BAGIAN 18

37 6 0
                                    

Dia hanyalah perempuan biasa. Perempuan yang hakikatnya begitu perasa, dan selalu bisa mengeluarkan air mata.

▪︎¤▪︎¤》♡♡♡《¤▪︎¤▪︎

Kami baru saja sampai di rumah tepat ketika bi Asih sedang menyiram tanaman di teras. Tidak banyak hal-hal yang terjadi di sepanjang perjalanan tadi. Gadis itu berubah menjadi diam, dan aku ikut hanyut dengan pikiranku sendiri.

"Masuk duluan, aku masih ada urusan," ucapku ketika memberhentikan mobil tepat di depan halaman. Kuputuskan untuk tidak dulu menggunakan gaya bahasa yang kasar, sebab perubahan pada dirinya terjadi sejak aku membentak dengan nada tinggi di tepi jalan tadi.

Untuk sesaat ia menoleh, lalu kemudian berucap, "Aku minta maaf, ya... tolong lupain dan anggap saja aku nggak pernah mengatakan apa pun sama kamu." Suara lembut itu terdengar lirih. Aku tahu ada ketakutan di dalamnya, dan aku pun tahu ada beban berat yang tercipta di sana.

"Iya, aku tahu," jawabku dengan jeda seperkian detik, "tapi silahkan mengadu, mengeluh, menangis, dan menceritakan semua keresahan hatimu jika kamu mau."

Ucapan itu ternyata memberikan dampak. Anetha meneteskan air mata lalu mengangguk perlahan. Selama mengenalnya, baru kali ini aku melihat ia begitu lemah. Yang kutahu, gadis itu selalu kuat walau disakiti berulang kali, selalu keras kepala di segala kondisi. Namun ternyata, dia tetaplah perempuan biasa. Perempuan yang hakikatnya begitu perasa, dan selalu bisa mengeluarkan air mata.

Setelah melihat Netha masuk ke dalam rumah, aku memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Masih ada 30 menit sebelum hari benar-benar gelap.

"Lo di mana, Kak? Rapatnya udah kelar?"

Dari arah seberang, suara embusan napas terdengar sebelum menjawab pertanyaanku. "Udah dari jam 4 tadi kali, Zev. Lo ke mana aja? Anak-anak pada nanyain."

"Maaf banget tadi gue ada urusan mendadak, jadi belum sempat ikutan rapat. Nanti notulensi hari ini kirim aja ke e-mail gue ya? biar malam ini gue baca."

"Iyaa, nanti malam gue kirim. Kalau gitu udahan dulu, ya. Ini gue mau nyetir."

"Ok, makasih bro," ucapku sebelum mengakhiri panggilan tersebut.

Sesaat hendak kembali ke rumah, aku teringat akan sesuatu. Kuurungkan niat sejenak, lalu memutar kemudi menuju sebuah lokasi yang sebelumnya sempat dijumpai.

***

Setelah diantar pulang oleh Zevian, Netha memutuskan untuk duduk di gazebo dekat kolam renang dan memilih melamun seorang diri. Perasaannya campur aduk.
Bukan bermaksud ingin larut pada kejadian di masa lalu. Hanya saja semakin diingat, hal itu semakin membuat ia merindukan sosok Ayah dan Ibu. Terlebih merindukan sentuhan dari sebuah keluarga, terutama nenek yang amat jauh di sana.

Wanita tua satu-satunya yang tersisa, satu-satunya anggota keluarga yang ia punya. Meski masih mempunyai Lyora, namun tetap saja perempuan itu tidak layak dijadikan sebagai kakak kandung. Bahkan sampai sekarang Anetha tidak pernah tahu di mana keberadaannya sejak transaksi jual-beli waktu itu.

"Nek... Netha kangen. Maaf belum bisa mengunjungi Nenek untuk saat ini, maafin Netha yaa, Nek," lirihnya dengan suara tertahan.

Kesedihan itu bercampur dengan rasa bersalah yang begitu hebatnya. Hingga air mata kembali mengguar dengan mudahnya. Dan membuat sesak di dada semakin bertambah.

"Miaw..."

Netha tersentak. Suara familier itu membuatnya menoleh. Seketika matanya melebar tak percaya ketika sosok kucing persia yang beberapa jam yang lalu ia temui di terotoar kini berada di sampingnya.

SNOW WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang