Leia dan keempat temannya, Gomos, Joe, Liz, dan Carrie, sepakat untuk serius mencari pacar dan menyudahi segala hubungan yang tidak punya kans untuk dilanjutkan. Menurut insting Lei, dia akan berkesempatan untuk dapat cowok satu suku, yaitu Batak, s...
Masalahnya, gerbang Pegasus nggak pernah dikunci. Itu sebabnya penghuni dan tamu dilarang menaruh motor di halaman depan. Ada teras kecil di dekat kos-kosan cowok yang dipakai sebagai tempat parkir. Mobil nggak diizinkan masuk. Hanya bisa diparkir di pinggir jalan.
Tapi kalau Rian tahu betapa longgar keamanan Pegasus, dia pasti keberatan lagi. Entah kenapa aku sudah bisa menebak karakternya. Jadi aku punya ide yang aku harap benar.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Temanku pasti belum tidur, jadi aku bisa minta tolong mereka bukain pagar," kataku. Setengah dusta, karena pagar kan tidak dikunci. Setengahnya lagi ternyata benar, karena tiba-tiba ada langkah cepat menuju gerbang.
"Kaunya itu, Lei?"
Gomos!
"Iya. Tolong bukain pagar, to?" pintaku pelan, berharap Gomos tahu kode yang akan kulempar padanya. Jangan bilang pagar nggak dikunci, Gom, please ...
Dari jarak dua meter, Gomos menatapku. Aku mengedip sebelah mata. Di sebelah, Rian tegak menatap Gomos dengan kedua tangan di dalam saku.
Tanpa berkata apa-apa, Gomos maju dan pura-pura membuka kunci. Aku tersenyum, membisikkan terima kasih. Kami bertiga saling diam, dan akhirnya Gomos berbalik dan pergi. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana selutut yang sudah kusam.
Aku menoleh pada Rian, mendapati dia sedang mengikuti Gomos dengan matanya. Kenapa, ya? Sepertinya dia nggak suka sama Gomos. Apa gara-gara ini kos-kosan campuran dan dia jadi sebal sama semua penghuni kos cowok?
"Bang?" panggilku pelan. Ini sudah larut dan aku harus bangun jam empat pagi.
Dia menoleh cepat padaku, mengulum senyum. Ada kilat di matanya, dan perutku mnedadak seperti digelitik.
"Masuklah. Aku pulang, ya."
Dia melambaikan tangan lalu masuk ke mobil. Waktu melewatiku, klaksonnya berbunyi pelan satu kali dan dia tersenyum padaku dari balik kemudi.
"Lama amat. Ngapain aja?"
Gomos tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Aku berbalik, menepuk pipinya pelan, tertawa.
"Cuma perpisahan sama temannya. Makan. Terus pulang. Mereka ngobrol lama banget."
"Nggak macam-macam dia, kan?"
Aku menyipitkan mata. Gomos juga nggak suka sama Rian. Heran. Kenapa mereka bisa langsung antipati satu sama lain padahal belum pernah kenal?
"Enggaaaak, itoku sayang,"
"Oke. Jangan lupa, jam empat."
Kuacungkan jempol, lalu berbelok masuk ke kos cewek. Gomos menunggu sampai aku menutup pintunya. Yah, cowok sejati lainnya adalah Gomos. Dia selalu bersikap seperti penjaga kami. Terutama padaku, dia bersikap sebagai kakak laki-laki juga – yang mana ada benarnya.
Aku dan Gomos duduk di teras kolam renang, duduk berhadapan. Dua pasang kaki kami terjulur ke depan, bertemu di ujung sepatu. Kami sama-sama membungkuk sambil berpegangan tangan. Bergantian, kami saling menarik tubuh masing-masing dan menghitung sebanyak dua kali delapan.
"Nggak gimana-gimana. Biasa aja," jawabku.
"Biasa aja. Tapi malam amat pulangnya." Cibir Gomos sambil menarik tanganku sampai aku terbungkuk mencium lutut. "Hampir aja aku jemput, loh!"
"Memangnya lo tahu gue makan di mana?" Kutarik tangannya.
"Hmm." Dia menggeram sebagai ganti kata 'iya' karena sekarang gantian dia yang sedang mencium ruang di antara lututnya.
Aku menghitung sampai enam belas. Gomos mengangkat kepala, lalu kami sama-sama melepas tangan. Gomos berdiri dan mengulurkan tangan membantuku. Pegal, tapi enak.
"Ayo, udah lewat seperempat," ajak Liz.
Jalan masih sepi banget, sempurna untuk olahraga. Liz bilang, awalnya cuma dia yang lari pagi. Waktu Gomos tahu, dia ingin ikut. Jadi mereka selalu lari pagi setiap hari Minggu, kalau nggak hujan. Sekarang jadi acara bertiga.
"Ketemu di tukang bubur ayam, ya!" Liz mengambil ancang-ancang, lalu mendahului kami.
Karena kecepatan masing-masing berbeda, kami janjian bertemu di salah satu tempat sarapan. Rutenya sih sama, hanya keliling komplek. Kadang-kadang Gomos memperpanjang rute sambil mencari tempat makan baru. Di perumahan Lavender yang lokasinya pas di belakang universitas Lentera, ada banyak rumah yang dijadikan tempat usaha. Ada kos-kosan, tempat makan murah meriah, café kecil-kecilan, toko alat tulis dan fotokopi, dan toko serba ada. Pokoknya semua kebutuhan mahasiswa ada. Nggak heran kos-kosan di sini mahal.
"Kau tahu kan, tukang bubur ayam yang dibilang Liz?" tanya Gomos sambil lari-lari kecil menyamai kecepatanku.
Aku mengangguk. Gomos mengangkat jempol, lalu melesat mendahuluiku. Aku juga menambah kecepatan, lalu menikmati udara segar sambil jogging.
Belum lama berlari, sebuah motor memelankan kecepatannya dan menjajariku. Aku menoleh, tadinya sudah ketakutan kalau dia orang iseng. Ternyata Joe – dan Carrie di boncengan. Aku memperlambat lari sebelum akhirnya berhenti.
"Kalian ngapain?" tanyaku heran. "Masih pagi banget gini udah berdua aja."
Tatapan Joe aneh banget. Carrie melompat turun waktu motor benar-benar berhenti. Dia memakai celana pendek setengah paha dan kaus khusus untuk olahraga. Matanya berbinar.
"Ikut lari, dong! Duh, aku makin iri lihat kalian bisa sering-sering lari pagi bareng."
"Ooh ..." Aku menoleh pada cowok yang masih duduk di motor. Dia nggak memakai kostum lari. "Kamu?"
"Nunggu di tukang bubur ayam aja." Joe menyalakan mesin, lalu meninggalkan aku dan Carrie.
"Nanti cerita gimana kencanmu semalam, ya!" ujar Carrie sebelum dia juga memelesat meninggalkanku.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.