"Kenapa lama di kamar kecil?" Rian langsung bertanya setelah aku memasang sabuk pengaman. Dia memang kelihatan agak kesal waktu aku akhirnya muncul. Teman-temannya masih ngobrol dan tertawa-tawa – kecuali Chelsea yang masih di kamar kecil, tentunya.
"Diajak ngobrol sama mantannya Abang," jawabku, tersenyum. "Maaf ya Bang. Kelamaan banget ya?"
"Ngobrol apa sama Chelsea?" tanyanya lagi, mengabaikan pertanyaanku.
"Nggak serius, kok."
"Nggak serius, tapi lama." Rian mencebik setengah meledek. Matanya menertawakanku.
"Kak Chelsea yang lebih banyak ngomongnya. Aku cuma jawab aja, kok," kilahku.
"Pasti dia kelihatannya galak, ya?" Rian ketawa.
"Well, orang Batak kan memang gitu. Ngomong biasa aja, kayak marah-marah."
Kami sama-sama tertawa. Streotip bahwa orang Batak ngomongnya galak memang belum bisa lepas. Padahal di era modern ini rata-rata anak muda Batak sudah nggak memakai logat khas daerah kami. Apalagi mereka yang lahir di luar Sumatera. Dan terutama anak-anak yang lahir dari perkawinan antar suku. Aku saja, yang asli Batak tanpa campuran suku apa pun, nggak lancar ngomong dalam bahasa Batak. Kosakataku sedikit banget. Tapi aku cukup ngerti sih kalau ada yang ngomong Batak.
Jam di dashboard menunjukkan pukul 22.30. Aku meringis teringat pesan Gomos jangan pulang terlalu malam. Tapi mau bagaimana? Aku nggak punya kuasa untuk memaksa Rian pulang. Mereka ngobrol lama banget setelah makan. Bisa kumaklumi, karena salah satu teman mereka kan mau pindah. Mungkin seperti kami berlima, persahabatan mereka juga solid.
"O iya. Kamu kos di sana udah berapa lama? Dari semester satu?" Rian tiba-tiba bertanya setelah hening yang cukup lama. Sebenarnya bukan lama, tapi dia menyetir terlalu santai. Untung di Pegasus nggak ada jam malam.
"Baru aja pindah awal semester ini, kok. Sebelumnya tinggal di rumah ortu." Aku melirik ke arahnya. Dia sedang menatap ke depan, menyetir dengan santai. Kepalanya mengangguk samar satu kali begitu aku selesai bicara.
"Kenapa pindah?"
"Pengin aja."
"Bukannya semester tujuh itu santai, ya? Biasanya sih semester awal kita kos, karena jadwal kuliah padat. Kalau rumah jauh, tinggal di kosan sangat membantu."
Aku heran kenapa ini penting. Bukannya itu terserah aku saja ya? Lagipula, aku nggak mau menjelaskan alasan sebenarnya ke Rian. Dia orang baru dalam hidupku semester, biarpun aku suka padanya.
"Justru karena akhir, aku ingin deket sama teman-teman. Kami makin jarang ketemu di kampus, jadi kenapa nggak ketemu di kosan?" Puji Tuhan atas ide yang tiba-tiba muncul – ini jawaban asal yang kedengaran serius, kan?
"Temanmu yang tadi?" Dia mengernyit. "Yang duduk di teras, ngintipin kita dari balik bukunya, sama yang bukain pagar itu?"
Aku mengangguk, nggak terganggu dengan nada sinis Rian. Kurasa itu cuma karena dia belum kenal Gomos dan Liz. Lama-lama dia akan kenal – kalau hubungan ini berlanjut ke arah yang aku harapkan.
"Yah, menurutku lebih baik cari tempat kos yang khusus cewek. Kos campuran itu ... gimana ya ..."
Oh, jadi ini masalahnya. Dia nggak suka tempat kosku. Bukan masalah aku kos atau tinggal sama ortu.
"Aku suka sama teman-temanku, soalnya. Apa gunanya kos kalau nggak bareng mereka, ya kan?" ujarku santai.
Pipinya menggembung lalu mengempis dengan cepat, lalu mobil berhenti. Kami sudah sampai di depan Pegasus.
"Makasih, ya, Bang," kataku, bertanya-tanya apa dia akan ikut turun dan mengantarku sampai ke depan pagar. Kalau dia peduli seberapa pantas aku diturunkan oleh laki-laki dari mobil malam-malam begini tanpa ditemani, seharusnya dia melakukannya. Tadi kan dia meributkan soal kos campuran.
"Sama-sama. Makasih udah mau ikut." Rian tersenyum. Tangannya meraih pintu. "Tunggu, aku antar." Dia keluar dan memutari bagian depan mobil, lalu membukakan pintu. Satu tangannya terulur membantuku turun.
Ya ampun, aku jadi berdebar-debar! Cowok idaman banget sih Rian!
Habis aku turun, kami berdiri canggung di depan pagar. Rian menatapku dengan sinar lembut di matanya. Cahaya lampu di pagar membuat bola matanya makin kelihatan berbinar. Sudut-sudut bibirnya tertarik ke dua sisi, dan ya, dia punya dua lesung pipi! Manis sekali.
"Kamu pegang kunci sendiri?" Akhirnya dia memecah keheningan yang aneh ini. "Atau ada pengurus rumah yang harus dihubungi?" Tangannya mengeluarkan ponsel, siap-siap menekan angka yang akan kusebut.
Aku yakin mulutku melongo selama beberapa detik. Ini namanya bertanggung jawab atau apa? Sungguhan cowok kayak begini masih ada, ya? Aku takjub sekaligus senang karena dia mengantarku pulang baik-baik.
Masalahnya, gerbang Pegasus nggak pernah dikunci. Itu sebabnya penghuni dan tamu dilarang menaruh motor di halaman depan. Ada teras kecil di dekat kos-kosan cowok yang dipakai sebagai tempat parkir. Mobil nggak diizinkan masuk. Hanya bisa diparkir di pinggir jalan.
Tapi kalau Rian tahu betapa longgar keamanan Pegasus, dia pasti keberatan lagi. Entah kenapa aku sudah bisa menebak karakternya. Jadi aku punya ide yang aku harap benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]
Novela JuvenilLeia dan keempat temannya, Gomos, Joe, Liz, dan Carrie, sepakat untuk serius mencari pacar dan menyudahi segala hubungan yang tidak punya kans untuk dilanjutkan. Menurut insting Lei, dia akan berkesempatan untuk dapat cowok satu suku, yaitu Batak, s...