Habis ngomong begitu, Joe mengajak Liz membeli makan siang untuk kami di rumah makan terdekat. Begitu mereka pergi, Gomos mengambil gitar di kamarnya, lalu duduk di lantai, di kaki Carrie.
"Car, kau nyanyi ya! Abang yang main," katanya sambil memainkan nada sembarang.
"Lagu apa, Bang?" Carrie turun dari kursi rotan, duduk bersila di sebelah Gomos. "Ajarin aku lagu Batak, Bang!"
Aku tersenyum melihat mata Gomos bersinar senang. Carrie ini polos atau pura-pura nggak tahu perasaan Gomos, ya? Dia memanggil Gomos 'abang' karena dia paling muda di antara kami berlima. Gomos senang banget. Aku rasa hatinya berbunga-bunga tiap kali Carrie memanggilnya. Tapi kapan ya dia berani 'nembak'?
Aku bersandar sambil menikmati suara Gomos, sementara Carrie mencoba mengikuti sambil membaca lirik di ponsel. Lucu banget ngelihatnya. Nggak semua kata dalam bahasa Batak bisa dibaca sesuai tulisannya. Gomos mengernyit sambil menyanyi setiap kali Carrie salah ucap, tapi mereka tetap menyanyi sampai akhir.
Lagu pilihan Gomos termasuk mudah dinyanyikan – O Tano Batak. Temponya lambat dan kata-katanya nggak banyak. Tiba-tiba aku jadi ingat rumah dan keluargaku yang sangat menghayati dan menjalani nilai-nilai adat suku kami. Ingat Bapak yang tiga bulan lalu mengulang lagi nasihat-nasihat lama soal kriteria calon mantu. Ingat tatapan Mama yang lebih sering terarah padaku daripada Rahel. Dia pasti cemas aku bakalan protes, karena sejak SMP aku mulai mempertanyakan alasan harus dengan orang satu suku. Dan jawaban Bapak belum pernah memuaskanku.
Waktu Liz dan Joe kembali dengan lima bungkus nasi Padang, keduanya mengabaikan Gomos menyanyi sambil memandang wajah Carrie yang serius membaca lirik di ponsel. Liz mengempas bokongnya di sisiku, sedangkan Joe mendekati Gomos dan Carrie. Dengan sabar Joe memegangi ketiga nasi bungkus sambil menunggu lagu selesai.
"Gue udah minta Joe stand-by jam enam pagi besok," kata Liz sambil membuka bungkus nasi. Aroma rendang yang wangi langsung membuat Gomos meletakkan gitarnya dan mengambil dua nasi bungkus dari tangan Joe dan memberikan satu pada Carrie. Aku senyum-senyum. So sweet banget sih, Batak satu itu.
Eh, apa? Aku dijemput jam enam pagi? Biasanya juga aku pergi jam tujuh!
"Astaga! Masih subuh itu, Liz!" protesku. "Kasian, dia harus bangun jam berapa nanti?"
"Tenang aja." Liz nyengir sambil memotong rendang dengan sendok. "Gue dah suruh dia nginep di kamar Gomos."
Aku melongo. Pandanganku beralih pada Joe yang sedang asyik makan bersama Gomos dan Carrie. Entah apa yang diceritakan Gomos, yang jelas dua orang di dekatnya mendengarkan dengan serius.
Lalu tiba-tiba saja Joe menoleh. Pandangan kami berserobok cuma sepersekian detik saja, tapi aku langsung menunduk lagi. Pipiku terasa hangat.
Apa itu tadi di matanya? Perhatian? Sayang? Atau ... cinta? Masa sih dia jatuh cinta padaku? Sama teman yang sudah tiga tahun hangout sama dia?
Aku tersentak waktu Liz menepuk bungkusan di pangkuanku.
"Makan. Keburu dingin entar nggak enak."
Mungkin karena merasa nggak enak hati Joe dipaksa menginap oleh Liz, atau mungkin juga karena semalaman mengingat-ingat ketika dia memeluk pinggangku di depan pintu kamar ini, aku bangun lebih cepat dan sudah siap berangkat jam setengah enam. Hari ini terpaksa pakai flat shoes supaya jangan terkilir lagi. Mata kakiku sudah nggak sakit, berkat salep dari Liz yang aku oleskan berkali-kali.
Jam enam tepat, ponselku bergetar. Pesan masuk dari Joe.
[Pagi. Mau jalan sekarang?]
Aku tersenyum. Baguslah dia tanya.
[Sebenarnya terlalu cepat sih, Joe. Dan aku udah baikan, nggak apa-apa kok pergi sendiri]
[Jangan. Aku anterin aja. Hari ini kantorku libur kok. Outing karyawan tiga hari. Aku nggak ikut.]
Aku jadi ingat cerita Rian tentang outing karyawan sebelum magangku selesai nanti. Sepertinya waktu itu dia mengajakku ikut.
[Terus kamu ngapain dong tiga hari ini?]
Ada jeda sebelum Joe mengirim balasan yang diakhiri dengan emotikon tawa.
[Ngobrol di sini aja, gimana?]
Iya juga ya. Aneh. Sejak peristiwa-peristiwa yang mendekatkan kami secara fisik kemarin, dia jadi berbeda di pandanganku. Bukan sekedar salah satu dari Lima Sekampus, tapi cowok kalem dengan senyum menawan dan tatapan yang bisa membuatku jengah.
Kulewati kamar Liz yang cuma beda dua pintu dengan kamarku. Sambil berseru pelan, aku pamit duluan. Nggak ada suara dari dalam, jadi aku langsung menuju teras.
Joe mengulum senyum waktu aku datang. Dia sudah rapi banget seperti mau pergi kerja juga, bukan sekedar mengantarku. Padahal katanya kan nggak akan ke kantor. Rambutnya yang lurus disisir ke samping, ada sebagian yang menutupi keningnya. Jaket biru tua menutupi kaus berkerah warna coklat, dipadu dengan jins biru muda dan sepatu keds yang seharusnya warna putih tapi sekarang sudah kusam.
Aku menarik napas dalam-dalam. Cobaan apa yang sedang kuhadapi ini ya Gusti. Gimana aku nggak makin naksir cowok di depanku ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
STMJ [TELAH TERBIT BY GRAMEDIA]
Teen FictionLeia dan keempat temannya, Gomos, Joe, Liz, dan Carrie, sepakat untuk serius mencari pacar dan menyudahi segala hubungan yang tidak punya kans untuk dilanjutkan. Menurut insting Lei, dia akan berkesempatan untuk dapat cowok satu suku, yaitu Batak, s...