Bab 4; Bertemu Dengan Jeno

9 2 0
                                    

"angin selalu sekencang ini, ya?" noe berucap pada alam. bukan, tapi pada sebuah biji dandelion yang terbang di depan wajahnya. "sampai menerbangkanmu pada manusia tak waras."

"dandelion yang malang, takdirmu begitu malang ya. maukah kamu menemani takdirku yang malang juga?"

layaknya orang yang kehilangan kewarasan, ia berbicara dengan biji dandelion itu. 

disiang bolong.

diatap gedung sekolah.

"siapa bilang takdirmu begitu malang, noe."

seseorang berbicara di balik pintu. bagi noe, cukup mudah untuk mengetahui siapa pelakunya. siapa dia? itu jelas jeno. si pemuda dengan mata tersenyum. "kalau sedang meratapi nasib jangan siang bolong begini. suasanya kurang enak."

noe tertawa sebentar sebelum membalas kalimat jeno. " bukan meratapi nasib, tapi sedang menertawakan biji dandelion ini. dia terbang di depan wajahku, kak."

"memangnya kenapa, biji dandelion itu tak sedang melucu. dia hanya mengikuti alur hidup."

lagi lagi tawa noe lolos. kali ini ia menertawakan kalimat jeno. kemudian menghela napas. seakan ada banyak sekali yang akan diucapkan oleh belah bibir tebal noe.

"kak jeno tau artinya bunga dandelion?"

jeno menggeleng. merebut biji dandelion dari tangan noe. 

"artinya pemberani."

"kalau lihat biji bunga dandelin tepat di depan wajah, rasanya seperti sedang dicemooh. tidak berani dan hidup sebagai pengecut."

seakan akan dia berujar bahwa noe adalah seorang pengecut yang tak berani mengucapkan cintanya pada jeno walau sedetik saja.

ditulis di bulan kedua tahun genap

Hanahaki. (selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang