Jilan mendecak, "Nggak seru."

Aleo terkekeh, menatap Jilan sambil berjalan mengelilingi komplek. Tempat dimana mereka dulu bermain dan tumbuh bersama.

"How's life?" suara Aleo kembali terdengar, menunggu respon Jilan.

Jilan mengangkat kedua bahunya tak acuh, "Nggak ada yang spesial."

"Have boyfriend?"

Jilan mengangguk, walau ragu, "Satu angkatan, udah satu taun."

Aleo terkesiap, "Wow, setaun? He must be a good boy." responnya, mendengar bahwa Jilan berada dalam hubungan dengan jangka waktu lama bersama satu lelaki.

Jilan terkekeh mendengarnya. Bagaimana ya, menjelaskannya?

• • • • •

"Who?"

Jilan terkejut saat tiba-tiba pergelangan tangannya dicekal kasar dan ditarik dari belakang oleh seseorang. Jilan membulatkan matanya, hendak mengumpati orang tersebut kalau saja orang tersebut bukanlah Jeano.

"Apa?" tanya Jilan, mencoba melepas cekalan pada tangannya yang erat.

"Who's that guy?"

Jilan mengernyit, lalu melirik gadis yang berdiri di samping Jeano. Jelas sekali mereka berangkat sekolah bersama.

"Siap—"

"That guy in the car, Jilan." suara Jeano merendah, terdengar kesal dan tak sabaran. Lelaki itu mendapati Jilan yang turun dari mobil asing bersama seorang pria di dalamnya.

"Temen gue, Jeano. Tetangga gue dulu."

"Harus banget dianter dia?" kesal Jeano, mengendurkan cekalannya.

Jilan kembali melirik wanita di samping Jeano, "Harus banget bareng cewek lain disaat lo punya cewek?" sindirnya, dibalas decakan Jeano.

"Lo—"

"Apa? Anggep aja impas. You're with another girl, and I'm with another man." potong Jilan kepalang kesal. Dugaannya benar, Jeano rela menjemput gadis lain disaat Jilan sendiri harus memesan ojek setiap harinya.

Jilan melepas cekalan tangan Jeano, menghempaskan lengan besar lelaki itu, "Gue telat." ucapnya singkat lalu meninggalkan Jeano yang kepalang marah.

• • • • •

Jilan tersadar dari lamunannya saat tiba-tiba Hugo duduk di bangku depannya, membalikkan tubuhnya untuk menghadap Jilan. Dahinya berkerut, bingung dengan kehadiran lelaki itu.

"Dor."

"Apa sih, Go?"

Hugo mengangkat bahunya tak acuh, "Mastiin lo nggak ke kantin."

Jilan melirik Hugo, "Biar gue nggak liat Jeano sama cewek lain?"

Hugo terkekeh, kaku. Tak tahu harus menjawab apa, "A-ah, lo udah tau, ya? Julian nyuruh gue. Do I bother you?"

Jilan mengangguk, "So much." jawabnya, lalu kembali memainkan ponselnya, sedangkan Hugo tetap duduk di hadapannya, memperhatikan Jilan yang sibuk mengetik.

"I wonder, kenapa lo masih mau sama Jeano, after all?"

Jilan melirik lelaki di hadapannya ini. Atensinya mulai teralihkan dari ponsel, ia menaruh benda pipih itu di meja, menatap lawan bicara sambil setengah berpikir.

"Lo bener, I wonder it too."

Hugo memasang wajah bingung sambil mendengus terkekeh, "Lo nggak ada sindrom apapun kan? I mean, lo selama ini ada di hubungan yang toxic, and yet you're still with him."

Jilan tersenyum samar. Hugo benar, Jilan benar-benar seperti wanita bodoh yang bertahan dalam hubungan toxic dan diselingkuhi berkali-kali.

Apa alasan Jilan bertahan?

Apa alasan Jilan bertahan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wounding to Loving | Lee JenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang