"Mau kerkom dimana?" Setelah sekian lama akhirnya Ardyan yang memulai pembicaraan dengan Biya. Ia tidak tau apa yang kini ia rasakan. Seperti senang tetapi lebih dari itu.
"Mau di rumah atau di café gitu?" tawar Biya dengan antusias.
"Rumah lo aja. Gak usah kirim-kirim shareloc. Gue ke tempat les lo aja jam 8 nanti jadi biar sekalian." Tanpa basa-basi laki-laki dengan style rambut belah tengah ala artis korea itu langsung to the point.
"Mau malem ini?! Serius?! Aduh." Terlihat dengan jelas ekspresi panik dari seorang Sabiya Ghea. Bukannya menarik kata-katanya kembali, Ardyan malah bersikap seakan-akan memaksa. "Gue pengen nyelesain semua urusan sama lo hari ini. Gue gak mau besok-besok harus ngomong sama lo kayak gini."
Mendengar kata 'nyelesaikan semua urusan' seperti mendengar kata 'gue mau bener-beneran udahin hubungan apapun dari lo termasuk temen' bagi Biya. Memang seperti itu niat Ardyan. Sampai saat ini ia tidak tau mengapa laki-laki itu bersikap seakan-akan sangat benci kepadanya.
---
Kini mereka berdua berada di sebuah rumah yang menyerupai istana. Rumah tamu yang luasnya sudah seperti lapangan bola, perabot-perabot dan cat dinding yang berwarna putih bersih yang terlihat sangat elegan, asisten rumah tangga yang sibuk mondar-mandir untuk menyiapkan makanan dan minuman untuk tamu spesial malam ini, dan gadis seumuran Biya yang entah datang darimana yang duduk di atas sofa sambil memainkan game online yang berada di ponsel mahal miliknya.
"Ini rumah apa istana? Gede bener," batin laki-laki yang baru saja memasuki rumah Biya tersebut.
Beberapa asisten rumah tangga sudah siap untuk melayani Biya dan temannya tapi gadis itu menggeleng karena tidak butuh apa-apa sekarang kecuali minuman dan sedikit cemilan untuk temannya.
"Gue ke kamar dulu mau ambil laptop sama novelnya. Lo tunggu di sini ya. Ini ada kembaran gue namanya Bila, lo boleh ngobrol-ngobrol sebentar." Gadis itu berjalan cepat menuju tangga utama dan masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan tidak karuan. Kini yang ada di ruang tamu hanya tersisa kembaran dan teman sekelas Biya.
"Ardyan Yasa." Kembaran Biya yang sedang mengenakan hoodie abu-abu oversize itu membaca name tag yang ada di atas kantung seragam laki-laki di hadapannya. "Lo pasti anak pinter."
"Tau darimana?"
"Tuh kan bener. Biya sekarang berubah banget jadi kayak anak pinter. Ya kali pacaranya gak pinter juga."
"Gue bukan pacarnya.
"Serius? Bagus deh?"
"Kok bagus?"
"Soalnya Biya terlalu perfect buat lo. Tapi sih dari mata lo gue bisa tebak lo pasti suka sama Biya kan? Iya kan? Boong dosa loh, Yasa."
Laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolah pun merinding mendengar pernyataan gadis tomboy yang ada di dekatnya. "Nama gue Ardyan bukan Yasa. Lagian juga darimana lo tau gue suka sama Biya. Lo cenayang?"
Bila berdecak mendengar ucapan Ardyan. "Ck, ternyata beneran suka. Padahal niat gue bercanda doang. Gak asik lo, wibu."
Ketika hendak membalas ledekan Bila, gadis dengan pakaian santai baru saja turun dari tangga sembari membawa macbook dan beberapa buku tebal. Walaupun terlihat seperti membenci BIya, laki-laki yang sering dipanggil dengan sebutan "Iyan" oleh Biyapun spontan mengambil alih beberapa bawaan yang dibawa oleh gadis itu.
Kembaran Biya pun tersenyum melihat sikap spontan Ardyan. Gadis itu memang tidak banyak tau mengenai Bila tetapi jika instingnya benar Biya itu sebenarnya menyukai laki-laki itu tetapi perasaannya itu ia kubur dalam-dalam karena traumanya. Traumanya itu juga yang membuat dia menjadi stress belakangan ini. Aktivitas les dan beberapa kelas tambahan yang ia ambil membuatnya kurang memiliki jam tidur.
Sejujurnya Bila memang kasihan dengan kembarannya, tetapi karena Biya sekarang menjadi gadis yang mandiri jadinya gadis itu sangat tidak suka untuk dikasihani. Kadang perhatian-perhatian kecil sering Bila berikan untuk Biya tanpa gadis itu ketahui.
Tetapi dengan kehadiran seorang Ardyan Yasa mungkin hari-hari seorang Sabiya Ghea akan lebih berwarna dan trauma mengenai laki-laki yang ia miliki menjadi memudar seiring berjalannya waktu.
"Lo gak mau masuk kamar aja? Gue risih di liatin."
"Lo ngusir gue? Perasaan gue duluan yang di sini. Lagian ngapain gue liatin lo berdua bucin? Udah anti sama bucin-bucinan gue mah."
Memang niat Biya adalah mengusir kembarannya karena ia menjadi tidak leluasa untuk berbicara dengan Ardyan. Ada beberapa pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Jika kembarannya ada di sana dan mendengar pembicaraan mereka, pastinya gadis tomboy itu akan meledeknya habis-habisan setelah sang tamu kembali ke rumahnya.
"Udah sono bucin aja gue gak liat. Gue di sini gara-gara wifi udah dipindahin papa ke sini makanya di sini lebih kenceng. Gak usah geer." Gadis tersebut kembali fokus kepada game yang sedang dimainkan sedaritadi.
Setelah selesai memahami tugasnya, mereka berduapun membagi tugas. Ardyan membaca buku dengan kecepatan kilat, dan Biya mengetik serta memperbaiki setiap EYD yang berlaku. Laki-laki dengan gaya rambut belah tengah itu memang memiliki bakat dalam membaca buku dengan cepat, sedangkan gadis dengan baju rumah berwarna biru itu mahir dibidang bahasa sejak SD maka dari itu ia mendapat tugas mengetik dan merevisi.
Melihat Ardyan yang fokus dengan salah satu buku novel miliknya, gadis itu terkagum-kagum. Ditambah visual laki-laki tersebut yang tidak main-main membuat gadis itu kehilangan fokus untuk beberapa saat.
Ketika sadar ia langsung menggelengkan kepala cepat agar segera sadar. Ia tidak boleh goyah dari prinsip yang sudah ia bangun sejak beberapa bulan lalu.
"Yan."
"Hm?"
"Besok kan sabtu, lo ada rencana gitu gak?"
"Rencana apa?"
"Ya rencana apa gitu."
Laki-laki yang tadinya sibuk membaca sebuah novel dengan tebal kurang lebih 500 halaman itu menurunkan sedikit bukunya agar tidak terlalu menghalangi pandangannya. Ia menatap mata gadis yang ada di hadapannya.
"Kenapa?"
"Ke toko buku yuk. Kayak waktu itu kita ke toko buku sambil muter-muter mall, Yan. Gue kangen deh pas jaman-jamannya itu."
Laki-laki itu menaikan lagi buku yang ia pegang agar menutup pandangannya kembali. "Gue sibuk."
"Sibuk apa?"
"Ya gue sibuk. Mau sibuk apaan kan bukan urusan lo."
"Yan..."
"Diem! Gue lagi fokus biar cepet-cepet pulang."
Gadis itu mencoba membujuk Ardyan beberapa kali. Ia mencari cara dan kalimat yang pas agar laki-laki itu tidak kesal ataupun risih. Tetapi mau bagaimanapun Biya berhati-hati, laki-laki itu sudah muak. Ia mengambil kertas kosong yang ada di meja dan mencoret-coret kertas tersebut dengan tulisan tangan khas Ardyan Yasa.
Di kertas tersebut tertulis jawaban dari tugas kelompoknya. Ia menyodorkannya ke Biya agar gadis itu ketik. Setelah memberikan kertas tersebut, laki-laki itu segera memakai jaket miliknya dan pergi begitu saja setelah pamitan dengan tidak niat.
"Gue balik. Udah malem."
Ketika hendak membuka pintu, Biya berlari untuk menyusul dan mengantarkan Ardyan setidaknya sampai gerbang. "Dan lo..."
"Gue gak mau liat muka lo lagi. Kalo pun harus, gue harap lo bersikap seakan-akan gak kenal gue karena nanti gue punya kejutan spesial buat penganggu kayak lo."
Laki-laki itu tersenyum smirk dan berlalu begitu saja.
a/n
gak perlu dikasih kejutan juga aku udah terkejut Yan
biar gak penasaran sama kelanjutannya wajib banget kalian vote + comment biar author makin semangat wkwk
see u in next chapter-!
KAMU SEDANG MEMBACA
AMBIS
Teen FictionBiya tidak pernah berhasil pada masalah percintaan. Semua mantan-mantannya hanya memanfaatkan kekayaan keluarganya. Karena selalu dimanfaatkan oleh mantan-mantannya itu, gadis itu memutuskan untuk fokus pada masa depannya yaitu menjadi penulis sekal...