Prologue

4.4K 478 208
                                    

Ada tiga hal yang Ahrin benci di dunia ini setengah mati: kebohongan, menunggu dan direndahkan. Sebagaimana manusia yang menganut paham para kaum berkasta tinggi (Tidak peduli bahwa hak sepatu nyaris patah dengan sol hampir terlepas sebab lem kuat tak mampu lagi dapat merekat erat kalau sepatu bermerk itu dipakai setiap hari, tidak ada ganti) Ahrin hendak mencungkil kedua mata Jimin saat mata kecilnya tenggelam kala menertawakan lipstik yang baru saja ia sapukan dipermukaan bibir begitu pelan amat hati-hati.

"Lihat dirimu di cermin." Tunjuk Jimin pada kaca spion mobil.

Sekali lagi, Ahrin menelisik setiap lekuk wajah di dalam permukaan kaca, memastikan tak ada kotoran yang tertinggal di sana maupun bedak yang luntur oleh minyak. "Tidak ada yang aneh tuh."

"Coba lihat sekali lagi." Entah mengapa tawa Jimin lama-lama terdengar menyebalkan hampir merusak gendang telinganya. "Jidat lebar dan warna bibirmu terlihat serasi, mirip seperti queen of hearts."

Oh, ingatkan Ahrin untuk mengobrak-abrik meja kerja lelaki sialan itu sesampainya di kantor nanti. Bagaimana bisa Jimin begitu mudah mengejek penampilannya saat Ahrin telah menabung susah payah untuk membeli lipstik dari merk yang ia suka, lalu memolesnya penuh perasaan hingga menyaingi rapinya riasan para profesional?

Di balik bibir sewarna saus tomat itu ada proses panjang yang telah Ahrin lewati. Ada pemilik flat yang marah-marah menagih uang sewa. Ada perut yang lapar demi menyisihkan sedikit uang untuk mempercantik tampilan, tetapi Jimin mengejeknya seolah-olah itu hanya sebuah lelucon meski Ahrin tidak tertawa sama sekali. Jadi, ketika lelaki itu terus mengoceh tentang betapa menyebalkan istrinya yang tengah hamil di trimester pertama, Ahrin hanya bisa menulikan telinga menatap keluar jendela.

"Tidak bisakah kau berhenti mengoceh? Kepalaku mulai sakit."

Jimin hanya mendengus. Perlahan tangannya merayap pada radio mobil hendak memecah kesunyian di antara mereka oleh beberapa musik karena si cerewet itu cenderung tidak bisa terjebak dalam sepi. Tetapi Ahrin kembali menatap Jimin melalui ujung mata dan berkata, "jangan memutar musik!"

"Kalau begitu podcast saja. Aku mengantuk kalau sepi begini."

"Sudah ku bilang kepaku sakit."

Entah pengaruh hormon meledak-ledak akibat dari tamu bulanan yang setia menyapa setiap bulan, berpadu bersama lelahnya mengontrol lapangan atau memang Jimin begitu menyebalkan, perasaan Ahrin begitu kacau hari ini. "Bisa tidak lebih cepat mengemudikan mobilnya?"

Disatukan dalam satu divisi dengan gadis ini selama hampir enam bulan terakhir membuat Jimin agak memahami bahwa menghadapi Ahrin dalam kondisi setengah Medusa hanya akan berakhir menguji kesabaran saja. Maka, lelaki itu mempercepat laju kendaraan, menancap gas lebih dalam sampai beberapa sekon kemudian si gadis di samping kemudi kembali berujar kesal, "kau berniat bunuh diri? Kalau ingin mati ya mati saja sendiri jangan membawaku."

Kembali memelankan laju mobil. Membawa kendaraan tersebut stagnan di 40 km/jam pada jalan sepi perbatasan menuju kota sampai Ahrin kembali berkata, "lambat sekali seperti siput. Perutku keram ingin segera sampai di kantor."

"What the fuck." Ketika kesabarannya tinggal tersisa setipis kulit ari, Jimin membanting stir menuju kiri, berhenti di bahu jalan lalu keluar dari balik kemudi untuk pindah duduk bersilang kaki pada jok bangku belakang sambil memasang raut jengkel bukan kepalang. "Kemudikan saja mobilnya sendiri."

"Kau menyuruhku?" Ahrin menunjuk dirinya sendiri seraya menoleh menatap Jimin tidak percaya. "Kau benar-benar menyuruhku?"

"Kenapa tidak? Memangnya cuma kau yang bisa menyuruhku ini itu? Aku bukan sopirmu. Jadi cepat bawa mobilnya sendiri." Jimin melipat kedua tangan di depan dada kemudian menoleh ke luar jendela, memutus kontak di antara mereka. "Aku tidak mau."

SURROGACYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang