263 km

269 41 1
                                    












“AKU GA MAU SAMA DIA!!!”

Suara Nanon menggelegar membelah kesunyian sekolah yang tampak lengang. Best, sahabatnya yang tengah menemani di sana seraya bermain game ponsel sampai terkejut mendengarnya.

"Ya terus mau gimana dong?"  suara sang Ibunda yang lembut samar-samar terdengar,

"Pak Leo ada urusan mendadak. Pak Foei udah nganter Ayah ke sini tadi pagi, masa mau bolak-balik? Rumah kita kosong ga ada orang sayang, semua udah pada nyampe di sini. Tinggal kamu sendiri aja, Nanon."

“Aku kan bisa ke sana sendiri, kenapa Mama gak bilang ke aku lebih cepet?” kilah Nanon bersikeras, “kalo kayak gini tuh malah jatohnya ngerepotin orang lain, Ma!”

Lhoo ... ngerepotin gimana sih? Ohmnya juga mau-mau aja kok, kan biar sekalian. Lagian Mama lebih tenang kalo kamu perginya sama Ohm, gak sendirian. Seenggaknya ada yang jagain kamu.”

Nanon menghela nafas, “Mama, aku ini udah kelas tiga SMA. Dikit lagi lulus sekolah. Udah bisa jaga diri. Ga perlu lah pake dijagain —”

Nggak, nggak!” tukas sang Bunda langsung, “Pokoknya kamu berangkat bareng Ohm, titik. Lebih hemat ongkos, hemat waktu, terjamin juga keselamatannya. Ini sekalian juga biar kalian berdua bisa lebih deket sayang, apa kata orang-orang di sini nanti kalo tau kamu malah gak deket sama calon tunangan kamu sendiri?

“Calonnya Mama kali maksudnya,” balas Nanon, “bukan aku. Aku gak suka sama Ohm.”

Sayang —”

KLIK

Nanon mendesah.

Ya, ya, tidak perlu melihat dirinya seperti itu. Nanon tahu ia salah, memutuskan percakapan secara sepihak. Terlebih itu dengan Ibunya sendiri. Tapi apabila percakapan ini dilanjutkan maka Nanon tidak akan bisa menahan dirinya lagi, bisa-bisa ia kelepasan mengatakan hal yang lebih kasar kepada sang Ibu.

“Jadi?” tanya Best basa-basi. Sebetulnya Best sempat mencuri dengar sedikit tadi, namun akan lebih baik kalau ia mendengar cerita secara lengkap langsung dari si empunya sendiri.

“Gue bakal ke Korat bareng Ohm,” dengus Nanon dengan wajah tertekuk,

“Pak Leo?”

“Ada urusan mendadak. Pak Foei juga udah di sana. Rumah kosong,” jelas Nanon lagi.

“Hooo ...” Best manggut-manggut paham. “Yaudahlah Non, sekalian ini. Lagian Korat kan deket, ga sampe seharian penuh kalo naik mobil. Lo mau ke sana sendirian jam segini juga udah telat. Daripada lu telatnya nambah karena nyasar gatau jalan, mending bareng-bareng aja lah sama dia.”

“Mending gue telat karena nyasar,” gerutu Nanon, “seenggaknya gue ga perlu semobil berdua sama dia.”

Best menatap Nanon heran, “Sampe sekarang gue masih bingung deh, apa sih yang bikin lo sebenci ini sama Ohm?” tanya lelaki itu, “Perasaan seinget gue, Ohm tuh baik deh. Malah dia sabar banget sama lo.”

Nanon mencibir, “Ini ceritanya lo belain dia?”

“Ya gimana ya, Non,” Best berkelit, “gue tuh bingung sama lo. Ada yang deketin lo baik-baik tapi lo kelakuannya kayak gini.”

“Baik-baik? He literally made me broke up with Kak Bright?

Best mendesah, “Non jangan mulai,” mulainya, “please, wake up. Bukan salah Ohm kalo dia dateng tepat di waktu Kak Bright udah ga ngerasain apa-apa lagi sama lo.”

Tale of Spring and WinterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang