fragmen 11 - memohon

659 104 11
                                    

Pernahkah kau berdoa dan memohon pada Tuhan demi orang lain, bukan demi dirimu sendiri?

Entah kapan terakhir kali aku melakukannya. Memori itu terlalu jauh untuk diingat. Yang bisa aku katakan saat ini hanyalah dadaku begitu sesak saat harus menunggu Baekhyun dibalik pintu ruang operasi. Luka di kepalanya memang tidak parah. Tapi ada pendarahan internal di perutnya. Dokter bilang tidak begitu fatal, jadi Baekhyun pasti akan selamat. Aku hanya perlu menunggu pintu ini terbuka dan memastikannya sendiri setelah dokter selesai dengan pekerjaannya.

“Pasien sudah selamat. Dia akan dipindah ke bangsal umum setelah kami selesai memantaunya.”

Kupikir aku sudah bisa bernafas dengan lega, tapi ternyata kabar baik yang dokter sampaikan masih belum cukup. Aku perlu melihat keadaan Baekhyun dengan mata kepalaku sendiri.

Sambil memandangi sebatang coklat penyok yang Baekhyun berikan, aku termenung untuk sesaat.

Dulu sekali saat orang tuaku meninggal, aku masih terlalu kecil untuk berduka. Jadi kehilangan terbesar yang pernah aku alami adalah saat aku SMA dan kakak perempuanku tiada. Dia sakit. Terlalu lelah bekerja, juga terlalu sering melewatkan jam makan. Malam itu sakit yang kakak rasakan sudah tidak dapat ditahan, dia pun pingsan di tengah jalan dalam perjalanan pulang ke flat kecil kami.

Aku tidak tahu apa yang membuatnya begitu. Padahal tabungan yang ditinggalkan ayah dan ibu cukup banyak, tapi dia jarang sekali menggunakannya. Kakakku lebih senang jika akulah yang menghabiskan tabungan mereka, baik untuk makan ataupun biaya sekolah.

Park Yura adalah seorang kakak yang baik sekaligus bodoh, tapi aku sangat menyayanginya. Dia satu-satunya keluarga yang kupunya selain rekan kerja ayah di NIS yang sudah kuanggap sebagai pamanku sendiri. Sayangnya beliau juga sudah berpulang, tak lama setelah aku menjabat sebagai kapten di NIS. Aku benar-benar jadi sebatang kara setelah kepergian mereka.

Terlalu lama hidup sendiri dan lebih banyak fokus dengan pekerjaan, membuatku sedikit tidak peka dengan keadaan. Aku juga berubah jadi pribadi yang independen dan nyaris tidak memiliki emosi, kecuali marah-marah pada bawahanku di kantor. Tapi semenjak bertemu dengan Baekhyun, aku jadi merasa lebih hidup.

Ya, aku memang masih sering emosi.

Dan ya, aku juga masih minim ekspresi.

Tapi aku sudah lebih banyak bicara sekarang, aku bahkan bisa tersenyum dan banyak tertawa karena Baekhyun. Dia memberikan warna tersendiri di kehidupanku yang monoton. Baekhyun, yang semula jadi kepingan puzzle sisa yang tidak cocok ditempatkan di mana pun, bahkan kuanggap sebagai anomali yang mengusik kehidupanku, tanpa terasa kini dirinya sudah menjadi bagian penting yang tidak boleh hilang dari diriku.

Jika dia terluka seperti sekarang, maka aku akan ikut merasakannya.

Dan jika dia menghilang, pergi untuk selama-lamanya, seperti Kak Yura dan Paman Kang, mungkin aku akan hancur sekali lagi tanpa pernah tahu apakah aku akan bisa baik-baik saja di kemudian hari.

Byun Baekhyun sungguh-sungguh telah menjadi bagian penting dalam hidupku hingga saat dokter mengatakan bahwa dia akan selamat, aku tetap memohon dengan khusyuk pada Tuhan agar Dia tidak mengambilnya. Aku ingin Baekhyun tetap tinggal bersamaku dan tidak pernah meninggalkanku sampai kapan pun.

Apakah ini wajar? Bukankah aku hanya menganggapnya sebagai tawanan?

Sekarang aku sudah tidak tahu apakah kami masih memiliki batasan atau tidak sebagai tawanan dan seseorang yang bertugas menjaga tawanannya. Hanya karena aku dan dia sudah tinggal seatap selama berbulan-bulan. Mungkin karena aku juga sudah mulai terbiasa menerima kehadirannya. Tapi apa hanya karena itu?

A N O M A L I (chanbaek)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang