[5] Persiapan Kencan Jomlo

18 5 0
                                    

Rian bilang dia akan menjemputku di Pegasus, hari Sabtu jam empat sore

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rian bilang dia akan menjemputku di Pegasus, hari Sabtu jam empat sore.

Lima belas menit sebelum jam empat, Liz sudah duduk sambil baca buku di teras Cewek (kependekan dari Pegasus Cewek). Sesiangan ini dia membantuku makeup-an. Biarpun anak gunung dan terkesan tomboy, Liz telaten merawat muka. Tadi dia mengajariku tahap-tahap perawatan muka: CTMP, kalau nggak salah. Cleansing, Toning, Moisturizing, Protecting. Aku nggak pernah melakukan itu sebelumnya, dan Liz mengomel.

"Muka lo cuman atu, dirawat bagus-bagus!"

"Tapi nggak ada keluhan apa-apa, kok!" elakku, sementara dia meratakan alas bedak dengan spons berbentuk oval yang ujungnya runcing. Entah apa namanya. Bentuknya mirip menhir.

Liz mendandaniku dengan warna natural, merapikan alis dan menggambar ulang dengan pinsil coklat, lalu memulas bibirku dengan warna nude. Waktu melihat bayanganku di cermin, aku sampai terpukau, lho! Nggak norak, tapi nggak terlihat biasa-biasa juga. Tadinya Liz mau catok rambut juga, tapi kutolak dengan tegas. Aku suka ikal mie instant yang menurut orang 'berantakan' ini. Aku nggak rela bilah panas dan bahan kimia membuatnya jadi lurus kayak rambut Mimi Hitam. (Ngomong-ngomong, kalian tahu Mimi Hitam kan? Mama punya koleksi komik jadul Donald Bebek dan aku sering baca waktu masih SD).

Gomos juga nggak mau kalah. Waktu tahu aku mau dijemput sama marga Hutabarat, dia langsung pasang posisi: duduk di sebelah Liz sambil merokok (salah satu kebiasaan buruk yang sering kami protes tapi belum juga berhasil dia hilangkan).

"Harus banget ya, kalian di sini?" tanyaku waktu mendapati mereka berdua duduk dekat-dekatan di teras, akur kayak saudara kembar.

"Harus," jawab Liz tanpa mengalihkan perhatian dari novel di pangkuan. Gaya doang sih itu. Liz nggak suka baca buku. Kalau aku iya.

"Kau kan ito-ku. Aku harus tahu sama siapa kau jalan." Gomos mengepulkan asap putih ke udara. Matanya menatapku agak tajam. "Kau juga harus bilang sama aku, kalau dia nggak beres."

Sambil mengentak kaki keras-keras, aku mendekat dan mengempas bokong di kursi sebelah Liz.

"Nggak di rumah, nggak di kos-kosan, gue kayak napi aja deh. Wajib lapor."

Protesku cuma dibalas dengan cengiran lebar. Sambil menunggu, aku baca-baca status facebook teman-teman. Terus ada pesan dari Rian, katanya dia sudah dekat.

Jam empat kurang tiga menit, dia berdiri di depan pagar Pegasus, memanggilku sambil celingukan. Gomos langsung mematikan rokok lalu bangkit, diikuti oleh aku. Langkahku terhenti oleh tangan Liz.

"Jaim dikit," kata cewek itu sambil nyengir. "Jangan kelihatan kayak udah nungguin dari tadi."

"Astaga. Kami kan udah janjian, Liz!" seruku, kesal campur geli. Kususul Gomos yang lagi membukakan pagar.

"Horas, lae!" sapa Gomos ramah sambil mengulurkan tangan.

"Horas," balas Rian, tersenyum lebar. "Halak hita do?"

"Rajagukguk," kata Gomos, menyebut marganya.

"Hutabarat," balas Rian. "Lae kos di sini?"

Kami bertiga berdiri di depan pagar sebelah dalam. Aku melirik ke teras, Liz sedang memperhatikan kami dari balik novelnya. Tiba-tiba aku bersyukur karena Joe dan Carrie nggak kos di sini. Bisa-bisa mereka berempat kompak duduk di teras, mengamat-amati Rian.

"Di sayap kiri. Itu khusus cowok." Gomos menunjuk bangunan di seberang kolam renang.

Dagu Rian terangkat, bibirnya terkatup rapat. Menurutku, dia kurang suka dengan kos campuran. Memang banyak orang yang menganggap tempat begini nggak aman sih. Apalagi buat cewek. Tapi aku dan Liz punya Gomos dan kami aman dengan dia.

Rian kelihatan keren dengan kaus polo ungu tua dan jins warna khaki. Cocok banget sama kulitnya yang kuning langsat. Untung Liz mendandaniku sedikit girly sore ini. Tadinya aku memilih kaus berkerah juga, tapi Liz menyuruhku ganti dengan blus yang lebih feminin. Untunglah jins-ku sudah selesai dari binatu. Kalau enggak, aku pasti disuruh pakai rok atau celana kain. Ugh!

"Jalan sekarang?" tanya Rian padaku.

Aku mengangguk, lalu menoleh pada Gomos yang lagi bersandar di pagar dengan santai.

"Pergi dulu ya, To." Sengaja aku menekankan kata 'ito'.

Gomos nggak menjawab, cuma mengangguk samar. Waktu aku menutup pagar dan Rian sudah berdiri di samping mobil, Gomos ngomong pelan,

"Jangan malam-malam kau pulang, ya."

"Iyaa, itoku yang baiiik!" Kuulas senyum manis untuk abangku tersayang itu.

Lega banget waktu akhirnya aku naik ke mobil Rian. Dia senyum-senyum waktu aku mengembus napas kuat-kuat.

"Apa dia begitu sama semua teman laki-lakimu?" tanya Rian.

"Hah?" Aku mendadak bingung. Gomos memang belum pernah seperti itu sebelumnya, tapi aku juga belum pernah dijemput cowok lain selain Joe. Rian cowok pertama, orang luar pertama, yang datang ke Pegasus untukku.

"Dia emang agak protektif sih," jawabku, akhirnya.

Kalau dipikir-pikir, Gomos memang perhatian banget sama aku, Liz, dan Carrie. Dia paling cemas kalau Liz belum nongol di Pegasus, sebelum aku kos juga. Dugaanku, Gomos suka ngintip dari jendelanya setiap kali pagar terbuka. Sering banget dia tahu kalau Liz belum pulang. Jadi kurasa wajar saja kalau tadi dia bersikap begitu.

"Rajagukguk," Rian menggumam. Tiba-tiba dia ketawa. Aku mengerutkan kening.

"Kenapa, Bang?"

Rian menggeleng, masih ketawa tapi tinggal sisa-sisa. "Dulu waktu SD, aku punya teman marga Rajagukguk. Diisengin sama anak-anak. Kami manggil dia Raja Gogok atau King of Dog. Kasihan. Dia nangis, padahal cowok, lho!"

Kami? Berarti dia juga ikut mengejek? Itu jahat sekali! Mendadak aku illfeel.

"Kok ikut ngejek? Kan Abang Batak juga?" protesku, nggak terima. Sesama orang Batak jarang mengejek marga. Kami tahu marga adalah sesuatu yang harus dihormati.

"Ah, namanya juga masih anak-anak," kilahnya. "Sekarang kan nggak gitu lagi."

Masih anak-anak. Hm. Biarpun masih tersinggung, aku berusaha mengerti. Anak-anak memang sering kelewat batas kalau udah saling mengejek, tapi kurasa itu tergantung didikan keluarga juga sih. Aku dan Rahel diajar untuk menghormati nama dan marga.

Satu lagi yang aku kurang setuju dari cerita Rian: memangnya kenapa kalau cowok nangis? Wajar saja seorang anak nangis kalau marganya dihina, kan?

"Hei," Rian menepuk punggung tanganku. Aku terlonjak kaget.

"Eh, maaf. Aku ngelamun."

"Aku nggak kayak gitu lagi, kok." Rian mengedip dan tersenyum, membuat palung di pipi kirinya kelihatan. Entah di pipi kanan, aku nggak bisa lihat. Palung itu membuat mukanya manis banget.

Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Gini ya rasanya jatuh cinta.

 Gini ya rasanya jatuh cinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang