14. Cry at Night

1K 144 0
                                    

Aku duduk berdua dengan Koko di sebuah taman yang sepi. Tentu saja sepi, saat ini waktu menujukan pukul setengah 2 dini hari, biasa orang masih pada terlelap jam segini.

Kami duduk dibarengi bir kalengan yang telah dibeli di supermarket tadi.

"Kenapa kau mengikutiku?" Tanyaku lemah, sepertinya emosiku sudah agak mereda. Kalau saja Kokonoi tidak mengajaku mencari udara segar, mungkin saat ini aku sudah menggila.

"Mikey yang menyuruhku menyusulmu."

Aku mengerutkan dahi dan tentu saja terkejut.

Aku melihat kearah pria itu yang ternyata jika suasananya seperti ini, ia akan menjadi pria yang santai tidak seperti biasanya di organisasi.

Ntahlah, jika yang di sampingku ini Sanzu. Meski suasana yang sunyi seperti ini, pasti akan menjadi ribut karena dialah sumber keributan itu sendiri.

"Kau tahu, selama ini Mikey melihatmu sebagai adiknya."

Tentu saja hal itu tidak kalah membuatku lebih terkejut dari sebelumnya.

"Adiknya? Maksudmu?"

"Dia pernah memiliki adik yang persis sepertimu, tapi dia sudah meninggal 12 tahun yang lalu."

Mendengar itu aku kini terdiam.

Namun tidak berapa lama aku bersuara lagi.

"Lalu kenapa dia menempatkanku di posisi yang salah jika dia melihatku sebagai adiknya?" Pertanyaan itu lah yang tiba-tiba muncul dalam benakku.

Koko tak merespon ucapanku, dia sibuk mengamati tempat itu.

Lalu karena kesal aku kembali berbicara. "Bukannya seorang kakak menginginkan yang terbaik untuk adiknya?"

"Begitu pun dengan aku." Lanjutku dengan suara yang mengecil.

Aku melihat Koko yang mengangguk angguk berirama.

"Adikmu ya? Tamu spesial tadi?" Ucapnya lalu menyimpan bir tersebut di sebelahnya.

"Kau tah-, ah tak heran. Kalian pasti sudah mengecheck profilnya terlebih dahulu." Ucapku dengan nada seakan meremehkan.

"Tidak, aku baru tahu saat dia memanggilmu dengan panggilan -chan. Nee-chan."

Aku kembali terdiam, ah aku baru menyadari hal itu. Lalu aku meregangkan tubuhku yang rasanya pegal.

"Hah, dia memang adikku. Adik sial." Cicitku.

Aku melihat Koko yang hanya diam saja, bahkan tidak menanyakan terus terang. Meski begitu aku merasa lega karena tidak perlu menjelaskan karena aku sendiri sedang malas.

"Bagaimana dengan Inui?"

Aku seketika terheran, melirik kearahnya sambil mengerutkan dahi.

"Kenapa kau menanyakannya kepadaku?" Tanyaku.

Dia melirikku sekilas lalu kembali membuang mukanya.

"Lupakan saja."

Setelah itu dia beranjak dan hendak pergi ntah kemana.

"Hey kau mau pergi kemana?" Tanyaku hendak menyusulnya.

Dia melambaikan tangannya tanpa membalikan badan, aku langsung berhenti melangkah. Sepertinya dia punya urusan sendiri, tidak mungkin dia akan kembali ke apartemen tadi, karena itu bukan jalan menuju apartemen Mikey.

Aku pun berbalik arah, tidak menuju apartemen Mikey. Tapi menuju rumahku sendiri. Gubuk yang awalnya kontrakan, kini menjadi rumahku seutuhnya.

Jika kalian tanya kenapa aku tidak membeli rumah biasa saja tidak gubuk seperti itu. Jawabnnya karena terlalu nyaman aku disana.

[author: Bweheheh]

Ugh aku baru sadar, bahwa saat ini tubuhku menggigil kedinginan. Aku menggosok gosok lenganku, setidaknya itu memberikanku kehangatan meski tidak banyak.

"Kak."

Aku menghembuskan nafas malas. Malas untuk melihat wajahnya lagi.

Namun, saat ini dia berdiri tepat di hadapanku. Mau tidak mau aku harus mendongakan wajahku.

Aku membulatkan mataku, penampilannya masih saya seperti tadi. Tapi ntah kenapa aku tadi melihatnya dalam wujud dia yang masih kecil. Gadis polos yang selalu merengek ingin tidur denganku terus.

Dia berjalan menghampiriku, mengikis jarak di antara kami.

Aku masih terdiam, menunggu dia kembali berbicara.

Tapi dia malah menudukan wajahnya di depanku, tepat di depanku.

"Aku, tidak tahu harus dengan cara apa supaya aku bisa bertemu dengan kakak."

Hah-

Aku menatap langit, seakan mengabaikan ucapannya tadi.

"Aku minta maaf karena baru sekarang aku menemui kakak-."

"Seharusnya kau tidak perlu menemuiku sama sekali." Potongku, sebelum dia menyesaikan ucapannya.

"Kak, aku sangat merindukan kakak."

Aku mundur beberapa langkah saat melihatnya ingin sekali menggapai tanganku.

"Kau tahu apa yang sudah kau lakukan?" Tanyaku penuh penekanan.

"Ya, aku tahu, aku tahu ini salah. Tapi bukankah kakak pun sama?"

"Karena itu! Kau sendiri tahu ini salah! Kenapa kau tiba-tiba menemuiku setelah kau melakukan kesalahan?! Apa kau tidak tahu perasaanku, hah?! Kau ingin aku merasa aku gagal sebagai kakak, hah?!" Teriakku mengguncang tubuhnya.

"Tapi kakak yang memulai duluan, kenapa kakak tidak menyalahkan diri kakak sendiri?!" Dia membalas teriakanku.

Kami saling meneriaki satu sama lain, di pagi buta ini.

"Karena aku benci merasa bersalah, kau telah membuatku merasa bersalah. Baru saja kau membuatku merasa BERSALAH KAU TAHU?!"

Aku melihatnya terdiam setelah mendengar kata-kataku yang keluar dengan emosi.

Aku mengusap wajahku frustasi.

Aku benci merasa bersalah.

Aku benci merasa bersalah.

Aku benci merasa bersalah

AKU BENCI MERASA BERSALAH.

Aku bersalah.

"Bisakah kau kembali ke rumah?" Tanyaku setelah mengontrol emosiku.

Aku melihatnya menggelengkan kepala sembari menunduk.

Emosiku kian meledak, aku kembali mengguncangkan tubuhnya.

"KENAPA TIDAK?! KAU HARUS KEMBALI, KAU HARUS KEMBALI PADA IBU DAN JUGA AYAH. MEREKA PASTI TIDAK TERIMA KEDUA PUTRI MEREKA MENJADI SEORANG PENJAHAT, kau-"

"Ibu meninggal, hiks."

"Ayah menikah lagi, hiks."

"Aku sendiri, hiks."

"Hiks."

"Kakak aku harus apa?"

"Huhuhu harus apa?"

________________________________
Bersambung...

Hiks kenapa ini melenceng dari skenario awal, hiks.

Tapi saya suka, hiks.

Huweeeeee maaf ya kalau ceritanya malah mangkin absurd😭

Gomen:'(

Bad Crew | BONTEN | [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang