Ada kalanya Korea Selatan masih menjadi tempat yang terasa asing bagi Ruby. Bukannya tidak cocok dengan budaya, cuaca, atau perangai para penduduknya. Ruby justru akan dengan sukarela memberikan rating sempurna untuk segala hal yang berada di sini. Hanya saja, negeri kaya budaya itu masih belum bisa menggantikan tahta tertinggi tempat yang paling mampu membuat hatinya berdesir hangat--hanya dengan mengingatnya.
Brisbane, Australia.
Hampir lima tahun berada di negeri ginseng tidak membuat Ruby mampu meninggalkan segala kenangannya di Brisbane. Terlalu banyak hal indah, sampai-sampai rasanya ia tidak sanggup membayangkan bagaimana ia harus menjalani hari dengan pikiran yang terus tertuju pada tanah kelahirannya--yang kini berjarak ribuan kilometer dari kediaman.
Sebenarnya Ruby tidak terlalu punya banyak teman di sana, ia juga tidak terlalu suka budaya bebas yang ada, bahkan lidahnya tidak sepenuhnya cocok dengan segala hidangan khas Australia. Kalau diminta jujur, Ruby lebih suka hal yang berbau Asia. Namun jika diminta memilih, maka ia akan tetap menempatkan Australia sebagai pilihan utama.
Bukan tanpa alasan, ia lebih nyaman di Australia karena jasad sang hero, ayahnya--dengan segala kenangan manis--telah terkubur di benua itu. Dan sekarang ia tidak lagi bisa mengutarakan kerinduannya dengan berkunjung ke makam ditemani sebuket bunga lili di tangan.
"Ruby? Are you okay?"
Ruby tidak menggubris saat sosok tinggi yang memasuki kamarnya berjalan mendekat--setelah mengambil beberapa camilan serta minuman di dapur dan meletakkannya di atas meja.
Ruby berjengit kaget begitu lelaki yang selalu mampu membuatnya tenang dengan segala rapalan manis itu tiba-tiba saja mengusap lembut pipinya yang sudah basah.
Ia menangis, tanpa sadar.
Lelaki yang baru sampai di hunian Ruby sekitar satu jam yang lalu--Niki--kemudian menuntun gadisnya untuk duduk di karpet beludru lalu memeluknya lembut.
Niki masih diam, sesekali mengelus kepala yang lebih mungil sembari menepuk pelan punggung sempit sang kekasih. Berharap perhatian kecilnya ini mampu menghibur Ruby yang sudah larut dalam kesedihan.
Ada satu alasan mengapa Niki sudah berpakaian rapih dan mengunjungi kediaman keluarga Lee sepagi ini. Biasanya Minggu pagi akan ia habiskan untuk bergelung di balik selimut, menunggu Konon datang dengan secangkir teh hangat, sembari membangunkannya dengan pelan dan sabar. Namun hari ini sedikit berbeda, Minggu pagi yang bertepatan dengan tujuh tahun meninggalnya sang kepala keluarga di sana.
Jika saja He Kyo tidak mengundang Niki ke sana, maka lelaki itu akan pastikan untuk tidak mengganggu kekasihnya seharian ini. Ia ingin memberikan Ruby ruang untuk menghabiskan waktu bersama keluarga sembari mengenang bagaimana manisnya hari saat mendiang ayah masih ada.
"Bunda udah selesai masak di bawah, tadi aku disuruh naruh cemilan sekaligus manggil kamu ke ruang makan."
Niki melonggarkan pelukan. Dengan enggan Ruby menjauh, karena sungguh pelukan Niki akan terasa ribuan kali lebih hangat saat dirinya dilanda kesedihan seperti ini. Bahu lebar itu selalu menjadi tempat favorit Ruby untuk menenangkan diri.
Dilihatnya iris emerald si gadis yang basah dan memerah. Si tampan tersenyum kecil, masih menghapus lelehan air mata di pipi sang submisif dengan punggung tangannya
"Udah dulu yuk nangisnya. Biar Bunda nggak khawatir."
Ruby mengangguk pelan. Tangisnya sudah mereda walau sesekali napasnya masih terputus-putus. Niki tetap di tempat, memberi waktu lebih pada Ruby untuk menenangkan diri sebelum bertemu Heeseung dan He Kyo di bawah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Anemone [Ni-Ki]
FanfictionDari awal, Nishimura Riki--Niki--adalah pusat semesta Ruby. Sedangkan Ruby adalah prioritas Niki. Bagi keduanya, tidak ada representasi tepat dari 'indah' selain memandang rupa yang sama-sama bersemu setiap kedua manik mereka bertemu. Dan akan sela...