[9] Salahkan Kursi

15 3 0
                                    

Empat puluh menit kemudian, kami duduk di pinggir jalan di sebelah warung tenda penjual bubur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Empat puluh menit kemudian, kami duduk di pinggir jalan di sebelah warung tenda penjual bubur. Malas duduk di dalam karena yang datang makan sudah banyak. Lagipula, di luar kami bisa mengobrol lebih bebas tanpa mengganggu kenyamanan orang lain.

"Akhirnya dia pedekate juga, ya?" Carrie tertawa setelah mendengar cerita kencan semalam. "Dua bulan lalu kamu hopeless. Sekarang hopeful. Aku ikut senang," imbuhnya dengan ketulusan yang nggak dibuat-buat.

"Aku enggak," Gomos mencibir.

"Kenapa?" tanyaku.

"Dari matanya itu aku tahu dia sombong."

"Mungkin karena lo belum kenal aja, kali."

"Oh!" Mata Gomos menyipit. "Jadi kalau kau, udah kenal rupanya? Dekat? Baik?"

"Kenapa nyerang Leia sih?" Liz melerai. "Lo harusnya dukung dia. Kan ini ide lo juga?" tatapannya tajam pada Gomos.

Seketika suasana jadi canggung. Carrie menatap Gomos dan Liz bergantian, cemas. Dia memang juru damai kami. Dia nggak suka kami berdebat. Masalahnya, itu agak mustahil untuk Gomos dan Liz. Sedangkan Joe, dia menyantap bubur ayam dengan lebih lambat, menunduk di atas mangkuknya.

Belum apa-apa, baru pedekate doang, Arian sudah jadi pemecah kami. Ini pertanda buruk – padahal aku berharap kami cocok. Arian memenuhi syarat Bapak, dan dia satu-satunya cowok yang aku sukai yang juga sedang dalam circle-ku. Seberapa besar peluang untuk bisa punya pacar serius sebelum wisuda yang bisa kudapat, kalau Arian nggak masuk hitungan?

"Gaes, udah." Kuletakkan mangkuk kosong di kaki kursi. Lalu kuraih tangan Liz, yang segera menatapku masih dengan tatapan jengkel yang tadi ditujukan untuk Gomos. "Udah tiga tahun loh, kita berteman. Masa sih gara-gara gue pengin punya cowok aja, jadi bubar persahabatan?"

"Aku cuma bilang, nggak suka sama halletmu itu." Gomos mengembuskan asap.

"Dia belum jadi pacar gue, Gom. Baru pedekate," ralatku.

Cowok yang sudah kuanggap sebagai kakak laki-laki itu diam beberapa lama, sebelum akhirnya menepuk pelan lututku dua kali. "Terserah kau lah." Sinar matanya melembut, tanda sudah nggak marah. Masih dengan logat Batak yang kental, dia melanjutkan, "Aku cuma ingin kau dapat cowok yang baik, ito. Baik. Bukan cuma Batak, punya mobil, menejer ---"

Carrie tergelak. Tawanya menular padaku dan Joe. Liz mendengus, tapi akhirnya nyengir.

"Logat lo itu, Gom. Nggak akan bisa hilang, ya? Padahal dah nguli di Jakarta tiga tahun," ucap Liz, lebih bersahabat dari sebelumnya. "Hallet itu pacar?" tanyanya padaku.

Aku mengangguk. "Temenan sama Gomos, lo bisa belajar bahasa Batak sedikit-sedikit."

"Memangnya gue punya niat cari orang Batak juga, apa?" sekali lagi Liz mendengus main-main.

Karena sudah jam sembilan, kupikir kami harus segera pulang. Aku membungkuk mengambil mangkuk bubur, lalu berdiri. Entah bagaimana, tiba-tiba kakiku terpelecok. Detik berikutnya, tubuhku terbaring di tanah trotoar yang berumput – dengan Joe menimpaku.

Tiga orang memekik kaget bersamaan. Kepalaku sakit karena kepentok bangku kayu yang diduduki Liz dan aku ingin mengerang, tapi tampang Joe yang bingung membuatku nggak bisa bersuara.

Gomos segera membantu Joe berdiri sementara Liz dan Carrie membantuku duduk. Pinggulku sakit, apalagi kepala. Carrie mengusapnya perlahan seraya membersihkan rambutku dari tanah.

"Lo kenapa?" Liz keheranan, memandang aku dan Joe bergantian.

Beberapa pasang mata juga memandang kami dari dalam tenda bubur ayam. Ampun, memalukan banget. Benar rupanya kata pepatah: sakitnya nggak seberapa; malunya itu ...

"Aku kepelecok. Kaki kanan." Kuusap pelan di bahwa mata kaki. Sakit.

Liz membuka sepatu olahraga dan melepas kaus kakiku. Astaga - mata kakiku merah.

"Ada batu di bawah bangku lo," ujar Liz. "Tanahnya jadi nggak rata."

Aku mendongak memandang Joe sambil meringis. "Tadi kamu narik tanganku?"

Yang ditanya mengangguk. "Spontan, maaf."

"Oh, gitu gara-garanyaaa." Liz menggeleng-gelengkan kepala dan kami semua jadi paham kenapa Joe bisa tiba-tiba menindihku.

"Malah jatuh berdua," Carrie berdecak, masih mengusap betis di balik celana olahraga merah muda yang kukenakan.

Untung Joe bisa menahan kepalanya supaya tidak membentur kepalaku. Aku bangkit pelan-pelan, mencoba melangkah. Sial. Sakit sekali.

 Sakit sekali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Halo! 

Maaf ya lama update-nya. Ada dukacita di keluarga saya minggu lalu. Ada kesibukan juga sehubungan terbitnya novel baru. Malam ini saya update dua bab ya, semoga besok bisa dua bab lagi.

Terima kasih sudah baca! 

salam terbaik,

leia dan evenatka.

STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang