[3] Kencan Dadakan Jomlo

26 3 0
                                    

Enam minggu setelah ikrar bersama itu, di awal semester yang katanya merupakan masa tua mahasiswa, aku mengetuk pintu kamar nomor 3 yang ditempeli poster gunung Cartenz

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Enam minggu setelah ikrar bersama itu, di awal semester yang katanya merupakan masa tua mahasiswa, aku mengetuk pintu kamar nomor 3 yang ditempeli poster gunung Cartenz.

Setelah teriakan samar dari dalam ("bentaaar!"), Liz membukakan pintu, masih memakai handuk di kepala.

"Adapa? Tampang lo galau gitu," tanyanya sambil menutup pintu lagi. Aku mengempas bokong di ujung tempat tidurnya yang sudah rapi.

"Kemarin Bang Rian minta gue nemenin dia malam minggu besok. Temen kuliahnya pindah ke Belanda, bikin acara perpisahan." kataku. "Dan gue terima."

"Ya terus? Kenapa? Kok masih galau?" Liz membungkuk, meremas rambut sepunggungnya di dalam handuk. Lalu dia menegakkan punggung sehingga rambutnya terkibas ke belakang. Habis itu dia duduk di kursi, mengumpulkan semua rambut di satu sisi, lalu mengeringkannya lagi dengan handuk. "Bukannya lo senang?"

"Iya, senang," aku menatap lantai. "Tapi kami kan belum ada ikatan apa-apa. Dia belum ngomong apa-apa. Sebagai apa gue datang?"

"Nggak usah dipikirin, Lei. Justru ini kesempatan lo buat nanya," Liz tersenyum. Sambil berdandan, menatapku lewat cermin. "Masih inget tantangan Gomos, kan? Semester 8 harus udah punya gandengan."

"Bukan karena Gomos juga sih. Rahel nanyain terus. Bosan gue," Aku mencibir. "Mentang-mentang dia udah punya cowok. Udah direstui sama bokap nyokap juga."

"Karena Batak?"

"Itu syarat nomor satu dari Bapak. Liz, gimana cara nanya yang enak, ya?"

"Ke gebetan lo itu? Tanya aja terus terang."

"Apa pantes?" Keningku berkerut. "Gue kan cewek."

"Pantes-pantes aja. Kan cuma nanya?! Bukan menyatakan perasaan, kan?"

Iya juga sih. Yang jelas aku nggak memberi kesan seolah selama ini sudah menunggu-nunggu. Dan mungkin ada baiknya juga kalau aku diskusi sama Gomos.

Liz sudah beres, jadi aku berdiri dan merapikan pakaian. Kutunggu dia mencabut semua kabel dan mematikan lampu.

"Hari ini ketemu dia kan? Siapa namanya lagi? Rian, bukan?" tanya Liz sambil mengunci pintu.

"Iya. Arian Hutabarat. Dia ngajak maksi bareng juga entar."

"Nah ... udah ngasih move tuh!" Liz terkekeh. "Bagus, lah. Ceritain nanti gimana kencan siang bolongnya."

Sejak aku ngekos, kami berangkat bareng ke jalan raya, kira-kira dua ratus meter dari Pegasus. Dari sana Liz akan naik busfeeder ke halte TransJakarta, sedangkan aku naik ojek. Memang bisa sih, pesan ojek dari Pegasus. Tapi jalan kaki sedikit juga nggak ada salahnya. Hitung-hitung olahraga.

"See you!" Liz melambaikan tangan ketika bisnya tiba. Kubalas sementara dia dengan gesit melompat masuk.

Lima menit setelahnya, ojek pesananku sampai. Aku sudah tahu dari aplikasi, orang yang mengambil pesanan tumpanganku.

"Lagi di daerah sini?" tanyaku pada si pengemudi ojek sambil memakai helm yang dia kasih.

"Iya. Tadi dapat penumpang yang mau ke kampus, malah." Joe tersenyum kecil.

"Oya?" tanyaku sambil memegang pundaknya untuk naik ke boncengan. Terpaksa duduk menyamping gara-gara aku pakai rok. Semua celana panjangku masih di binatu. "Mahasiswa?"

"Iya. Anak baru, pula."

"Semoga bukan anak Ilkom."

"Bukan. Name tag-nya kuning."

"Ooo ..."

Di Universitas Lentera, mahasiswa memakai kartu identitas yang dikalungkan di leher. Tiap fakultas punya warna tali sendiri. Kayak cerita Joe tadi. Ekonomi warnanya kuning. Fasilkom biru tua. Hukum hijau.

Joe nggak mengajakku bicara lagi dan aku juga diam saja. Dia sudah pernah mengantarku ke bank swasta tempat aku magang sejak awal semester enam, jadi nggak tanya-tanya lagi. Perjalanan kami cuma butuh setengah jam. Joe menurunkanku di tempat parkir.

"Thanks, Joe. Kamu juga masih lanjut magang, kan?" tanyaku sambil mengembalikan helm.

Joe mengangguk. "Tapi siang ini aku ikut seminar dulu. Lumayan, nambah poin."

Biar aku jelaskan.

Sebagai syarat skripsi di semester delapan, kami harus memenuhi jumlah poin tertentu, yang bisa dikumpulkan mulai semester satu. Caranya gampang, sih. Aktif di kegiatan-kegiatan kampus dan ikut seminar-seminar yang diadakan kampus. Magang juga dapat poin, tapi cuma bisa dilakukan di semester enam.

Karena aku sudah mencicil poin sejak semester tiga (Bapak nggak mengizinkanku aktif di BEM selama tahun pertama), magang ini adalah poin terakhir. Aku sudah nggak perlu ikut seminar lagi.

"Oh, oke. Gomos juga seminar, katanya. Dia masih butuh banyak poin," sahutku.

"Oya? Kirain poin dia udah cukup. Poinmu udah cukup, ya?"

"Udah dooong!" Aku tersenyum. "Aku masuk dulu, Joe! Absensi jam tujuh seperempat, soalnya."

Joe membalas senyumku, lalu pergi. Untung aku selalu bayar pakai aplikasi. Nggak enak rasanya bayar tunai sama teman sendiri. Joe nggak pernah mau dikasih bonus sama kami, Lima Sekampus. Dia pasti kembalikan. Pernah terjadi sama Liz. Joe tersinggung banget, jadi kami nggak pernah coba-coba lagi.

Di lobby bank yang masih lengang, Arian sedang berbincang dengan satpam. Ketika melihatku datang, senyumnya melebar. Aku berusaha tenang, padahal jantungku sudah berdebar nggak karuan.

"Jadi kan, nanti?" tanyanya, sementara si satpam pura-pura sibuk dengan ponsel.

Kuanggukkan kepala tersenyum samar, terus langsung naik tangga ke lantai dua, ruang kerjaku. Rian juga di lantai dua, tapi beda kubikel. Kami sama-sama di bagian Development bersama lima staf lainnya.

Semakin mendekati jam dua belas, aku makin nggak tenang. Pertama, apa Rian akan menjemput ke sini atau aku harus menunggu dia di suatu tempat? Kedua, apa aku harus bilang ke rekan lainnya yang biasa makan siang denganku bahwa siang ini aku diajak makan di luar sama Rian? Ketiga, apa sopan kalau aku tanya soal undangan Sabtu nanti? Kenapa dia memilihku dan bukan yang lain?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus bermunculan di kepala. Jam dua belas tepat, rekan di sebelah mengajakku makan di gang belakang.

"Oh, duluan aja, Mbak," sahutku. "Nanti saya nyusul."

Untung dia nggak tanya-tanya lagi dan langsung mencari teman lain. Aku berlambat-lambat sampai semua orang pergi, tapi Rian belum juga muncul ataupun menghubungi. Jam dua belas lewat lima, akhirnya dia menelpon.

"Lei? Jadi, nggak? Udah di parkiran depan lobby, nih,"

"Lei? Jadi, nggak? Udah di parkiran depan lobby, nih,"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang