Suasana SMA Bimasakti 1 di pagi hari sama seperti sekolah lain. Koridor kelas masih sepi. Parkiran motor dan mobil pun belum terisi hingga seperempatnya, mungkin hanya ada beberapa motor dan mobil milik guru-guru dan beberapa siswa-siswi yang terbilang sangat rajin. Beberapa kelas juga masih gelap karena lampu kelasnya belum menyala kecuali kelas 12 IPA 2 yang sejak jam 5 pagi sudah ramai karena berebut tugas Bahasa Inggris milik Ratna dikarenakan Ardyan dan Biya-sumber contekan selain Ratna belum hadir di sekolah.
Seperti anak-anak 12 IPA 2 yang lain, Jendra yang sebenarnya tidak ada niat untuk sekolah itu juga datang lebih awal dibandingkan siswa-siswi kelas lain. Kini ia sedang berada di ruang loker untuk mengambil buku mata pelajaran hari ini dan memasukkannya ke dalam tas yang hanya berisi pulpen 1 buah, botol minum kosong, selembar kertas yang sudah lusuh dan penuh corat-coret, kertas ulangan fisika yang bertulis angka 2 dengan spidol merah.
Saat laki-laki dengan hoodie hitam bertuliskan merek ternama di bagian depan hoodie itu hendak mengambil buku dari dalam loker ia malah terfokus pada selembar amplop coklat kecil yang berada di paling atas tumpukan bukunya.
Ia memeriksa surat tersebut untuk melihat siapa yang menaruh surat tersebut di dalam lokernya namun nihil, tidak ada nama di surat tersebut. Ia kembali membuka surat tersebut untuk memastikan apakah surat tersebut benar untuknya atau salah alamat.
To Jendra,
Hai!
Gue gak tau lo baca ini pagi/siang/sore/malem yang pasti gue nulis ini pas lagi jam pelajaran bu Sumiyati. Gak usah ketawa! Emang aneh lagi pelajaran guru killer malah bikin surat-suratan kayak gini. Apalagi ini buat lo.
Sebelomnya gue mau minta maaf karena mungkin lo juga kaget ada surat kecil ini di loker lo. Sebenernya gue pengagum rahasia lo dari kelas 10, lebih tepatnya sejak MOS. Gue gak bisa nunjukin kayak yang orang-orang lakuin dan cuma bisa ngirim surat tanpa nama kayak gini. Kedengerannya alay emang tapi gue suka semua hal dari lo. Dari cara lo ngomong, jalan, teriak-teriak, cerita, tidur dll lah pokoknya tapi lo gak pernah sadar kehadiran gue, Jen. Gue suka sama lo. Bener-bener suka. Beberapa kali gue pernah deket dan hampir pacaran tapi gak pernah bisa karena masih ada lo, Jen. Always lo. Jadi gue minta tolong buat jaga perasaan lo buat gue ya, Jen. Gue gak tau sekarang lo lagi suka sama orang atau engga, cuma kalo iya berarti waktu gue buat confess secara langsung tuh belom pas. Masih ada waktu beberapa bulan lagi sebelom lo lulus jadi doain ya. Gue juga gatau reaksi lo pas baca ini, apa lo seneng, sedih, aneh, marah tapi yang pasti surat ini udah lo baca sampe abis. Pokoknya dari gue semangat ya jangan lupain ibadah, makan, minum, tidur, istirahat, sama belajar walaupun gue tau lo gak suka belajar wkwk.
- anonym
Begitu membaca isi suratnya Jendra langsung menebak-nebak siapa pengirim suratnya. Bahkan ia sampai berpikir seandainya yang mengirim surat itu adalah Biya-sang pujaan hatinya.
"Kalo Biya yang ngasih gue pasti bahagia lahir batin sih."
Jendra langsung pergi ke kelasnya dengan hati riang gembira sembari berlompat-lompat sepanjang jalan menuju kelasnya.
"Bahagia banget lo, bujang." ledek Angkasa.
"Hoho jelas dong. Laki-laki paling tampan se12 IPA 2 masa murung sih." Laki-laki itu dengan bangga menyisir rambutnya dengan tangan kanan ala-ala cowok korea yang sedang tebar pesona.
Karena geli dengan kelakuan teman sekelasnya, Angkasa pergi begitu saja meninggalkan Jendra yang masih senyum-senyum di ambang pintu.
"Woy awas ngalangin jalan aja lo," usir Alfa yang baru saja sampai.
"Weh sabar dong. Gak liat orang ganteng lagi nunggu bebeb? Ahay."
"Stres ya lo kayaknya." Alfa langsung berjalan cepat ke tempat duduknya. "Itu jamet makin hari makin gak beres ya."
---
Toko buku di hari biasa tidak seramai di akhir pekan. Di hari biasa banyak anak sekolahan yang menggunakan seragam sekolah dan mencari buku-buku referensi atau novel remaja. Tak sedikit juga yang menjadi budak cinta dan membuat konten dance Tiktok agar fyp.
Sama halnya dengan Sabiya Ghea. Ia kini berada di salah satu toko buku ternama di Jakarta untuk mencari berbagai buku soal-soal untuk mempersiapkan UTBK. Ia tidak mau berharap banyak di SNMPTN jadi ia mempersiapkan diri untuk SBMPTN.
Gadis yang sedang mengenakan crewneck berwarna biru muda dan celana jeans berwarna abu-abu serta menggendong tas kecil berwarna hitam itu kini sedang berada di lorong kamus-kamu bahasa. Disana banyak sekali kamus dari berbagai bahasa. Ketika gadis itu hendak mengambil salah satu kamus bahasa Inggris di rak, satu tangan laki-laki juga mengambil buku yang sudah Biya sentuh.
"Eh?"
"Eh?"
"Maaf mas."
"Maaf mbak."
"Ardyan?"
"Biya?"
Keduanya saling menatap dan hening seketika. Tak lama tawa mereka pecah. Kalau saja mereka tidak menyadari kalau sedang berada di tempat umum, pastinya mereka sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi satu sama lain.
"Lo ngapain disini? Gak les?" tanya Ardyan basa-basi.
"Lo kira idup gue 24/7 buat les doang? Gue juga butuh refreshing kali."
"Terus kenapa lo disini? Katanya mau refreshing."
"Ya ini gue lagi refreshing."
Laki-laki jangkung dengan hoodie hitam polos berkerah putih serta celana bahan berwakna coklat tua itu terdiam dan menunggu Biya melanjutkan ucapannya.
"Maksud gue ya refreshing gue disini. Di surganya buku."
Ardyan masih terdiam.
"Ck. Serah lah." Biya pergi begitu saja meninggalkan Ardyan yang sedang diam memperhatikan Biya dengan posisi kedua tangan yang ia masukkan ke kantung celananya.
Gadis dengan kuncir kuda khasnya berjalan mengelilingi toko buku dan berhenti di salah satu lorong berisikan novel-novel remaja kekinian. Ia mengambil salah satu buku karya Pidi Baiq dengan judul "Dilan."
"Oh selera lo yang suka gombal ya? Yang peringkat 5 paralel suka gak?"
Biya terheran-heran dengan pertanyaan tidak masuk akal yang keluar dari mulut si biang kerok ini.
"Kalo gak suka gak apa-apa sih. Nanti gue berubah jadi berandalan lagi aja. Tapi kan gue berandalan tetep pinter ya? Iya kan, Ghea?"
Mendengar nama yang jarang orang panggil untuk memanggil namanya itu, muka Biya seketika itu langsung merah seperti kepiting rebus.
"Muka lo merah tuh."
"Berisik."
"Emang kenapa sih kalo gue panggil Ghea? Bagus loh namanya daripada Biya, kalo orang manggil terus disingkat jadinya kan 'Bi' emang lo babi?"
"Heh!"
Ardyan tertawa puas melihat gadis yang lebih pendek 12 cm darinya di depannya ini. Gadis itu sudah sangat salting. Mukanya sangat merah ditambah lagi kulit aslinya yang sangat putih membuat wajahnya sangat kontras.
Karena laki-laki itu terus menerus meledeknya, ia memiliki suatu ide. "Ih Iyan jangan gitu dong."
Betul saja laki-laki itu langsung berhenti tertawa.
"Nah anjing pintar," ucap Biya sembari mengelus kepala Ardyan walaupun harus sambil berjinjit agar bisa menyentuh ujung kepalanya.
Ardyan yang sedari tadi tertawa meledek Biya kini sedang menahan tangan gadis itu agar tidak menyentuh kepalanya lagi.
"Pamali, sayang."
a/n
lampu ijo kayaknya nih buat #TimArdyan di chapter ini
author sampe baper pas scene terakhir huhu *aku butuh cowok kayak ardyan segera T_T*
kira-kira ada yang bisa nebak gak nih siapa yang ngirim surat buat Jendra?
jangan lupa dukung cerita AMBIS ya dengan vote + comment sekaligus share ke temen-temen kamu yang lain siapa tau author jadi dapet hidayah trs double up wkwk
see u in next chapter ambislova-!
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIS
Teen FictionBiya tidak pernah berhasil pada masalah percintaan. Semua mantan-mantannya hanya memanfaatkan kekayaan keluarganya. Karena selalu dimanfaatkan oleh mantan-mantannya itu, gadis itu memutuskan untuk fokus pada masa depannya yaitu menjadi penulis sekal...