Suasana pagi yang seharusnya ceria ditemani kicauan burung yang merdu, matahari yang membentang hangat, dan sejuknya udara, hari ini terasa sangat suram bagi Lisa Pramesti Pranata. Ayah tercintanya meninggal tadi malam akibat serangan jantung.
"Cepatlah Lisa, jasad ayahmu harus segara di kremasi." Ny. Yoona, ibu tiri Lisa menarik paksa Lisa yang masih ingin memeluk ayahnya. Lisa masih tak rela merubah jasad ayahnya menjadi abu.
"Ayah..." Lisa sampai pingsan karena tak tahan melihat peti sang ayah yang sudah dimasukkan ke tempat pembakaran.
Tak lama Lisa sudah kembali sadar. Tepat setelah abu itu dipindahkan ke dalam guci dan siap untuk ditaburkan ke laut. "Ayah..."
"Lisa, kita harus segera menaburkan abu ayahmu. Perahunya sudah sampai di dermaga," kata Ny. Yoona sambil menyerahkan guci berwarna putih dengan nama Tn. Pranta Alexandre.
"Baiklah..." lirih Lisa masih berusaha mengatur nafasnya, menahan ingus di hidungnya yang sudah sangat merah. Matanya yang sekarang sudah sangat lebam, tidak menjadi alasan untuknya berhenti menangis. Setelah sadar dari pingsannya, dia masih saja menangis sangat terpukul dengan kepergian ayahnya.
Keluarga tiri Lisa juga dirinya kini langsung bergegas ke dermaga. Mereka naik perahu selama 10 menit untuk mencapai tengah laut.
Lisa mulai berjalan ke ujung perahu agar lebih mudah untuk menaburkan abu ayahnya itu. Ketika Lisa sampai ke ujung, dia merasa tidak ada orang yang mengikutinya. Dia kemudian berbalik dan benar saja, semua keluarga tirinya berteduh di tengah perahu dan tak mau ikut menabur abu Tn. Pranata. "Ayo, kemari!"
"Kau saja yang menabur itu. Sangat panas di sana," ketus Jennie, kakak tiri Lisa sambil mengipas-ngipaskan tangannya membentuk angin untuk menghilangkan rasa panas yang dirasakannya. Pemandangan serupa juga terlihat pada Jeno dan Ny. Yara. Mereka lebih sayang dengan kulit mereka dan tak membiarkannya terbakar sinar matahari daripada melakukan hal terakhir yang sangat berarti untuk sang ayah.
"Dasar sialan," gumam Lisa kesal. Walaupun dia memang sudah lama tahu, keluarga tirinya itu hanya menginginkan harta dia tetap sangat kesal dengan ini. Tidak bisakah mereka berpura-pura baik untuk terakhir kalinya dengan melakukan ini?
Lisa mendudukkan tubuhnya ke pagar pembatas perahu dan mulai mengambil segenggam abu itu. Dia membuka tangannya membiarkan angin menerpa, menjatuhkan abunya ke laut. Setiap genggam yang dia ambil, terus menciptakan pukulan keras di dadanya hingga sesak menguasai tubuhnya. Sungguh dia masih belum bisa merelakan kepergian ayahnya. Dia sangat berharap semua ini hanya mimpi...
"Lisa, bangun!"
"Tambahkan lagi minyak angin di hidungnya!"
"Tukang tidur ini menyusahkah sekali!"
Samar-samar Lisa mendengar suara teriakan dari orang di sekitarnya. Suara yang sangat dia kenali. Ketika matanya sudah terbuka sepenuhnya, benar saja suara itu berasal dari mulut sampah keluarga tirinya. Ternyata dia sudah berada di ruang tamu di rumahnya.
"Akhirnya bangun juga!" teriak Jennie dengan nada ketusnya.
"Sabar, anak-anakku," sahut Ny. Yoona.
Lisa kemudian mendudukkan tubuhnya. "Ada apa ini?" herannya ketika melihat ada orang selain keluarganya di sana.
"Notaris, cepat bacakan wasiat ayah. Lisa sudah sadar, kan?" paksa Jennie.
"Kita baru saja pulang dari pemakaman ayah. Bisa-bisanya kalian langsung membahas ini," kesal Lisa tak percaya. "Dari tadi aku tak melihat raut sedih di wajah kalian semua. Bahkan yang menaburkan abunya hanya aku. Lalu sekarang kalian langsung membahas warisan? Kalian sudah gila?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sleeping Queen (SUGA X LISA)
FanfictionSeorang gadis cantik pengidap Narkolepsi bernama Lisa dipaksa segera menikah agar keluarga tirinya bisa mendapatkan bagian dari perusahaan mobil sport. Dia juga harus menjalani karantina dulu bersama 'Agen Pernikahan Idaman' sebelum hari pernikahann...