Cerpen 3. "Si Laju"

54 5 2
                                    

Tak pernah sekalipun Ririn mengira harus menghadapi masalah seperti ini di penghujung kuliahnya.

Sambil terseok-seok pikirannya ke sana ke mari tak menentu, rambutnya yang panjang tanpa kuciran itu mendadak diikat karena di rasa mengganggu dirinya bicara bersama bapak dan ibunya di ruang tamu.

Di awal perkuliahannya yang sudah melewati semester 8. Sedang otw di semester 9, Ririn sedang bernego dengan kedua orang tuanya.

"Jadi gimana Pak? Motor beat punya Mas Rian bisa Ririn bawa bolak balik ke kampus kan?" tanya Ririn pada ayahnya.

Lelaki yang belum berusia kepala lima itu terdiam beberapa saat, sesekali melirik ke arah istrinya yang selalu ada di pihaknya.

"Bapak nggak bisa jamin Rin," jawab Suhardi beberapa saat kemudian.

Ibu Ririn hanya terdiam, menyimak pembicaraan keduanya sore hari itu.

"Yah, kenapa Pak? Ini penting sekali soalnya Pak. Kan paling juga satu semester ini. Tolong lah Pak," pinta Ririn kepada ayahnya yang masih diselimuti keraguan.

Ririn begitu membutuhkan kendaraan saat ini untuk keperluannya bimbingan dengan dosen. Rumahnya di desa Krikil, Kendal yang tidak jauh dari kampusnya di Semarang Barat, hanya butuh waktu sejam setengah baik melalui jalur atas (Boja) atau lewat pantura membuatnya memutuskan untuk tidak ngekos dan lebih memilih di laju saja. Padahal semua teman-temannya ngekos di Semarang dan banyak dari mereka menginginkan Ririn untuk ngekos bersama. Namun keputusannya sudah bulat.

Ririn bukan bermaksud tidak ingin tinggal dengan teman-temannya. Namun lebih karena memikirkan budget jika nantinya ia ngekos di Semarang. Karena bukan hanya memikirkan biaya kos bulanannya saja, tetapi juga makan setiap harinya dan transport kalau ada keperluan ke mana-mana. Tentu Ririn tidak bisa terus mengandalkan temannya yang punya motor dengan nebeng atau meminjamnya. Apalagi mesti bayar biaya angkot. Itu sangat merepotkan, pikirnya.

Jadi Ririn memutuskan untuk dilaju saja dari Kendal-Semarang. Toh tidak banyak keperluannya di Semarang. Hanya bimbingan skripsi saja. Lagi pula, jika ia bolak-balik dari rumah ke kampus, itu bisa menghemat biaya sewa kos dan kebutuhan makan dan jajannya. Kalau di rumah juga ia bisa sambil mengajar di salah satu MI yang tidak jauh dari desanya.

Maka dengan penuh harap, Ririn meminta pada ayahnya agar meminjamkan motor pada kakak sulungnya supaya bisa membantunya mempercepat kelulusan.

"Ya sudah nanti Bapak bilang lagi ke Mas mu."

Kakak sulung Ririn sudah menikah, dan istrinya satu desa dengannya. Jadi ayahnya tak perlu jauh-jauh pergi ke rumah kakaknya karena jarak rumahnya hanya beda RW saja.

Beberapa hari kemudian, setelah ayahnya sudah bilang ke Mas Rian untuk kesekian kalinya agar mau meminjamkan motornya setiap kali Ririn akan bimbingan, akhirnya Rian pun mengijinkan Ririn dengan mengantarkan langsung motornya ke rumah Ririn.

"Tapi inget, jaga baik-baik motor ini. Jangan ngebut, apalagi buat pergi-pergi yang tidak ada manfaatnya," ucap Rian kepada adik yang hanya berbeda 5 tahun darinya itu.

"Siap Mas, pasti Ririn jaga baik-baik," ucap Ririn merapalkan janjinya.

Ketika Rian menyerahkan kunci motornya, terlihat di raut wajahnya yang agak kusut. Tidak ada kebahagiaan sedikitpun di sudut matanya. Ririn sempat iba, pasalnya itu motor satu-satunya milik Mas Rian untuk mengojek sehari-hari. Tapi mau bagaimana lagi? Toh Ririn juga tidak meminjamnya setiap saat.

Ririn langsung otw ke Semarang keesokan harinya. Bimbingan dilaksanakan pada Jum'at pagi jam 08:00. Maka setidaknya Ririn harus sudah berangkat jam setengah enam pagi kalau tidak mau terlambat sampai sana.

Banyak Jalan Menuju WisudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang