Hera masih setia berada disebelah Cava, ia terus menyalurkan kekuatannya sebisa mungkin agar Cava tak merasakan sakit berlebih. namun melihat reaksi Cava yang masih sama atau bahkan semakin memburuk membuat Hera merasa ini sia-sia..
Para dokter dan penyihir yang Xavier minta tiba tepat waktu tat kala Hera melemas telah mengeluarkan banyak kekuatan, rasanya Hera seperti mengeluarkan kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan yang ia gunakan untuk melindungi istana waktu itu.
Sebelumnya dokterlah yang pertama kali mengecek tubuh Cava, walaupun takut pada sang kutukan, mau tidak mau dokter harus melakukan tugasnya atau ia akan lenyap oleh Xavier. dengan tangan bergetar ia memeriksa setiap inci tubuh Cava, mulai dari luar hingga kedalam.
Ia berhenti sejenak pada leher yang memiliki tanda istimewa itu. dokter melirikan pandangannya pada Xavier yang masih menatap mereka dengan penuh kekhawatiran, "maaf yang mulia, nampaknya ini bukan masalah kesehatan. saya tidak menemukan sesuatu yang salah pada yang mulia pangeran."
Xavier geram menolak pernyataan sang dokter, ia sedikit menyentak ucapannya "apa kau ini bodoh? bisa-bisanya seorang yang payah sepertimu menjadi dokter kerajaan! periksa kembali dengan benar!"
Hera mengerti kekhawatiran Xavier, namun tak pantas rasanya jika seseorang membentak seperti itu. "Yang mulai, tolong tenang sedikit.."
Tubuh dokter itu terlihat gemetar tat kala mendengar ucapan Xavier, pandangannya tertunduk seketika, "saya berani bersumpah atas nama kerajaan yang agung. saya tidak menemukan kejanggalan apapun kecuali pada tanda dileher, yang mulia pangeran."
Rasanya Xavier kalut, ia tak mengerti mengapa dokter kerajaan bisa seperti ini.
"Yang mulia, biar saya yang memeriksa." penyihir agung menyela sejenak dan beralih mendekat pada tubuh Cava.
Dia adalah De Eijaz, seorang penyihir agung kerajaan. penyihir muda terkuat dan terbesar yang pernah ada, kekuatannya tak main-main dan resikonya cukup besar, ia terkenal angkuh dan tak pernah mau menunduk pada sesiapapun. walaupun begitu, ia lah yang akan menunduk pertama kali pada Xavier karena hutang budinya semasa itu.
Eijaz menyalurkan sedikit kekuatan dan menutup matanya tat kala mencoba merasakan sesuatu pada tubuh Cava, Eijaz menarik sedikit nafasnya dan tersentak tat kala ia merasa seperti tersedak. ia tak berhenti sampai situ, ia mencoba menyentuh tanda milik Cava dan merasakan sakit yang luar biasa pada jari jemarinya.
Jari jemarinya terasa melepuh dan sudah terlihat memerah sempurna sehabis menyentuh tanda milik Cava. kali ini ia mengerti apa yang sudah terjadi, ia cukup pintar menebak sesuatu yang bahkan tak banyak orang tahu.
Bola mata berwarna abu terang itu bersinar, dan membuka sedikit kekuatan dengan telapak tangannya hingga muncul sebuah sinar berwarna biru dihadapannya, sinar itu menyambut tubuh Cava bak layar screening, sampai sinar itu berubah menjadi merah pekat bak darah.
Suasana diluar pun begitu, terasa tak stabil. setiap detiknya suhu diluar berganti, mulai dari panas lalu berubah menjadi dingin, dan panas kembali dan pada akhirnya saat ini berubah menjadi panas yang sangat terik tanpa cahaya matahari. orang-orang merasa kebingungan, tak ada sinar matahari namun terasa sangat panas sekali saat ini.
Eijaz menatap seseorang yang berada disampung Cava persis, ia sedikit menurunkan pandangannya sebelum berucap, "Maaf yang mulia permaisuri, lepaskan sihir anda dari pangeran."
Hera tersentak dan sontak menarik sihirnya kembali dari Cava, ia sedikit gugup mendengar ucapan Eijaz barusan.
"Ini semakin kacau, tak seharusnya hanya disalurkan." Eijaz bergumam.
"Ada apa? apa benar ada masalah dengan sihir putraku?" tanya Xavier.
"Ya, sihirnya sangat kacau dan mungkin akan membunuh pangeran beberapa saat lagi." Eijaz menjawab santai.
Suara pukulan keras yang menghantam rahang Eijaz terdengar cukup keras, nafas memburu pada Xavier yang meremas kuat bagian kerah Eijaz pun membuat orang-orang didalam ruangan bergidik ngeri, kecuali Eijaz sendiri.
"Kalau kau ingin mati, katakan saja kau ingin mati. aku tak butuh kata-kata sampahmu itu." manik berwarna biru pekat itu memburu manik mata abu Eijaz, keduanya sama-sama bersinar seperti sedang beradu kekuatan.
Eijaz tersenyum seringai, "terserah apa kata, yang mulia. kalau anda ingin semua hal ini tercegah, korbankan lah salah satu sihir diantara anda dan permaisuri. karena itu yang ia butuhkan." tuturnya.
Xavier melepas cengkramannya, ia mengusak rambut frustasi mendengar penjelasan Eijaz. ia ingin membantah ucapan Eijaz, namun Eijaz sendiri adalah seorang penyihir agung yang bahkan diakui dunia. rasanya sedih, khawatir, takut, bingung, menyatu menjadi satu dalam benak Xavier. saat-saat seperti inilah ia tak dapat berpikir jernih.
"Kau sendiri tahu bukan? orang yang sudah ditakdirkan memiliki kekuatan sihir tidak akan bisa hidup tanpa sihir." Xavier berucap.
Eijaz mengerti akan kegelisahan yang Xavier landa, namun bagaimana lagi memang seperti itulah yang terjadi. Hera sendiri telah meringkuk menangisi ucapan Eijaz, sungguh ia tak pernah berpikir akan seperti ini. ia tak tega dengan kondisi Cava yang terlihat benar-benar rapuh saat ini. membuat Hera membuka suara dan mencoba mencari jalan lain, "Apa tidak ada cara lain, tuan penyihir?"
Eijaz menggeleng, "tidak, pilihannya hanya dua. hidup dengan sihir namun tanpa pangeran, atau hidup dengan pangeran namun tanpa permaisuri atau kaisar." Eijaz berucap tegas kali ini.
Dalam bayangan Eijaz saat ini adalah sebuah garis merah pekat bak darah didalam tubuh Cava, garis itu adalah garis kekuatan yang Cava miliki. kekuatan dengan elemen baru, elemen yang mungkin saja mematikan dan dapat menjadi elemen terkuat nantinya, elemen yang nampak sempurna itu butuh sesuatu yang dapat menyempurnakannya dan untuk berkembang. itulah yang terjadi saat ini.
kalau saja saat dalam kandungan sudah dicegah, mungkin saja tak akan ada hal seperti ini. Eijaz sendiri telah memperingati Xavier saat sebelum perang berlangsung, namun Xavier tak menggubris ucapannya dan hanya mengatakan bahwa tak akan terjadi apapun.
Karena elemen Cava tak pernah dimiliki oleh sesiapapun, yang artinya Cava lah pemilik asli elemen baru ini, maka dia lah yang menanggung rasa sakit dari ketidaksempurnaan elemen ditubuhnya. tubuh kecil yang bahkan belum sanggup memegang mahkota permaisuri dan kaisar itu harus merasakan sakit yang begitu dalam akibat kecerobohan yang Xavier lakukan waktu itu. kalaupun Eijaz campur tangan, ia tak akan bisa menyentuh bola sihirnya karena perbedaan elemen yang dikuasai mereka.
Xavier memejamkan natanya sejenak untuk berpikir, ia tak sanggup melihat sang putra seperti itu namun ia juga tak tahu harus bagaimana. ia tak bisa merelakan satu diantara semua hal, mungkin saja ia bisa merelakan dirinya sendiri untuk saat ini. "Eijaz."
Eijaz menunduk hormat dihadapan Xavier, "ya, yang mulia."
"Kapan hari itu terjadi?"
"Jika tidak ditahan, mungkin saja akan lebih cepat. saya sudah menahan sihirnya, setidaknya sampai satu minggu kedepan, yang mulia."
Nafas Xavier terhembus kasar, ia mengangguk setuju dan tak membantah dengan kata-kata sedikitpun.
Dirasa penjelasannya cukup, Eijaz berangsur mengundurkan diri dari hadapan permaisuri maupun kaisar saat ini. "Maaf atas ketidak sanggupan saya, saya akan kesini setiap harinya mengecek bola sihir pangeran. saya pamit. saya haturkan salam kepada rembulan biru dan matahari emas kekaisaran."
kian berlalu, tubuh tegap lurus milik Eijaz hilang tat kala ia menjauh dari hadapan keduanya. membuat Xavier semakin frustasi dan dilanda kebingungan saat ini. Xavier menyadari kesalahannya, ia ingin mengatakannya pada Hera agar Hera mengetahui yang sebenarnya, namun ia terlalu takut untuk berucap.
Kalau saja ia tak ceroboh, Cava tak harus merasakan sakit yang teramat buruk seperti ini.
¤ ¤ ¤
𝚝𝚘𝚛𝚢 𝚏𝚛𝚘𝚖: 𝚎𝚐𝚋𝚕𝚞𝚎
{𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐧𝐮𝐦}
KAMU SEDANG MEMBACA
-𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐧𝐮𝐦-
Fantasía𝚂𝚝𝚘𝚛𝚢 𝚏𝚛𝚘𝚖: 𝚎𝚐𝚋𝚕𝚞𝚎 {𝐂𝐫𝐨𝐰𝐧 𝐑𝐞𝐠𝐧𝐮𝐦} this not public story, just my imajination. if u like it, keep shut up. Sebuah larangan yang menatang dua insan, hingga menghasilkan sejarah baru dalam kekaisaran besar. Penuh dengan tangis...