12. Tersangka

7 3 4
                                    

Hari Jumat yang biasanya menjadi hari favorit siswa-siswi SMA Bimasakti 1 malah terasa seperti hari yang membosankan bagi Sabiya Ghea. Ia sudah hampir bolos tetapi kembarannya-Bila malah membangunkannya dan memaksanya untuk sekolah. Seperti hari-hari sebelumnya, ia tidak mendapat sapaan dari teman sebangkunya-Xyla. Walaupun sudah beberapa kali dijelaskanpun tetap saja gadis yang berada di sebelahnya itu selalu diam dan tidak peduli.

Di jam pelajaran Pak Erlangga atau pelajaran Bahasa Indonesia seluruh murid dibagikan berpasang-pasangan untuk mengerjakan tugas yang diberikan. Masing-masing kelompok diminta untuk memberikan review mengenai suatu novel.

"Baik anak-anak, untuk pembagiannya sudah bapak tentukan jadi tidak boleh ada yang protes." Pak Erlangga mulai menyebutkan satu persatu kelompoknya.

"Xyla sama Aya, Alfa sama Radit, Jendra sama Angkasa, Lidya sama Ratna, Gibran sama Aldan."

Beberapa siswa yang sudah mendapatkan teman sekelompoknya saling bertukar tatapan satu sama lain.

"Dan Biya sama Ardyan." Kedua nama terakhir yang di sebut pak Erlangga tersentak kaget. Mereka tidak saling bertukar tatapan melainkan saling mendumel dalam hati. Bagi Biya ada rasa sedang sedikit senang karena hal tersebut bisa menjadi kesempatan emas untuk bisa berinteraksi dengan laki-laki yang kini menjadi sangat cuek kepadanya.

"Cih! Kenapa lo malah sama Ardyan sih?!" ujar Ayana tidak terima. Gadis itu menatap Biya dengan tatapan yang sangat sinis.

"Jen, lo mau sekelompok sama Biya gak? Jadi gue sama Ardyan aja gitu, tukeran," tawar Angkasa. Laki-laki yang sering dibilang "intel" oleh anak-anak kelasan itu memang tau kalau Jendra sudah suka dengan Biya sejak lama dan saingan terberatnya adalah Ardyan.

"Hah? Maksud lo gimana? Lo gak mau sekelompok sama gue?"

"Bukan gitu maksud gue. Kalo lo mau sekelompok sama gebetan mah gak apa-apa kali. Lagian kita kan sama-sama ranking terakhir ya, masa pak Erlangga tega sih."

Karena pendengaran guru Bahasa Indonesia itu cukup tajam, ia sekilas mendengar pembicaraan Jendra dan Angkasa. "Untuk nama pasangannya sudah saya catat jadi dilarang bertukar-tukar karena tidak akan saya terima. Bagi yang kekeh ingin bertukar kelompok maka nilai akhir di rapot akan saya kasih pas KKM."

Mendengar ucapan pak Erlangga, Angkasa menggeleng sambil bertukar tatapan mengode kepada Jendra.

Tidak lama bel pergantian jam berbunyi, sebelum keluar kelas pak Erlangga memanggil Radit selaku ketua kelas. Seperti ada hal penting yang ia sampaikan. Selang beberapa saat, guru Bahasa Indonesia yang baru berumur 25 tahun itu meninggalkan kelas dan Radit mulai memanggil beberapa nama untuk ikut dengannya.

"Biya, Ratna, Aya, Alfa, Gibran, Aldan ikut gue sekarang." Setelah menyebut beberapa nama, si ketua kelas itu keluar kelas diikuti oleh nama-nama tersebut.

"Ini pak anak-anaknya." Kini mereka sudah sampai di ruangan pak Erlangga. Walaupun masih terbilang sangat muda untuk usia guru di SMA Bimasakti 1, guru Bahasa Indonesia yang sering menjadi bahan gosip anak perempuan ini sudah memiliki ruangan pribadi.

Mereka dikumpulkan di sini untuk membahas masalah dompet Ratna. Sudah sekitar 2 bulan lebih sejak kejadian, tidak ada sanksi tegas untuk pelaku. Bahkan sampai sekarang pelaku belum menampakkan dirinya.

"Jadi gimana Radit?"

"Menurut saksi banyak yang berasumsi kalau Biya pelakunya pak soalnya cuma Biya yang ada di kelas pas jam istirahat. Tapi kata Biya gak cuma dia yang di kelas pas itu karena Aya juga ke kelas buat ngomong sama Biya."

"Jadi menurut kamu ada 2 orang tersangka di sini?"

Laki-laki dengan name tag bertuliskan Anggaraditya D. di atas kantung baju dengan logo OSISnya mengangguk dengan sangat mantap. Ia sangat yakin pelakunya ada di antara dua orang ini.

AMBISTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang