Setelah semua yang telah terjadi waktu itu, tak ada lagi yang berani mengusik keluarga kekaisaran terutama mengusik sang Crown prince. Mendengar kabar yang tersebar membuat semua orang menutup mulut mereka rapat-rapat tat kala mendengar bahwa Count dan Baroness lenyap tanpa sisa setitik pun.
Tahun-tahun tanpa kecaman dan cacian berhasil dilewati Cava sebagai penerus kekaisaran yang agung, sudah lewat lebih dari 4 tahun setelah kejadian tersebut Cava tumbuh sebagai pangeran yang tampan, dan sangat lucu dipandang.
Pipi gembungnya yang kemerahan disertai kulit pucat pasinya, membuat Xavier merasa gemas ketika melihatnya berlarian diaula istana. "Prince, jangan lari-lari." Ia memperingati Cava yang tengah asyik berlarian sambil tertawa lebar.
Hati Xavier terasa hangat melihat putranya tumbuh dengan lingkungan yang baik, walaupun tanpa seorang pelayan yang mengasuh ia tetap tumbuh layaknya seorang pangeran diistana besar.
Tak ada seorang pelayan pun yang ingin dan mau melayani sang putra, sekalipun para pelayan itu diancam, mereka tak sama sekali gentar untuk menolak. Tentu saja rumor sedari Cava lahir itu tak sama sekali menghilang dari masyarakat.
Mungkin tahun-tahun lalu adalah tahun tersulit Hera, ia harus menjaga dan membesarkan Cava sendirian tanpa bantuan pengasuh ataupun Xavier. Xavier yang pergi berperang seperti janjinya saat sang putra masih berada dikandungan pun telah dilaksanakan, ia pergi meninggalkan Hera dan Cava berdua didalam istana.
Hal-hal tersebut membuat Xavier merasa bersalah terhadap Cava karena tak bisa terus berada disisinya dan melihatnya tumbuh berkembang.
Mengingat setiap kejadian itu membuat Xavier merasa kesal dan marah pada dirinya sendiri, seharusnya hari ini ia sibuk bermain dengan Cava namun setelah mengingat-ingat banyak kejadian lalu ia merasa ia tak pantas sebagai seorang ayah untuk Cava.
"Ayah? Ayah mau kemana?" Tubuh mungil yang terbalut kemeja putih dan rompi cokelat ditubuhnya terlihat sangat cocok dipakai. Ia sedikit kebingungan melihat sang ayah beranjak dari duduknya.
Xavier memamerkan senyuman indahnya, dan mendekat pada tubuh mungil putranya. Ia mengangkat dan mendekapnya kedalam gendongan tat kala melihat sang anak sulit untuk menatap dirinya yang terlampau tinggi darinya.
Dengan lembut Xavier mengusap rambut halus milik putranya dan mengecupnya dipipi gembung kemerahan itu, "kedalam, Cava tetap disini saja ya?"
Kepala Cava bergerak miring dan alisnya terangkat satu, "kenapa?"
Xavier terkekeh melihat kegemasan putranya dan mencubit kecil pipi Cava seraya mengusak hidungnya pada hidung milik Cava, "Bukannya Prince masih ingin bermain?"
Cava mengangguk.
"Kalau begitu, tetap disini dan bermain sesuka mu, ketika sudah mulai larut masuklah kedalam dan kembali kekamar, ayah akan panggilkan seseorang untuk mengawasimu."
"Cava tidak boleh masuk sebelum larut?" Cava bertanya dengan nada lucu.
Xavier menurunkan Cava dari gendongannya dan merapihkan rambut-rambutnya yang berantakan. "Tentu boleh, lakukan apa yang kamu inginkan."
Mata Cava berbinar, senyumannya merekah sangat indah membentuk lengkungan yang membuat garia dimatanya. "Terima kasih ayah!"
Cava melanjutkan aktivitasnya dan berlarian dihalaman luas, berumput hijau segar dengan angin kencang yang membuat rambutnya terkibas kemana-mana. Sesekali Cava memekik girang saat sebuah kupu-kupu menghampirinya dan menempel dibagian tubuhnya.
Xavier yang pergi tak lupa meminta seseorang untuk menemani Cava, tak perlu dari jarak dekat, hanya perlu memperhatikan setiap langkahnya dan memastikan Cava baik-baik saja saat berada diluar ruangan, dia lah Imelda seorang pelayan tingkat 3 yang dikhususkan untuk Hera, dan hanya dialah yang bersedia mengawasi Cava meski dari dari jarak jauh.
"Perhatikan dia, jangan sampai sesuatu terjadi padanya." Pinta Xavier.
Dengan segala kehormatan Imelda menunduk dan menerima perintah sang kaisar, ia bergegas menghampiri sang pangeran dan mengawasinya dalam jarak 10 meter.
Jarak yang cukup jauh membuat Imelda sedikit kesulitan untuk mengawasi Cava, sejujurnya ia sedikit takut untuk berada dekat dengan Cava. Namun ini adalah tuntutan sebagai seorang pelayan terlagi Hera sudah banyak membantunya.
Cava mengikuti gerakan kupu-kupu, ia berlarian keseluruh penjuru halaman luas. Hingga ia melewati batas antar tanah negara tanpa disadari. Cava masih terus memekik kegirangan melihat beberapa kupu-kupu yang mulai menghampirinya, sesekali ia melompat untuk menagkap namun tak sampai.
Karena Cava adalah anak yang hiperaktif, Imelda tak kuasa mengikuti gerakan dan langkah kaki Cava. Padahal Cava sudah bermain lebih dari 3 jam lamanya, namun ia tak sama sekali merasa lelah dan terus bermain kesana kemari.
"Yang mulia, tolong jangan berlari terlalu jauh saya tidak bisa mengikuti gerakan anda." Imelda berteriak ketika melihat Cava yang sedang berdiri diambang perbatasan.
Cava tak mengidahkan ucapan Imelda, ia masih sibuk bermain hingga ia terhenti karena menubruk sesuatu dibelakang punggungnya.
"Aw!" Gadis kecil cantik itu merintih saat dirinya terduduk diatas tanah, gaun biru mudanya kotor karena menyentuh tanah.
Badan mungil Cava berbalik dan menatap gadis kecil itu terkejut karena sosoknya, walaupun sempat terkesima Cava mengingat ucapan sang ibu yang mengatakan ia harus bertanggung jawab dalam setiap perbuatan jadilah ia mengulurkan tangan kanannya dan memamerkan senyuman miliknya. "Ayo bangun!"
Gadis itu mendengkus lalu menepis tangan halus Cava dan berdiri dengan sendirinya, dagunya terangkat dan tatapannya menunjukan bahwa ia tak suka pada Cava. "Siapa kamu berani menyentuh aku? Bukankah kamu punya mata? Tolong gunakan matamu itu, lihat gaunku!"
Manik mata Cava menunjukan bahwa ia tak mengerti apa yang gadis ini katakan, Cava adalah seorang Crown prince, walaupun begitu Cava hanya mempelajari sesuatu sesuai usianya, namun Cava sudah banyak bisa dan belajar melakukan hal diatas usianya. Terutama dalam berpedang.
"Siapa namamu?"
Gadis itu masih sibuk menepuk-nepuk gaun cantiknya agar tanah yang menempel pada gaunnya segera hilang, "Netvha, ah tidak. Netvha la deorna."
"Aku Cava! Senang bertemu dengan mu!"
Netvha tak sama sekali peduli, manik matanya saja menunjukan ia malas menjawab segala ucapan Cava. "Kamu terlihat seperti sesusia ku, berapa usiamu?"
"Aku? Emm, 5 tahun mungkin?" Balas Cava.
"Ternyata kamu lebih tua, dewasa lah sedikit. Kamu seperti anak kecil saja."
Bibir Cava mengerucut membentuk segitiga terbalik, "Ibu bilang aku memang anak kecil, lagipula kamu juga anak kecil."
"Tidak, aku sudah besar. Aku tak suka lelarian sepertimu."
"Aku juga! Aku hanya sedang bermain." Kali ini Cava menunjukan gigi kelincinya yang berwarna putih indah.
"Aku tidak peduli, menjauhlah dariku aku seorang putri tahu!"
"Aku juga seorang pangeran."
Mendengar ucapan Cava, dahi milik Netvha berkerut dan ia membalikan posisinya dan meraih barang yang terjatuh dengan tangan mungilnya.
"Aku tak percaya, kalau kamu seorang pangeran bukankah harusnya kamu bersama seorang pelayan?"
"Sama! Aku juga tak percaya kamu seorang putri, karena kamu juga tak bersama dengan seorang pelayan." Jawabnya.
"Aku bersama mereka tahu! Aku sengaja disini sendiri karena ingin belajar sendirian."
Cava berjongkok dihadapan gadis itu, ia menumpukan tangannya diatas lutut halusnya sambil memandangi gadis sesusianya masih sibuk mengambil beberapa barangnya yang tadi terjatuh.
"Bagaimana bisa kamu belajar sendirian? Bahasamu juga sangat sulit dipahami, padahal kita seumuran.."
¤ ¤ ¤
𝚂𝚝𝚘𝚛𝚢 𝚏𝚛𝚘𝚖: 𝚎𝚐𝚋𝚕𝚞𝚎
{𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐧𝐮𝐦}
![](https://img.wattpad.com/cover/298361130-288-k283870.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
-𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐧𝐮𝐦-
Fantasy𝚂𝚝𝚘𝚛𝚢 𝚏𝚛𝚘𝚖: 𝚎𝚐𝚋𝚕𝚞𝚎 {𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐧𝐮𝐦} this not public story, just my imajination. if u like it, keep shut up. Sebuah larangan yang menatang dua insan, hingga menghasilkan sejarah baru dalam kekaisaran besar. Penuh dengan tangis...