"Betul kau nggak kenapa-napa, kan?" Gomos memandang Joe. Ketika cowok itu menggeleng, tangan Gomos menunjukku. "Kau bonceng aja dia pulang. Kami nyusul."
Joe meraih tangan kanan sementara Liz memegang tangan kiriku. Berdua mereka membantuku menuju motor hitam Joe.
"Diurut pakai salep, Lei. Gue punya. Nih, ambil aja di kamar." Liz menyerahkan serenteng kunci dan bungkusan plastik berisi sepatu sebelah kanan.
Sambil bertelekan tangan pada pundak Joe, aku naik ke boncengan. Kutumpukan kaki kanan yang telanjang di atas pedal.
"Tiati, Joe! Jangan jatoh lagi!" Liz berseru waktu Joe mulai melaju, yang dijawab dengan jempol teracung.
"Sori, yaa ..." Joe menoleh ke belakang ketika teman-teman sudah cukup jauh di belakang. "Reflek mau nahan kamu supaya nggak jatuh, malah celaka."
"Nggak apa, Joe. Aku lupa keseimbanganku jelek. Kaki kananku gampang keseleo."
"Untung kamu nggak suka naik gunung kayak Liz. Bisa-bisa jatuh terus," Joe nyengir.
"Emang. Harus sedia tongkat buat bantu jalan. Kayak nini-nini, ya!"
Kami tertawa. Untuk sementara, sakit kakiku nggak terlalu terasa. Mungkin dia sengaja bercanda supaya aku nggak fokus pada kaki.
Pegasus lengang seperti biasa. Jam segini kebanyakan penghuninya sedang bersantai di kamar masing-masing. Beberapa pintu kamar terbuka, membiarkan udara berganti.
Joe melingkarkan tangannya di pinggangku, mencengkeram di sana. Tangan satunya meraih tangan kananku dan melingkarkannya di belakang leher.
"Pelan-pelan aja," katanya sewaktu aku mengaduh. Padahal kaki kananku nggak menjejak lantai, hanya ujung jempol saja.
"Sial. Jangan-jangan besok aku nggak bisa kerja," keluhku.
"Bisa, lah. Diurut sebentar juga sembuh, kok."
Kami sama-sama nggak menyadari dekatnya posisi tubuh kami sampai di depan pintu kamar Liz. Karena aku pendek, Joe sedikit menunduk saat melepas tangan yang melingkari tengkuknya. Aku baru tahu kalau Joe wangi sabun antiseptik. Enak dan segar.
Kubuka pintu dan mataku menyapu meja belajar Liz.
"Itu, botol yang kecil, Joe."
Sekali lagi dia memapahku, tapi kali ini ke teras kolam renang. Kubuka sepatu sebelah kiri lalu duduk di salah satu kursi pantai.
Joe menaikkan kedua kakiku ke atas kursi, lalu meluruskannya. Dia mengoleskan salep di sekitar mata kakiku. Pelan, hati-hati, dan tanpa menatapku sedikitpun.
Ini peristiwa yang sangat canggung.
Kami sudah begitu lama berteman, sehingga aku nggak pernah malu atau sungkan pada Joe. Gomos nggak bisa dihitung cowok biasa karena kami, secara marga, adalah kakak adik. Aku biasa cerita tentang kakak tingkat yang kutaksir pada mereka. Begitu juga dengan Liz dan Carrie. Gomos hanya pernah cerita padaku bahwa dia menyukai Carrie, tapi itu rahasia yang harus kupegang erat. Dia nggak mau Carrie mengambil jarak dengannya.
Sedangkan Joe – yah, dia kan cowok pendiam. Pembawaannya selalu tenang. Wajahnya juga lempeng aja kalau kami bergosip tentang cowok-cowok kampus yang keren, ganteng, dan macho. Dia juga sibuk cari uang dengan ngojek, jadi di tahun-tahun pertama dan kedua jarang hangout bareng kecuali waktu kuliah dan bikin tugas.
Dan sekarang, dia sedang memijit kakiku. Dengan lembut dan hati-hati. Mendadak ada yang rasa aneh menjalar pelan dari ujung kaki dan tanganku menuju jantung.
Kayaknya aku terlalu lama memandang Joe, karena tiba-tiba mukanya memerah. Dia berhenti memijit, membetulkan kacamatanya, lalu tersenyum rikuh.
"Eh, makasih, Joe. Udah baikan, kok," kataku cepat-cepat, sebelum keadaan jadi lebih janggal lagi.
"Kalau besok mau tetap kerja, biar aku anterin. Info aja jam berapa mau dijemput."
Dia menatapku santai. Sepertinya cuma aku yang mengalami rasa-rasa aneh tadi, ya. Mungkin aku terlalu ge-er, mengira dia menyukaiku lebih dari sekedar teman. Kenapa juga aku bisa berpikir kayak gitu!
"Kita lihat nanti malam, ya. Kalau tetap sakit, mana bisa aku jalan di kantor?"
"Oh, iya. Bener juga." Wajahnya memerah lagi. Apa dia sering salah tingkah begini?
Baru saja aku mau mengulurkan tangan untuk menenangkannya, terdengar pagar dibuka bersama suara Liz, Carrie dan Gomos menuju tempat kami sambil mengobrol. Kuturunkan tangan yang sudah separuh jalan ke atas tangan Joe.
"Baik-baik ajaaa?" Carrie mengempas bokong di ujung kakiku, disusul oleh Liz di sisi satunya.
"Udah, besok nggak usah kerja dulu," kata Gomos, memandang kakiku yang bengkak. "Makin dipaksa jalan, makin jadi sakitnya."
Aku membuka mulut, siap-siap protes pada Gomos. Besok ada rapat divisi, jadi aku harus datang. Ada laporan yang harus selesai akhir bulan dan ada beberapa hal yang mau aku tanyakan pada Rian sebagai managerku. Selain itu aku senang ke kantor karena bisa ketemu sama Rian.
"Aku bisa anterin." Joe menduluiku bicara pada Gomos. "Aku bisa nungguin juga dekat-dekat kantormu, siapa tahu mau pulang duluan."
KAMU SEDANG MEMBACA
STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]
Teen FictionLeia dan keempat temannya, Gomos, Joe, Liz, dan Carrie, sepakat untuk serius mencari pacar dan menyudahi segala hubungan yang tidak punya kans untuk dilanjutkan. Menurut insting Lei, dia akan berkesempatan untuk dapat cowok satu suku, yaitu Batak, s...