BAGIAN 10

88 18 0
                                    

Pertemuan kedua untuk kita
yang baru saja berjumpa.

▪︎¤▪︎¤》♡♡♡《¤▪︎¤▪︎

"Aurora ..."

Suara lelaki yang tak lagi asing memanggil nama belakangku. Sontak aku mendongak. Mendapati Lintang berdiri dengan senyum terkembang di wajahnya.

"Kok bisa di sini?" lanjutnya sembari mengedar pandangan sekeliling.

"Em, aku ... kebetulan mampir," jawabku kikuk.

"Wahh, sama dong. Sendirian lagi?"

Aku mengangguk. Tebakan Lintang selalu saja tepat sasaran.

"Kalau gitu, kutemani boleh? Aku juga kebetulan lagi sendiri soalnya."

Belum sempat aku memberi izin, lelaki dengan tampang wajah kalem itu sudah mendudukkan diri di hadapanku.

"Jadi, Kamu masih sekolah?" tanya Lintang memulai obrolan.

Aku tak banyak merespon. Kukira baju yang ku gunakan sudah cukup mewakili jika aku adalah seorang anak SMA.

"Sama, aku juga masih SMA," lanjutnya sembari membuka laptop di hadapanku.

"Ke sini buat belajar?" Pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulutku.

"Iya, ngerjain makalah. Udah pesan makan?"

Lagi-lagi aku mengangguk. Suasana asing menyelimuti kami berdua. Canggung sekali rasanya. Kulihat ia memesan Americano sebagai teman belajarnya. Jenis kopi yang cukup pekat untuk seukuran anak SMA. Zevian saja, ketika kusuguhi dengan minuman itu, ia langsung menolak mentah-mentah. Pahit di lidah katanya.

Dih! Kenapa juga nama dia masuk ke dalam pembicaraan ini!

Sesaat setelah memesan makanan dan minuman, kami mengobrol layaknya orang yang baru saja kenalan. Tidak banyak, tapi juga tidak monoton. Hanya berbincang-bincang hangat sembari diiringi lagu Kota yang diputar secara langsung dari tempat ini.

Di kota ini dalam ruangan
Berpenyejuk udara
Kau dan wangimu bersanding dengan
Riuh angin di luar

Suara lembut yang mengalun semakin memberikan ketenangan yang menyejukkan. Indah, dan bermakna.

"Ini makanannya...." Suci datang membawa pesananku, sedang Wildan membawa pesanan milik Lintang.

"Eh, Tha? Temen?"

"Aku melirik Lintang sekilas lalu mengangguk sesaat pada Suci.

"Temen apa temen?" godanya seakan tak puas dengan jawabanku. Bersamaan dengan itu, Wildan langsung membawanya pergi dan tersenyum ramah pada kami. "Silahkan di nikmati makanannya ... semoga suka."

Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah mereka. Sedang Lintang ikut tertawa renyah. Tak lama setelah itu kami menikmati hidangan yang tersaji di atas meja.

"Mau?" tawar lintang menyodorkan sepiring pisang bakar padaku.

"Nggak usah, buat kamu aja. Porsinya sedikit, kamu juga kurang."

Lelaki itu mengangguk. Tidak memaksa meski aku tak mau. Tidak seperti si Iblis jantan tentunya.

***

Langit mulai menggelap ketika dua orang itu keluar dari tempat kafe. Kemerlip lampu kendaraan yang berlalu lalang menandakan kalau saat ini sudah malam. Entah apa yang membuat mereka betah berada di tempat yang sama, hingga melupakan orang rumah yang mungkin saja tengah mengamuk meraung menanti kepulangannya.

Seperti biasa Netha tampak tak peduli. Mungkin masalah besar akan terjadi sesampainya di rumah nanti. Tapi untuk sekarang biarlah seperti ini, ia benar-benar tak ingin peduli.

"Biar kuantar pulang, ya?" tawar Lintang menyadarkan lamunannya di tepian teras kafe.

"Nggak usah, aku bisa cari kendaraan umum di depan."

"Udah malem, nggak ada gadis cantik yang pulang sendirian malem-malem. Nggak takut diculik?"

Anetha tertawa pelan. Sangat pelan namun masih tampak kedengaran. "Cuma orang-orang yang nggak ada kerjaan yang mau culik perempuan kayak aku."

"Aurora...."

"Tapi gratis?"

Kali ini Lintang yang tertawa mendengar tawarannya. "Bila perlu aku yang bayar kamu supaya mau dianter pulang."

Seketika ia mengambil alih tas sandang yang digunakan Anetha. "Yuk?"

Gadis itu mengangguk. Menolak tawaran lelaki ini tidaklah baik untuk dilakukan. Apalagi, hari sudah sangat malam untuk dilalui sendirian.

Sesuai kesepakatan, keduanya pulang tanpa beban. Mengikis jarak yang sebelumnya enggan, membuka peluang untuk sekedar menghibur diri. Dengan benih-benih baru yang mereka temui.

Kepadatan di kota ini memutar kembali lagu yang tadi sempat terdengar di kafe. Seakan membawa ketenangan yang belum tentu dinikmati oleh semua orang.

Hangat dan damai.

Lagi-lagi itu yang Lintang rasakan. Mungkin ini akan jadi yang pertama kali dalam hidupnya. Membuat pilihan yang menentukan kewarasan dalam diri.

"Kalau sewaktu-waktu kita ketemu lagi, kira-kira mungkin nggak kalau kita bakal jadian?"

"Hah??"

"Semoga kita bisa ketemu lagi, nanti."

Kalimat pertama dan kedua yang Lintang ucapkan adalah sesuatu hal yang berbeda. Yang bisa saja di bagian pertama Aurora tidak menyimak dengan sangat jelas, karena deru mesin kendaraan yang berlalu-lalang menyita pendengarannya.

"Kamu bilang apa, Lintang? Nggak kedengaran."

"Aku seneng bisa ketemu sama kamu."

Ada jeda yang disebut hening saat Lintang menatap wajah cantik itu dari kaca spion. Berharap ucapan ketiga dari mulutnya mendapat balasan yang sama. Namun ternyata hanya kesunyian yang kini ia terima.

Lintang tahu, Aurora bukanlah sosok gadis yang bisa ditaklukkan dengan mudah. Bukan pula sosok gadis yang enggan diajak bicara. Tapi itu cukup menjadikannya langka dan luar biasa.

▪︎¤▪︎¤》♡♡♡《¤▪︎¤▪︎

Happy reading, enjoy! 🖤
Jangan lupa tinggalkan jejak :)

SNOW WHITETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang