"Lei? Jadi, nggak? Udah di parkiran depan lobby, nih,"
Hah? Dia cuma menunggu di mobil? Kayak kurang sopan, tapi memangnya kami ada hubungan apa sampai aku berharap terlalu tinggi? Mendadak aku seperti dijatuhkan dari lantai tujuh. Sakit banget, dih.
Buru-buru aku mengambil dompet, lalu menuruni tangga dengan cepat. Nggak banyak orang di lobby. Teller hanya satu, gantian istirahat dengan rekannya. Satpam di pintu utama tersenyum penuh arti waktu aku lewat.
"Udah dari tadi Pak Rian nunggu," katanya sopan.
Aku nyengir terpaksa, lalu menuruni lima anak tangga menuju mobil sedan merah yang kaca jendelanya dibuka. Di balik kemudi, Rian menunggu sambil tersenyum.
"Maaf tadi nggak ngasih tahu nunggu di sini. Barusan dari cabang," jelasnya.
Perlahan mobil keluar dari halaman parkir. Aku belum tahu mau diajak makan ke mana, dia juga nggak bilang apa-apa.
"Nggak apa, Pak," kataku gugup. Mendadak aku merasa bersalah karena sudah menganggapnya nggak sopan.
"Kalau di luar kantor, jangan panggil Bapak, lah. Saya kan masih muda."
"Jadi panggil apa?"
"Bebas. Abang, boleh. Ito, boleh. Rian aja juga boleh." Dia menatapku sekilas. Wangi parfumnya bikin aku pengin menghirup udara dalam-dalam. Enak banget.
"Abang aja, ya?" usulku. Memang biasanya dia dipanggil Bang Rian sama orang kantor, tapi karena aku cuma anak magang, rasanya nggak sopan kalau ikut-ikutan panggil Abang.
"Boleh," dia mengangguk sambil mengulas senyum yang sudah kukagumi sejak pertama melihatnya. Aku pasti termasuk orang yang sabar banget, kan, menyimpan kekaguman sampai selama ini.
Rian mengajakku makan di restoran Jepang yang selalu ramai. Saking ramainya, pembeli harus antri dulu untuk dapat meja. Dan kalau sudah dapat makanan, nggak boleh berlama-lama. Orang lain antri meja juga. Sebenarnya kurang nyaman sih, makan sambil ditungguin orang. Tapi asli, menunya enak. Harganya cukup mahal untuk ukuran kantung mahasiswa, tapi untung uangku cukup.
"Hari Sabtu nanti juga jadi, kan?" tanya Rian setelah kami memesan menu. Kami duduk berseberangan, tapi karena mejanya kecil, jarak kami cukup dekat. Meja-meja di restoran ini dirancang untuk empat orang, jadi kami berbagi dengan orang lain.
Kebetulan banget dia mengangkat topik itu.
"Uhm ... saya bebas sih, Bang. Sabtu nggak ada kuliah. Boleh-boleh aja," kataku, sementara otak ini sibuk merangkai kata untuk pertanyaan berikutnya. "Ehm, saya harus pakai baju seperti apa? Ada tema tertentu, nggak?"
"Nggak ada, cuma perpisahan dan makan-makan aja."
"Ooh," sahutku, tiba-tiba gugup. Aku meremas jari di bawah meja. "Abang ngajak teman-teman lain juga?" pancingku.
Rian nggak langsung jawab. "Cuma kamu."
Dia menatapku lebih intens. Lalu, seperti takut aku membaca matanya, dia menoleh ke arah lain. "Semoga makanan kita cepat datang, ya," katanya lagi.
Pengalihan topik. Dadaku sesak karena senang. Setelah berbulan-bulan bekerja sama, akhirnya ada tanda bahwa dia juga punya perasaan istimewa ke aku. Karena kalau cuma menganggapku teman, nggak mungkin dia jadi gugup begitu, kan? Apalagi tatapannya tadi. Dalam banget. Kayaknya malam ini aku bakal mimpi dipandangin sedalam itu sama dia.
Selama makan, kami mengobrol hal-hal ringan. Dia tanya-tanya tentang mata kuliah IT zaman sekarang, lalu membandingkan dengan mata kuliahnya dulu. Ternyata perbedaannya lumayan. Selain itu kami hanya mengomentari rasa makanan.
"Kamu orang Batak, kan?" tanyanya dalam perjalanan pulang. Kami pasti terlambat karena sekarang saja sudah jam satu.
"Iya, Bang."
"Boru apa?"
"Simaremare."
"Ooo... Saya Hutabarat. Kamu pasti udah tahu, kan?"
Aku tersenyum. Tentu saja tahu. Dia mencantumkan nama lengkapnya di setiap tanda tangan. Arian M. Hutabarat. M-nya itu Maharaja – hasil investigasiku di daftar nama karyawan tetap.
"Semester berapa?" tanyanya lagi.
"Tujuh, Bang."
Wajahnya jadi cerah. "Semester paling sibuk, itu. Tahun depan skripsi, dong?"
"Hehe ... iya, kalau Tuhan berkenan."
"Nah, bagus itu. Kalau Tuhan berkenan. Manusia cuma bisa berencana, Tuhan yang menentukan."
"Amin." Tanganku menengadah ke atas seperti sedang berdoa.
"Jadi, magangnya tinggal berapa lama?"
"Empat, Bang. Habis itu saya bikin laporan untuk kampus dan kantor."
"Empat bulan, ya." Rian manggut-manggut. "Masih sempat ikut outing karyawan, berarti."
Aku cuma bisa melongo, tapi dalam hati senang banget. Outing! Bareng dia, lagi!
Waktu aku cerita tentang makan-makan itu kepada Liz malamnya, dia menoyor kepalaku.
"Udah! Itu berarti dia juga suka sama elo!" Liz ketawa.
"Masa sih? Soalnya cuma gelagat doang. Dianya belum ngomong apa-apa," sanggahku. Kami lagi bermalas-malasan di kamar, meluruskan punggung di kasur.
"Sabar dong, Beb. Kan baru pedekate tahap awal. Sabtu ini lo harus tampil cantik buat dia. Nggak usah berlebihan, tapi beda dari biasanya."
"Perlu banget?" Aku mengerutkan kening. "Perlu ke salon juga nggak, nyatok rambut?" Biasanya aku catok rambut kalau ingin tampil beda, soalnya kurang pintar dandan. Ikal spiralku memang sudah jadi ciri khas. Nggak ada orang seangkatan yang rambutnya keriting asli--bukan dibentuk dengan hair curler--seperti rambutku. Keriting seperti kabel telepon.
"Boleh juga. Tapi terserah lo, deh. Gue bersedia dandanin lo hari Sabtu."
Aku berbalik dan tengkurap, menahan tubuh dengan kedua lengan.
"Lo sendiri, Liz? Ada gebetan baru?"
"Nggak semudah itu pindah ke lain hati, Beb." Liz menutup mata. "Gue naksir dia udah lama. Tapi nggak ada balasan."
"Pengagum rahasia, dong?"
"Ya gitu, deh."
Kasihan juga aku sama Liz. Dia nggak mudah naksir cowok. Kriterianya cukup ribet: harus suka kegiatan outdoor, atau minimal mengizinkan dia naik turun gunung dan menyelam di laut.
"Anak pecinta alam lain, nggak ada?" usulku. Liz malah ketawa.
"Udah, nggak usah pikirin gue. Siapa tahu malah gue yang duluan jadian. Jodoh, siapa yang bisa duga?"
Bener juga sih.
KAMU SEDANG MEMBACA
STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]
Teen FictionLeia dan keempat temannya, Gomos, Joe, Liz, dan Carrie, sepakat untuk serius mencari pacar dan menyudahi segala hubungan yang tidak punya kans untuk dilanjutkan. Menurut insting Lei, dia akan berkesempatan untuk dapat cowok satu suku, yaitu Batak, s...