02

274 58 65
                                    

Satu frekuensi.

Jika diartikan, maka sefrekuensi akan memiliki arti yang sangat luas. Ruby sendiri tidak yakin dengan apa yang dimaksud dengan memiliki frekuensi yang sama dengan pasangan.

Yang ia tahu, ia merasa nyaman dengan Niki. Lelaki itu berhasil mematahkan stigmanya bahwa berinteraksi dengan orang asing tidak begitu penting. Padahal nyatanya, berinteraksi dengan Niki--yang saat itu hanyalah orang asing bagi Ruby--sangatlah penting. Sangat penting.

Ruby bahkan masih ingat bagaimana cara unik Niki yang berusaha mengetuk dinding kokohnya semasa sekolah dulu.

Hampir sama dengan bagaimana Niki menariknya ke hadapan ratusan mahasiswa baru--di aula tiga minggu yang lalu. Hanya saja, yang satu ini hampir membuat ia mati terkejut di tempat.

"Oke sebagai pemenang, Nishimura Riki boleh mengajukan satu permintaan, apapun itu asal masih bisa diwujudkan oleh pihak sekolah."

Tepat di acara ulang tahun sekolah saat musim gugur. Siswa-siswi yang tidak termasuk ke dalam anggota kepanitiaan diminta berkumpul di aula kemudian mengikuti serangkaian acara ulang tahun yang juga dihadiri oleh para guru--sementara di lapangan outdoor sedang dipersiapkan bazar.

Hingga di penghujung acara, kepala sekolah mencoba mengulur waktu dengan melontarkan satu dua pertanyaan perihal sekolah mereka dan menjanjikan hadiah. Dan ya, sesuai ekspektasi, Nishimura Riki berhasil menjawab satu dengan tepat.

Namun permintaan yang menjadi haknya itu sempat membuat satu aula merasa bingung.

"Nomor."

Masih Ruby ingat betul bagaimana Niki yang berdiri di atas podium, di samping kepala sekolah, berujar dengan yakin. Namun anehnya lelaki itu justru terus menatap lurus ke arahnya sembari tersenyum. Seingat Ruby, ia tidak berteman atau bahkan mengenal siswa baru pindahan dari Jepang itu.

"Nomor?" Kepala sekolah membeo.

Niki lalu mengangguk mantap, "Nomor telepon Ruby Lee dari kelas Iternasional A, angkatan kedua."

Sontak satu aula mendadak ricuh. Teman satu kelas Ruby ikut menggoda, bahkan guru-guru yang ada di sana hanya bisa terkekeh sembari menggelengkan kepala. Dasar anak muda, pikir mereka.

Namun sepertinya usaha Niki tidak sia-sia. Nomor Ruby berhasil ia dapatkan, begitu juga dengan hati gadis bermata emerald itu--tepatnya lima bulan kemudian.

Jika saja Niki dulu tidak senekat itu, mungkin saat ini mereka masih tetap berstatus sebagai orang asing untuk satu sama lain.

"Ruby, kamu mikirin apa, sih?"

Lamunan Ruby pecah saat Suno menyenggol lengannya. Ruby kemudian berdehem disusul gelengan kecil, berusaha menghilangkan rasa panas pada pipi akibat mengingat kenangan semasa Niki mendekatinya dulu.

"Udah lima belas menit kamu ngelamun. Esaimu masih kosong, loh," tegur Suno sembari menunjuk ke arah lembaran kertas Ruby yang kosong.

Di saat Suno dan Jungwon sudah mendapatkan lebih dari lima paragraf, Ruby malah belum menggoreskan satu kata pun di sana, padahal batas waktu hanya tinggal sepuluh menit lagi.

Sebenarnya bukan esai yang memakan hati, pikiran, dan jiwa. Hanya sebuah pertanyaan sederhana sebagai apersepsi sebelum membahas lebih jauh mengenai teori inti. Di mana mengharuskan para mahasiswa di dalam kelas itu untuk menjabarkan apa sebenarnya impian yang mereka punya.

Impian apa yang Anda miliki?

Bersama Niki sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Selamanya.

Anemone [Ni-Ki]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang