Prolog - a

1.9K 46 5
                                    

VERSI REVISI

HAPPY READING!

***

Aku menyusuri lorong bawah tanah yang gelap. Setahuku, beberapa jam yang lalu, aku masih menikmati ranjang empukku. Huh, sudah beberapa kali aku berputar namun tak kutemukan jua jalan keluarnya. Sebenarnya, ada di mana aku sekarang?

Dengan bermodalkan cahaya kecil dari pemantik api yang selalu tersedia di kantong piyamaku, aku berjalan. Rasa dingin mulai menusuk permukaan kulitku yang tidak tertutupi oleh kain. Tapi aku tidak boleh menyerah hanya karena rasa dingin ini. Bagaimanapun keadaannya, aku harus cepat menemukan jalan keluar supaya aku mendapatkan kembali tidur nyenyakku. Sialan!

Makin lama perasaan dingin ini makin bertambah parah. Aku menggigil. Dan aku merasakan sesuatu berderap di belakangku. Dengan rasa keingintahuanku, aku beserta pemantik apiku berputar arah untuk melihat sesuatu itu. Akan tetapi, aku tidak menemukan apapun atau siapapun disana. Ah, mungkin pikiranku sedang kacau sehingga mendengar yang tidak-tidak. Ya, tentu saja itu benar.

Aku meneruskan langkahku kembali, tapi sungguh melelahkan jika yang dilalui hanyalah rute jalan yang sama. Seperti jalan di tempat sedari tadi. Sungguh, rasanya aku ingin menangis karena tidak menemukannya juga.

Tap tap tap

Ku dengar suara langkah sepatu berderap, kali ini lebih jelas dari yang tadi. Lagi-lagi hawa dingin mulai membekukan darahku. Aku kembali menoleh dengan cahaya minim di tangan kananku. Tapi nihil, tiada satu orang pun ketika kuarahkan cahaya minim itu. Siapa yang hendak mempermainkanku seperti ini? Aku sungguh jengkel pada orang yang mempunyai sifat seperti itu.

Tap tap tap

Suara itu terdengar lagi, namun berasal dari arah depanku. Dan tiba-tiba saja pemantik apiku mulai meredup. Aku panik seketika. Aku terus mencoba menghidupkannya. Tap tap tap Derap langkah itu makin menggema di seluruh lorong bawah tanah ini. Astaga! Aku terus berusaha memantiknya dan akhirnya hidup. Ketika aku mengarahkan cahaya itu ke depan....

"AAAAaaaaaahhhh!!!!!!" ketakutanku yang besar mengalahkan teriakanku yang terdengar seperti bisikan.

Bloody hell! Makhluk apa yang sedang berada di hadapanku saat ini? Wajahnya sungguh mengerikan. Darah tercetak dimana-mana. Dan lebih parahnya, dia memegang sebuah pisau untuk memotong daging di tangan kanannya. Dengan seringai tajamnya, dia mendekat kepadaku. Mau tak mau aku mundur ke belakang. Ini seperti sebuah kesialan bagiku. Oh Tuhan, tolonglah anakmu yang hina ini.

"Hai, kita bertemu lagi," sapanya, seraya melambaikan tangannya yang penuh darah padaku.

Wait. Katanya bertemu lagi? Memangnya kami pernah bertemu apa? Aku saja baru hari ini melihatnya. Sungguh aku menginginkan kantung plastik sekarang. Muntah karena tidak sanggup untuk melihat darah yang sungguh menjijikkan untukku.

Dengan menahan rasa mual, aku mencoba untuk berkata dengan suara agak bergetar. "Hah, bertemu lagi? Rasanya aku baru melihatmu hari ini!"

Dia tersenyum mengejek sambil memperhatikanku dari atas sampai bawah. "Ck, kau pasti lupa. Kita bertemu setelah aku membunuh ayahmu. Sekarang, giliran dirimu yang akan kubunuh!" ucapnya tajam. Ya, aku baru ingat sekarang. Dialah orang yang membunuh ayahku. Tetapi, mengapa ia ingin membunuhku juga?

"Tidak usah banyak berpikir, jalang kecil! Ucapkan salam terakhirmu sebelum nyawamu kucabut." Dia terus mendekatiku, memukul-mukulkan pisau itu ke tangannya hingga berdarah. Aku mual dan benci melihat darah.

"Tolong, jangan bunuh aku!" Tapi dia seakan tidak memerdulikan ucapanku. Dia semakin melangkah maju untuk mendapatkanku. Semakin dia maju, semakin aku mundur. Dan tak tahan lagi berada di posisi itu, aku segera berlari menjauhinya. Aku menoleh ke belakang, dia terus berjalan dengan cepat ke arahku. Seolah dia sedang melayang di udara. Apakah dia seorang makhluk gaib? Sepertinya, memang iya. Lihat saja seluruh tubuhnya yang berlumur darah. Membuatku tambah merinding saja.

Kaki kecilku tak hentinya menapaki jalanan licin sepanjang lorong itu. Sempat hampir terjatuh, aku berusaha bangkit agar dia tidak semakin mendekat kepadaku. Aku ingin meminta tolong -tapi kutahu lorong ini sangat sepi dan tidak ada siapapun didalamnya. Kecuali dia dan aku.

"Tunggu aku, hei kau jalang kecil!" teriaknya di kejauhan. Oh Tuhan, aku harus segera mencari tempat persembunyian.

Aku mulai mencari-cari tempat yang aman untuk bersembunyi selagi ia masih jauh di belakang sana. Aku menoleh ke kanan-kiri, dan kutemukan sebuah tong besar yang mungkin muat untuk ukuran tubuhku yang mungil. Yah, lebih baik aku bersembunyi di dalam situ. Aku pun masuk ke dalamnya. Semoga saja ia tidak curiga kalau aku bersembunyi di dalam sini, doaku dalam hati.

Krack! Aku mendengar ada bunyi patahan. Mungkin sepatu lusuhnya tak sengaja menginjak sesuatu hingga menimbulkan bunyi seperti itu. Entahlah, itu hanya dugaanku saja.

Aku masih di dalam tong ini, dengan menahan napas, agar ia tidak tahu bahwa ada makhluk hidup yang bersembunyi. Suara langkah sepatunya masih terdengar di luar sana. Peringatan bagiku bahwa aku belum boleh keluar dari tempat yang bagiku cukup aman ini.

Hampir setengah jam aku menunggu, dan aku hampir kehilangan sebagian dari napasku. Sungguh aku ingin sekali bebas dari rasa takut yang kini mendera jiwaku. Detak jantungku berdegup tak karuan. Aku harap ia tak dapat mendengarnya. Kalau ia dengar, bisa tamat riwayatku.

Aku mengatur nafasku sejenak. Setelah itu, aku meraba bajuku, ia sudah basah kuyup. Great! Tubuhku makin menggigil tak karuan. Aku menahan gigiku supaya tak menimbulkan nyanyian gemeletuk. Aku seperti baru saja menaiki wahana roller coaster.

Aku mencoba untuk memekakan indera pendengaraku, apakah derap langkahnya masih ada di sekitar tempat ini atau tidak? Tidak ada suara apapun yang terdengar. Dengan hati-hati, aku mendekat pada lubang kecil yang kutemukan di tong ini, untuk mengintip situasi di luar. Dan sepertinya aman. Dia sudah tidak ada lagi. Itu artinya, sudah saatnya aku keluar dari penjara ini. Aku bersorak kegirangan, tapi tetap dalam hati. Aku membuka penutup tong dengan perlahan. Lalu turun dengan hati-hati. Aku tidak melihat siapapun. Pokoknya, aku harus segera keluar dari lorong gelap ini. Bagaimana pun caranya. Itu yang menjadi tujuan utamaku.

"Hai, sudah puas bersembunyinya?" DEG. Aku menoleh ke belakang. F*cking sh*t! Suaranya terdengar dingin dan menyeramkan. Pisau daging masih bermain di tangannya. Aku sudah benar-benar terjebak oleh perangkapnya. Bodoh kau, Liuna!

Aku seperti kanebo kering, yang hanya diam seperti patung. Tak bisa berbuat apa-apa. Badanku lemas, tak dapat lagi untuk mengucapkan sumpah serapah kepadanya. Dan juga tak mampu untuk melarikan diri dengan gigi yang saling bergemeletuk dan kaki yang tiba-tiba saja berubah menjadi batu.

"Wah! Kau sedang sakit ya?" masih memperlihatkan senyum mengerikannya, dia berjalan mendekat. Secara alami, tubuhku mundur. Suatu keajaiban, hahaha. "Jangan takut. Santai saja. Aku akan membuat kau tidak merasakan sakit lagi." Ucapnya menenangkan, sambil ia mendekat dan terus mendekat.

"Tolong, jangan! Aku masih ingin hidup. Kumohon, jangan membunuhku." aku menangis memohon padanya. Aku sudah menjadi wanita cengeng. Aku benci akan hal itu. Tetapi, air mata sialan ini tanpa permisi keluar dari kelopak mataku. Sungguh menyebalkan.

"Jangan membunuhmu?" dia tersenyum meremehkan, lalu berkata," Aku akan membunuhmu sekarang juga."

Dan AAaakhh... Kesadaranku pun mulai menghilang oleh gelapnya lorong ini, dan yang kudengar terakhir kalinya hanyalah suara tawa puas namun mengerikan dari makhluk itu. Setelahnya, aku tak tahu apa-apa lagi.

Tbc.

Ouija (On Hold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang